Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Resign?

“Samir, nanti pulang seperti biasa di jemput Mang Iyang, ya.”

Ahmad berkata lembut dengan membungkukkan tubuhnya mengusap kepala anak lelaki berusia dua belas tahun yang kini duduk di kelas lima SD.

“Iya. Aku nan-nanti sama mang-mang Yang, Pah.” Samir mengucapkan sabaris kalimat dengan terbata-bata.

Dia adalah anak spesial yang mengalami speech delay ekspresif sejak masih kecil. Beruntung Ahmad telaten dalam merawatnya dan rutin membawanya untuk terapi wicara di klinik tumbuh kembang anak. Hingga di usia ini anaknya sudah mulai lancar berbicara walau untuk beberapa kata masih agak terbata-bata dalam pengucapannya.

“Titip Samir, Ya Ibu Guru,” ucap Ahmad pada guru pendamping anaknya.

Ibu guru yang masih berusia dua puluh enam tahun itu menjawab sembari tersenyum.

“Terima kasih, Bu. Saya jalan dulu.” Ahmad pamit dengan melambaikan tangan pada anak semata wayangnya.

Dari dalam mobilnya, dia melihat ibu guru yang masih lajang itu menggenggam tangan anaknya dan mengayun-ayunkan. Sesekali ia menolehkan kepala ke arah Samir dan menyapanya dengan senyuman.

Ahmad pun tersenyum bahagia anaknya berada di tangan yang tepat.

Setelah Samir menghilang dari pandangannya, Ahmad melajukan kendaraannya menuju kantor.

Jalanan pagi ini terasa lebih lengang dari biasanya. Dengan santai dia menyetir dengan alunan musik menemani perjalanannya. Sesekali ia ikut menyenandungkan lagu dari grup band lama yang berasal dari New Jersey.

Tak sampai dua puluh menit, ia tiba di kantornya. Sebuah pabrikyang didirikan belasan tahun lalu oleh Mr. Choi, seorang warga negara Korea yang menikahi mojang Sukabumi untuk kepentingan izin usahanya.

Dalam perjalanan usahanya, dia melakukan joint venture dengan pengusaha besar Indonesia hingga akhirnya pabrik ini telah berkembang menjadi eksportir boneka terbesar.

Di lantai bawah adalah ruangan produksi di mulai dari gudang kain, gudang aksesoris, ruang potong, ruang sewing, ruang bordir, dll. Sedangkan lantai dua dipakai untuk ruangan kantor bagian D&D, PPIC, Marketing, HRD dan ruang meeting.

Seorang satpam dengan ramah tersenyum saat membukakan pintu gerbang untuknya. Ahmad memarkirkan SUV-nya di area parkir khusus yang tertulis Direktur Marketing di mana tidak bisa seenaknya ditempati oleh orang lain.

Ahmad termasuk sosok yang disukai di kantor. Sikap yang selalu tegas membuatnya terlihat berwibawa di mata orang lain. Walaupun kadang ketus dalam berbicara namun dia di kenal sebagai orang yang dermawan dan tulus. Tak segan ia memberikan uang dalam jumlah besar untuk membantu karyawan yang bukan bawahannya langsung. Seperti halnya satpam pabrik. Beberapa di antaranya pernah dibantu biaya persalinan istrinya yang belum di tanggung perusahaan maupun biaya sekolah anak mereka.

“Makin pagi saja, Pak?” tanya security muda dengan nama Margono tertulis di dadanya.

“Iya nih, tumben pagi ini jalanan kosong,” jawabnya sambil tersenyum.

“Ngopi dulu, Pak?” ucapnya menawari.

“Plus sebatang dululah,” timpal Ahmad bercanda.

Dia pun duduk di pos satpam menyalakan rokoknya dan mengobrol dengan petugas keamanan yang masih menjalani masa percobaan sebagai karyawan baru.

Mereka terlibat obrolan seru khas lelaki. Mulai dari membahas Liga Inggris sampai politik reformasi.

Setelah habis satu batang rokok, Ahmad menyudahi obrolannya dan pamit.

“Saya naik dulu,” ucapnya tersenyum mengangkat tangan kanannya pada satpam dan berjalan menuju ruangannya yang terletak di lantai dua.

Saat melangkah ke dalam ruangan sekretaris, ia melihat ruangan itu masih kosong, tidak ada tanda-tanda penghuninya sudah sampai. Kursi kerja yang masih rapat menempel pada meja,tak juga terlihat tas atau jinjingan yang biasa ditaruh di kolong.

Diliriknya jam berbahan titaniummelingkar di pergelangan tangannya yang ditumbuhi rambut halus menambah kesan macho dalam dirinya.

Masih jam tujuh, sih. Batinnya.

Saat masuk ruangannya, ia melihat tempat tidurnya masih berantakan bekas ia tiduri kemarin.

Ahmad menyimpan tas di atas mejanya, kemudian duduk di sofa membaca koran yang tergeletak di meja samping. Tubuhnya terhentak saat seseorng mengetuk pintu ruangannya.

Fatia?

Tiba-tiba saja jantungnya berdebar tidak normal. Sebuah kepala dengan wajah berkulit coklat muncul di balik pintu.

“Pagi, Pak,” ujarnya tersenyum ramah.

Ahh ... ternyata si Maun petugas Cleaning service mengantarkan segelas teh hangat untuknya.

“Pagi,” jawabnya ramah, kembali menikmati bacaannya.

Huh! Batinnya kesal.

Dia pun menghela napas kasar untuk menormalkan detak jantungnya.

Diliriknya lagi jam di tangan, sudah jam tujuh lewat dua puluh menit. Belum juga terdengar hentakan heels beradu pada lantai ruangan kantor.

“Kemana ini orang? Jam segini belum nongol juga?” ujarnya pelan bermonolog.

Dilipatnya koran dengan asal di atas sofa. Dia pun beranjak ke luar ruangan mengitari ruangan stafnya. Sesekali matanya menoleh pada jendela besar dengan pemandangan mengarah langsung ke arah gerbang kantor dan parkiran.

Diperhatikannya gerombolan karyawan produksi berseragam biru laut mulai berdatangan memasuki gerbang. Tidak satu pun tampakpostur gadis menyerupai sekretarisnya, ia pun mendengus kesal.

Beberapa menit kemudian pandangan matanya diarahkan pada jam dinding bulat berwarna putih yang terpampang di atas tembok di seberang mejanya.

Jam delapan.

Sekejap dia membuka pintu secara perlahan saat mendengar hentakan heels. Namun ia harus kecewa, yang terlihat hanyalah staf marketingnya yang satu persatu datang membuat keramaian di ruangan mereka.

Ia sandarkan tubuh di balik pintu dan mengusap kasar wajahnya. Timbul rasa penyesalan dalam dirinya kenapa dia terlalu keras meluapkan kekesalan pada gadis yang masih ia cintai itu?

Tak bisa dipungkiri, setiap melihat wajahnya dia akan teringat masa-masa di mana penolakan itu terjadi. Satu penolakan yang berakibat fatal dalam hidupnya.

Lelaki yang pagi itu menyempurnakan ketampanannya dengan kemeja lengan panjang berwarna biru navy dan celana berwarna hitan terlihat sangat gelisah.

Dia berjalan menuju meja kerjanya saat seeorang mengetuk pintu.

“Masuk,” jawabnya tak lama setelah menjatuhkan pantatnya di kursi kerja yang empuk berwarna hitam.

“Ada apa, Dan?” tanyanya pada Aidan.

Aidan menghampiri dan duduk di kursi berhadapan dengannya.

“Ini, Pak. Klien saya mau buka gerai boneka di beberapa mal di Jakarta, Bandung dan Surabaya.”

“Terus?” tanya Ahmad.

“Dia mau order bonekanya ke kita.”

“Ya bagus, lah Dan!”

“Jatuhnya kan ini orderan retail. Baiknya saya handle sendiri atau diserahkan ke staf retail saja, Pak?” tanya Aidan.

“Serahkan ke staf retail, biar Yanti yang handle.”

“Tapi, Pak?” tanya Aidan sedikit merengek.

“Kamu akan keteteran kalau harus pegang market retail juga, Dan. Retail itu banyak sekali itemnya. Kamu lebih pilih mana satu PO dengan quantity 100.000 pcs tapi satu item atau dengan quantity yang sama tapi ada lima puluh item di dalamnya?” tanya Ahmad.

“Yang pertama sih, Pak.”

“Nah, You’re smart! Ada lagi yang mau diomongin?” ucapnya tegas.

“Tapi, Pak?” tanya Aidan masih dengan keraguan karena menyayangkan kalau kliennya harus dipindahtangankan.

“Sudah kamu ikhlas saja, itu aturan mainnya, kok. Kamu fokus di corporate saja.”

“Oke, deh.” Aidan menjawab tak bersemangat.

“Ada lagi?”

“Enggak, Pak. Terima kasih.” Aidan beranjak dari duduknya dan meninggalkan ruang Ahmad dengan langkah sedikit gontai.

Menyerahkan klien artinya hilang peluang untuk mendapatkan bonus. Namun, ia pun hanya bisa pasrah demi keberhasilan kerja tim yang selalu digadang-gadangkan atasannya.

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan lewat tiga puluh menit, namun Fatia belum hadir juga. Ahmad keluar ruangan dan menghampiri ruangan stafnya. Sesekali matanya celingak celinguk mencari sosok yang ditunggu kehadirannya.

Tak lama, dia pun kembali ke ruangannya. Mondar-mandir di depan meja kerjanya dengan sesekali menghela napas dalam-dalam.

Jantungnya berpacu semakin cepat saat tiba-tiba otaknya mulai berpikir buruk.

Jangan-jangan benar dia nekat resign?

Batinnya sedih.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel