Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Kontrak Kerja Membuat sengsara

Ketika terdengar ketukan, Ahmad terbangun dari lamunannya. Sebuah kenangan yang masih terasa sakit saat mengingatnya.

"Masuk" ujarnya sambil sibuk menulis materi untuk rapat.

Terdengar derit engsel pintu kayu mahoni yang di cat coklat terbuka perlahan.

"Weekly meeting dengan staf sudah siap, Pak," ucap Fatia lemah.

Ahmad masih melihat bulir bening menyembul di sudut mata wanita yang berdiri sebentar di pintu tanpa masuk ke ruangannya. Tak lama dia menutup pintu tanpa memedulikan tatapan datar darinya.

Ahmad keluar ruangannya berjalan menuju ruang rapat yang terletak tak jauh dari ruangan Departemen Marketing.

"Pak, ruang rapat Arjuna masih dipakai departemen produksi, mau nggak mau kita pakai ruang Gatot Kaca," ujar salah satu staf Ahmad.

"Loh, memang kamu enggak booking dulu ke HRD?"

tanya Ahmad ketus dengan tatapan menunjuk pada Fatia.

"Su-sudah, Pak, tapi HRD bilang, sudah di booking duluan oleh departemen produksi."

"Kamu booking-nya kapan?" tanyanya lagi dengan gemas.

"Barusan, Pak."

"Wasalam, deh!" ucap Ahmad dengan ketus.

"Jadwal meeting kita sudah saya infokan di grup dari kemarin siang, tapi kamu baru booking sekarang. Kamu ini pintar atau apa, sih? Fokus sama kerjaannya, dong!"

Dengan mudah Ahmad menghujamnya dengan kalimat-kalimat yang mengoyakkan hati. Lelaki dingin itu tak peduli jadi tontonan staf-stafnya.

Ruang rapat Gatot Kaca sudah seminggu terakhir alat pendinginnya belum diperbaiki. Selama itu, masing-masing departemen berebut memakai ruang Arjuna untuk mengadakan rapat.

Ruangan yang panas membuat suasana hati Ahmad pun menjadi semakin panas. Rapat pagi itu pun diwarnai sindiran-sindiran Ahmad yang ditujukan pada Fatia.

"Kalau sudah sampai kantor fokus kerja, up grade kinerjanya. Jangan sekali-sekali masalah pribadi dibawa ke kantor!"

Mendengar itu membuat jantung Fatia kembali berloncatan dan hatinya menjadi panas. Ingin rasanya dia melempar gelas ke wajah orang yang tidak memiliki hati nurani itu.

Tangannya sudah gatal ingin mencakar wajahnya yang masih terlihat jutek. Jengkel yang tadi belum juga sembuh sudah ditambah lagi sindiran-sindiran untuknya di depan semua staf.

Inikah lelaki yang dulu dikenalnya sangat hangat? Inikah karakter aslinya? Inikah lelaki terbaik yang dibilang Andini? Terbaik dilihat dari sudut mana? Terlihat sekali dia berniat menginjak-injak harga diri dan menyakiti hatinya.

Setelah rapat selesai, Fatia bergegas masuk ke ruangannya mendahului Ahmad yang masih mengobrol dengan salah satu stafnya. Ahmad pun heran melihat tindakannya yang terburu-terburu. Namun ia tidak menggubrisnya.

Tidak lama, Ahmad masuk ke ruangannya disusul oleh Fatia.

"Ada apa? Sekali lagi saya ingatkan kamu, saya tidak membahas masalah pribadi di kantor, apalagi di jam-jam kantor seperti ini!"

Ahmad masih emosi melontarkan kata-katanya.

"Saya tidak akan membahas itu lagi, saya mau resign!"

Fatia menyodorkan surat resign-nya. Rupanya sedari tadi dia menyiapkan surat pengunduran diri.

"Tunggu sebentar," pinta Ahmad dengan ketus.

Dengan tenang Ahmad menelpon Departemen HRD.

"Bu, minta tolong kirim kontrak kerja Fatia, sekarang ke ruangan saya, ya. Terima kasih," ucapnya lembut.

Kenapa dia bisa lembut pada orang lain, tapi tidak pada dirinya? Bukankah aku yang sudah teraniaya olehnya? Walau bagaimana pun aku adalah orang yang pernah dicintainya.

Batin Fatia.

Tidak berapa lama, Ibu HRD masuk ke ruangan mengantarkan satu bundel kontrak kerja Fatia.

"Terima kasih, Bu. Saya pinjam dulu, ya. Ada yang ingin saya pelajari,” ucapnya dengan senyuman ramah saat menerima odner hitam berisi file sekretarisnya.

“Nanti kalau sudah selesai, Fatia akan antarkan kembali ke ruangan Ibu,” tambahnya lagi masih dengan senyuman yang memamerkan lesung pipinya yang kini terlihat memuakkan di mata Fatia.

"Baik, Pak," jawabnya singkat, kemudian pergi meninggalkan mereka berdua.

Ahmad membuka lembar demi lembar kontrak kerja Fatia, hingga menemukan satu halaman yang di maksud dan menunjukkannya pada Fatia.

"Baca ini!" ucapnya enteng.

Fatia membaca kontrak itu dengan seksama. Ada yang ia lupakan yaitu satu pasal yang menyatakan jika mengundurkan diri sebelum dua tahun masa kontrak kerjanya selesai, dia harus membayar ganti rugi sebesar lima puluh juta rupiah.

"Silakan, kalau mau resign. Kamu tinggal selesaikan administrasinya dengan bagian HRD," ucap Ahmad dengan ketus.

Fatia menatapnya dengan nanar.

“Sudah selesai? Silakan keluar dari ruangan saya,” ujar Ahmad santai dengan membalas tatapan nanar dari Fatia.

Fatia berbalik melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan Ahmad.

“Tunggu!” panggil Ahmad menghentikan langkahnya.

“Bawa sekalian ini kontraknya, kamu kembalikan ke HRD sekarang juga.”

Fatia membalikkan badannya dan meraih odner itu dengan kasar masih dengan tatapan kesal pada cinta pertamanya itu.

Tergesa ia meninggalkan ruangan Ahmad yang tersenyum penuh kemenangan di belakangnya. Tanpa sengaja dia membanting pintu ruangan sosok yang telah berubah menjadi lelaki sombong dan kasar.

Bunyi bantingan pintu sontak mengundang tatapan heran orang lain, dan Fatia pun tersadar dengan ulahnya. Dia berusaha tersenyum di balik wajahnya yang jelas masih terlihat kesal.

"Sekretaris sekarang kaya Tom and Jerry, ya. Kebanyakan berantemnya dibanding harmonisnya!" ujar salah satu staf yang akhirnya lanjut bergosip tentang hubungan keduanya.

Fatia berjalan gontai menuju ruang HRD.

Bagaimana mungkin bisa bertahan dua tahun bekerja untuknya? Lelaki yang setiap harinya selalu mencari-cari kesalahan dan tidak segan-segan memarahinya di depan semua staf. Tak sadarkah Ahmad bahwa itu menjatuhkan harga dirinya?

“Bu, apakah nilai penalti ini bisa dikurangi?” tanya Fatia pada manajer HRD.

“Bisa, tapi dengan syarat kalau masa kerja kamu sudah setahun. Kenapa, ada masalah kah?” tanyanya.

“Enggak, Bu. Saya cuma tanya saja,” jawab Fatia mengelak.

“Kalau pindah departemen kira-kira memungkinkan enggak, Bu?” tanya Fatia lagi.

“Mungkin saja kalau memang ada yang membutuhkan, tapi tetap harus mendapat persetujuan dari atasan kamu langsung.”

Fatia tersenyum kecut mendengar penjelasannya. Hal yang mustahil mendapat persetujuan dari Ahmad karena ia yakin atasannya itu sangat menikmati penyiksaan terhadap dirinya.

“Kamu ada masalah dengan Pak Ahmad, Fat?” tanyanya menyelidik.

“Enggak, Bu. Terima kasih infonya, ya.”

Fatia tersenyum ke arahnya. Tak mungkin ia menceritakan keberatannya atas perlakuan Ahmad, seorang direktur marketing yang merupakan andalan perusahaan.

Ia pun pamit meninggalkan ruangan itu dengan perasaan yang tidak menentu.

Fatia berpikir keras, mengundurkan diri sekarang, artinya dia harus membayar ganti rugi. Lima puluh juta bukanlah nilai yang kecil di saat masih banyak pengeluaran rutin penting setiap bulannya. Belum tentu juga dia akan langsung mendapat pekerjaan pengganti dengan gaji sebesar yang ia dapatkan di sini.

Kantornya, saat ini memang memberikan gaji yang cukup besar dibanding kantor sebelumnya. Sejujurnya, Fatia pun merasa cukup puas bekerja di pabrik boneka yang memiliki seribu dua ratus orang karyawan. Kecali bosnya, di sini lingkungannya asyik, timnya pun kompak, walaupun, setiap harinya dia harus was-was atas ulah bos yang mendadak asing di matanya.

Hampir setiap hari ia harus mengelus dada mendapat perlakuan kasar dari Ahmad. Apakah ia sanggup menahan sakit hatinya menghadapi sikap arogan Ahmad hingga akhir kontrak kerjanya?

Dua tahun adalah waktu yang sangat panjang untuk menghadapi monster dingin yang menurutnya sangat munafik.

Namun, tetap saja masih sering muncul secuil rasa rindu untuk selalu berada didekatnya, walaupun pada akhirnya kenyataan selalu tak seindah mimpinya.

Entah apa yang membuatnya berubah drastis seperti ini? Fatia sendiri tidak pernah mengerti.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel