Bab 4 Rencana yang gagal
Fatia membongkar kotak besar berwarna merah marun yang sudah berdebu dari atas lemari. Kotak berisi pernak-pernik yang dia kumpulkan saat remaja. Diambilnya buku diari tebal berwarna kuning bermotif bunga matahari.
Dibacanya buku diari lusuh yang berisi catatan-catatan perjalanan cintanya bersama Ahmad. Ia tersenyum ketika membuka lembar demi lembar kertas yang warnanya sudah tak lagi putih.
Dipeluknya buku itu sambil membayangkan rencana ke dua yang akan dilakukannya di kantor nanti. Dia harus menyusun skenario untuk mencari tahu perubahan sikap Ahmad.
Rencana pertamanya gagal, dia pikir Ahmad akan memanggil ke ruangannya sendiri dan memintanya baik-baik untuk berpakaian sopan, karena sejak dulu Ahmad memang sangat tidak menyukai Fatia berpakaian yang terlalu mengumbar aurat.
Namun kenyatannya, dia malah menelanjangi Fatia di depan Andini. Hilang kesempatan pertama untuk bicara blak-blakan dari hati ke hati dengan harapan akan berakhir pelukan mesra.
Ahhh sudahlah ... masih ada rencana kedua, ketiga dan selanjutmya.
Gumam Fatia.
*****
Senin pagi, hari pertama tanpa Andini. Pukul 06.30 dia sudah tiba di kantor.
Fatia mondar-mandir gelisah, memikirkan apa yang harus dilakukannya. Bagaimana memulai percakapannya? Kenapa terasa begitu sulit menyusun kata-katanya?
Tak henti matanya melirik jam di tangannya, pukul 06.50. Waktu terasa cepat sekali bergulir di saat genting seperti ini.
Tiba-tiba sosok menyebalkan itu sudah berdiri di depan ruangannya.
"Pagi, Pak!"
"Pagi," jawabnya singkat lagi-lagi tanpa ekspresi.
Fatia mengekor dari belakang.
"Hmm, mungkin Bapak mau sarapan atau makan apa gitu, Pak?" tanyanya grogi.
Duhhh kenapa harus sarapan yang ditanyakannya, ya? Bukankah Andini sebelumnya sudah bilang, kalau Bapak selalu sarapan di rumah.
Batinnya.
"Tidak! kloset saya sudah dicek?" jawabnya ketus tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya.
Tampangnya yang menyebalkan hanya tertuju pada dokumen-dokumen yang ia keluarkan dari tas kulit dengan merk yang sering Fatia temui di Plaza Senayan. Sebuah merk seharga dua bulan gajinya sebagai sekretaris di sini.
"Owh, iya, bebek biru!"
Fatia menjentikkan jarinya teringat pagi ini dia belum memasukkan "si bebek biru" ke dalam kloset.
Bergegas dia menuju toilet.
Ahmad membelakanginya sambil tersenyum menyadari kegrogiannya.
Di dalam toilet, Fatia menarik napas dalam-dalam, ingin sekali sekarang dia mengungkapkan isi hatinya. Akan tetapi keraguan kerap menelisik hatinya.
Mungkinkah dia bisa diajak bicara? Dia berusaha memenangkan diri dan mengumpulkan keberaniannya.
"Aku mau tanya kenapa dulu kamu tiba-tiba mengajakku bertunangan, tapi kemudian kamu malah menikah dengan perempuan lain!"
Tiba-tiba Fatia keluar dari toilet memberondongi Ahmad yang sedang cengengesan dan tidak siap dengan pertanyaan mengenai masa lalunya.
Ahmad membalikkan arah kursinya, masih diam dan hanya memandangnya datar. Dia tidak menjawab apa yang ditanyakan perempuan yang sebenarnya selalu ia rindukan selama ini.
"Kenapa, Ahmad? Bertahun-tahun kamu mengekang aku dengan perasaan seperti ini?"
Fatia berurai air mata. Dia harus jujur mengatakan bahwa apa yang telah Ahmad lakukan telah membuatnya terluka dan memendam sakit hati selama ini.
"Maaf, saya tidak membicarakan masalah pribadi di kantor. Sekarang kamu kembali ke ruangan kamu dan atur janji meeting saya hari ini dengan Departemen PPIC & siapkan weekly meeting dengan staff satu jam lagi," ucapnya enteng tanpa beban walau gadis di hadapannya sudah bersimbah air mata. Fatia menatapnya nyalang.
"Tapi ..."
"Satu hal lagi, di gedung ini, saya adalah atasan kamu. Bicaralah dengan sopan, dan panggil saya Bapak!"
Belum selesai Fatia berbicara, Ahmad sudah memotongnya dengan arogan.
Dia beranjak dari duduknya dan mendorong gadis berambut panjang itu perlahan keluar ruangan, dan pintu pun ditutupnya. Fatia tak mampu berkata-kata lagi setelah melihat reaksi Ahmad.
Dia bahkan tidak menghargai airmata dua belas tahun ini.
Gumamnya.
Dia menjatuhkan pantatnya dengan kasar di atas kursi kerjanya. Tanpa disadari, ia mengetuk-ngetukkan high heelsnya dengan gemas.
Ahmad memang sudah menduga akan sulit menghadapi masalah ini, namun tekadnya sudah bulat, ia akan menyelesaikan dengan caranya, bukan menuruti cara Fatia yang telah menghancurkan impiannya dulu.
Saat Manajer HRD Menyodorkan beberapa orang kandidat untuk menggantikan posisi Andini, tanpa sengaja sorot matanya tertuju pada aplikasi dengan foto Fatia. Mantan kekasih yang terlihat jauh lebih cantik dibanding dulu dia mengenalnya.
Yaa betul, inilah Fatia yang pernah menjadi miliknya. Gadis yang pernah mengecewakannya dulu hingga ia terjebak dalam drama panjang kehidupannya sekarang.
*****
Tahun 2006
"Fatia, aku mau nikah sama kamu, mau enggak jadi istriku?" tanya Ahmad suatu hari.
"Sekarang?" tanya Fatia heran.
"Menurutmu?" tanyanya lagi dengan semringah.
"Gila, ya kamu! Aku kan masih sekolah, belum juga lulus SMA!" ucapnya sedikit gusar.
"Maksudku, kita bisa tunangan dulu, nanti lulus sekolah baru kita nikah."
"Gimana aku jelasin sama Ayah Bunda? karena selama ini, mereka tahunya aku enggak punya pacar. Terus tiba-tiba kamu ngajak tunangan?"
Tiba-tiba suasana menjadi hening.
"Aku berhenti kuliah, Fat, Umak memintaku pulang ke Palembang?"
Akhirnya dengan perlahan Ahmad mengemukakan alasannya.
"Apa? Ke Palembang? makin jauh aja. Kenapa enggak sekalian aja ke Papua atau ke Merauke sana!" ucap Fatia dengan kemarahan khas anak remaja.
"Ya, mau gimana lagi, aku enggak punya pilihan. Umak mengancam akan berhenti membiayai kalau aku masih bersikeras tinggal di Bandung," jawab Ahmad.
"Kamu enggak minta bantuan Papamu?"
"Yahh, Papa lagi. Aku kan sering cerita sama kamu kalau Papa itu, kadang ada, kadang enggak ada. Malah lebih sering enggak adanya," jawabnya kecewa mengenang sosok ayah biologisnya yang gila wanita.
"Tapi, kenapa harus bertunangan secara mendadak begini? Kamu pindah ke Palembang pun kita masih bisa melanjutkan hubungan, ‘kan?"
"Bogor – Palembang terlalu jauh, Fat. Aku enggak yakin kita masih bisa saling setia," ujarnya.
"Kita? Mungkin kamu enggak akan bisa! Laki-laki kebanyakan seperti itu, ‘kan? Bogor – Bandung sudah berhasil kita jalani!" jawab Fatia ketus.
Suasana kembali hening, Ahmad pun tak tahu lagi apa yang akan dia ucapkan. Dia memainkan gelang yang sengaja dipesannya untuk Fatia.
"Kenapa kamu enggak coba bilang dulu sama Ayah Bunda mengenai rencana kita ini?" Tiba-tiba Ahmad bersuara, menghentikan kesunyian di antara mereka.
"Rencana kita? Bukankah ini rencana kamu?"
"Ya, tapi kan tadi aku tanya kamu, kamu jawab mau," bela Ahmad.
"Aku mau, tapi tidak sekarang! Percuma bilang juga, karena aku tahu apa jawaban mereka. Kamu tahu sendiri gimana kerasnya sifat Ayah. Dia sudah buat rencana pendidikan untukku, terus tiba-tiba aku harus ngomongin ini? Konyol sekali!"
Kembali terjadi pertengkaran yang tak terelakkan. Rasa rindu yang menumpuk membuat jiwanya labil.
"Lalu, gimana dengan hubungan kita?"
"Gimana apanya? Kamu mau putusin aku, tapi kamu muter kesana-sini. Sudah cukup, aku paham maksud kamu!" bentak Fatia.
"Aku enggak bermaksud begitu, Fat, aku mau kita realistis aja jarak Bogor-Palembang terlalu jauh untuk kita!"
"Ok, kita putus! Itu kan mau kamu?" teriak Fatia.
Fatia tidak menggubris alasan yang kembali dilontarkan Ahmad. Bergegas dia pergi meninggalkannya yang masih diam di tempatnya, tidak beranjak sedikit pun.
Tangannya masih memainkan gelang yang tidak sempat dia berikan pada Fatia. Tak lama, emosi menyeruak batinnya. Diinjaknya gelang itu hingga patah tak berwujud. Gelang indah yang terbuat dari tulang, khusus dia pesan untuk Fatia.
Itulah pertemuan terakhir dengannya setelah dua tahun menjalin kasih. Rumah salah satu sahabat Ahmad telah menjadi saksi perpisahan mereka.
Ahmad tak sanggup menjelaskan kejadian sesungguhnya yang dia alami sehingga memaksanya untuk meminta Fatia menikah setelah lulus SMA.
Memang hal yang mustahil untuk mengajak menikah di usianya yang masih belia, begitupun dengan usia Ahmad yang hanya terpaut tiga tahun dengannya. Meminta pada kedua orang tuanya pun, ia tidak punya alasan yang kuat.
Belasan jam jarak yang dia tempuh dari Palembang ke Bogor dengan bus, hanya bermodalkan uang sisa yang ada di dompetnya demi membicarakan hal ini pada Fatia. Namun, yang ia terima tidak sesuai dengan yang diimpikan.
Tidak ada pelukan hangat, ungkapan rindu bahkan senyuman pun mendadak hilang dari wajah cinta pertamanya itu.
Kekecewaan yang luar biasa pada kekasihnya membuat sakit di hatinya mengendap. Musnah sudah impiannya menjadikan dia ibu dari anak-anaknya kelak.
