Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Farewell Party

"Widih ... seksi sekali nona sekretaris hari ini?" celoteh Aidan dengan tatapan mata nakal ke seluruh penjuru tubuh Fatia.

Hari ini Fatia berdandan tidak seperti biasanya. Rok pendek di atas lutut berwarna putih dengan kaos turtle neck berwarna pastel. Rambut panjangnya diikat ke atas hingga memamerkan lehernya yang jenjang.

Penampilannya semakin modis dilengkapi dengan kalung bertali coklat berhias batu-batu.

Kali ini, Fatia datang lebih awal dari atasannya.

Tak lama kemudian, menyusul kedatangan Andini.

Ketika terlihat sosok Ahmad dari kejauhan, Fatia langsung beranjak dan membukakan pintu untuknya. Andini pun tampak keheranan melihat tingkah polahnya.

"Selamat pagi, Bos!"

Fatia dengan gaya sedikit centil membukakan pintu dan memersilakan masuk lelaki berkemeja warna abu-abu tua. Ahmad pun tak bisa mengelak dari pemandangan yang menyentil hatinya.

"Andini, Fatia ke ruangan saya sekarang!" seru Ahmad selang lima belas menit kemudian melalui loudspeaker teleponnya.

"Andini, hari ini hari terakhir kamu di sini, tolong ajarkan dia cara berpakaian yang sopan, ini pabrik bukan tempat hiburan!"

Intonasi nada bicaranya agak tinggi dengan mata yang menunjuk ke arah Fatia.

"Maaf, Pak. Apakah ada yang salah dengan pakaian saya?" tanya Fatia.

"Rok kamu kependekkan, kamu pikir ini tempat biliar? Kamu lihat sekeliling kamu adakah yang berpakaian minim seperti kamu?"

Dengan memasang wajah heran, Fatia berdehem menunjuk ke arah Andini yang kebetulan sedang mengenakan rok pendek seperti dirinya. Andini pun merasa jengah dibuatnya.

"Jangan samakan kamu dengan Andini, dong! Dia karyawan lama di sini, kamu anak baru. Jangan berikan image perempuan murahan di sini!" ucap Ahmad meradang.

Sekretaris baru itu terlihat kaget mendengar intonasi Ahmad semakin tinggi karena bahasa tubuh Fatia yang seolah membantahnya.

Murahan? Sedangkal itukah Ahmad menilainya dari pakaian yang dikenakan? Bukan ini yang diharapkan.

Dia memang sengaja berpakaian seperti ini untuk memancing sikap dingin Ahmad padanya, tapi bukan seperti ini ekspektasinya. Fatia pun menunduk merasa ditelanjangi di depan Andini. Andini mengusap bahu Fatia perlahan dan mengajaknya keluar.

"Maafkan saya, Pak!"

Fatia meninggalkan ruangan atasannya dengan rasa jengkel. Tampak wajah Fatia memerah menahan geram.

"Mungkin bapak sedang bad mood hari ini. Sabar, ya Fat. Sebetulnya dia baik, kok."

Andini mencoba menghiburnya.

Menurut Fatia, bosnya yang menyebalkan itu hanya mencari-cari alasan saja untuk menyalahkannya, karena tidak ada yang salah dengan gaya pakaiannya.

*****

Ruang rapat didekor dengan meriah. Banyak balon dan kertas berwarna-warni menghiasinya.

Nasi tumpeng mini yang terlihat menggiurkan berjajar di pojok meja panjang. Snacks dan soft drink pun turut melengkapi pesta perpisahan malam itu.

Ahmad berdiri memegang kue tar besar berukuran 40x60 cm yang bertuliskan :

"Thank you for the excelence 6th years with us. We will miss you."

yang disertai gambar emotikon sedih.

Dengan senyum manisnya, dia menyerahkan kue tar itu pada Andini. Kemudian calon pengantin itu menaruhnya di atas meja, dan mereka pun berpelukan erat. Andini menangis haru begitu pun Ahmad.

Fatia ikut terharu melihat pemandangan itu.

Dia pun pernah dipeluk sehangat dan seerat itu ketika melepasnya kuliah ke Bandung, dulu.

Mereka berdua menangis dan saling bertatapan. Kerinduan itu berakhir dengan kecupan mesra Ahmad di keningnya. Kemudian Ahmad tak bosan membisikkan kata mesra yang sama, yang sampai saat ini selalu diingatnya.

"Jaga hatimu untuk aku, ya. Aku akan selalu pulang untuk kamu."

Fatia mengangguk perlahan tanpa melepaskan pelukannya. Ingin rasanya waktu berhenti berputar saat itu.

Pelukan yang dirasanya terlalu nyaman hingga berat untuk melepaskannya.

Fatia terhenyak dari lamunannya, ketika Andini menghampirinya, mengulurkan tangan untuk memeluknya. Tak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat Ahmad memerhatikan dan tersenyum ke arahnya.

Yaa, itu dia! itu senyuman yang dulu hanya untuk aku. Senyuman saat dia pulang ke Bogor untuk melepaskan rasa rindunya padaku.

Batin Fatia.

Sadar bahwa Fatia sedang menatap ke arahnya dan memergoki senyumannya, buru-buru Ahmad meralat mimik wajahnya. Kembali datar dan terlihat dingin menyebalkan.

Andini melepaskan pelukannya.

"Baik-baik sama bapak, ya? tolong jaga dia untukku, dia lelaki terbaik yang pernah aku kenal," bisik Andini.

Fatia mengangguk walaupun hatinya membantah ucapan Andini. Yang lain pun bergiliran mendapat pelukan dari Andini. Rupanya, dia adalah salah satu karyawan terbaik yang dimiliki departemen marketing ini sampai Ahmad membuatkan farewell party untuknya.

Fatia termangu mengingat kata-kata Andini tadi. Kenapa Ahmad begitu spesial di mata Andini? Apakah ada hubungan khusus di antara mereka?

Sudah banyak sekali cerita bos dan sekretaris memiliki afair di kantor. Bahkan mantan atasan Fatia pun pernah tergila-gila padanya sampai pernah memintanya untuk menjadi istri simpanan. Beruntung otaknya masih waras dan kemudian memilih mengundurkan diri daripada jiwanya merasa terteror setiap hari melihat tatapan nakal bosnya.

Pesta pun usai. Setelah puas berfoto-foto, Andini pun pamit pulang, begitu pula yang lain. Tinggal Fatia yang masih di ruangannya, duduk di kursi yang dialasi kertas-kertas buram. Dia lupa membawa pembalut hingga roknya yang putih ternoda dengan darah merah yang membentuk bulatan di bagian belakang.

Ahmad keluar ruangan hendak bersiap-siap pulang. Langkahnya terhenti ketika melihat Fatia masih duduk di kursinya dan pandangannya tertuju ke arah kertas-kertas yang didudukinya.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, dia kembali ke ruangannya dan mengeluarkan kemeja lengan panjang dari dalam lemari pakaian. Dia menyerahkannya pada Fatia dengan wajah dingin. Fatia tersenyum malu menerimanya.

"Terima kasih, Pak," ujarnya tanpa jawaban dari Ahmad.

"Ayo cepat saya antar kamu pulang!"

"Hmm, enggak usah, Pak. Saya naik bus saja."

"Yakin? Bleberan gitu naik bus?"

Fatia menggeleng cengengesan. Akhirnya tanpa punya pilihan yang lebih baik, Fatia menerima tawarannya.

Diikatkannya kemeja itu menutupi bagian belakang roknya. Ia segera membereskan meja dan kursinya lalu bergegas mengejar Ahmad menuju parkiran.

Malam itu jalanan sangat padat. Seharusnya mereka bisa tiba di rumah dalam waktu satu setengah jam.

Selama itu, perjalanan yang dilalui tetap hanya kebisuan yang menguasai. Tidak ada yang mampu memulai percakapan, walaupun miliaran kata menari-nari di kepala menuntut untuk dimuntahkan, tapi lidah rasanya menjadi kelu.

Ahmad mengencangkan volume musik untuk memecah kebisuan di antara mereka, sampai akhirnya tiba di depan sebuah rumah yang cukup familier. Rumah yang tidak mengalami banyak perubahan sejak dulu, hanya catnya saja yang kini berganti warna dan pohon mangga yang semakin lebat menjulang tinggi.

"Terima kasih, P-Pak," ucap Fatia basa-basi memecah keheningan.

"Sama-sama, silakan!" jawab Ahmad singkat sambil membukakan pintu dari dalam.

Sontak Fatia kaget, ia tak mengira Ahmad akan sekasar itu memperlakukannya bahkan saat di luar kantor. Dengan ketus dia memintanya untuk segera turun. Fatia memberikan pandangan penuh keheranan, tapi Ahmad malah memalingkan pandangan lurus ke arah kaca mobilnya.

Dia pun menurutinya untuk turun dan tanpa sengaja membanting pintunya cukup keras, kemudian Ahmad melajukan kendaraannya dengan tergesa-gesa dan masih meninggalkan tanda tanya besar di kepala Fatia.

Keluar komplek perumahan, Ahmad memarkirkan kendaraannya di pinggir jalan. Seketika air mata yang sedari tadi ditahannya keluar juga. Dia menangis, lagi dan lagi air matanya tak tertahankan. Tak peduli sepasang mata sedang memerhatikannya dari jauh.

"Terima kasih, Tuhan. Terima kasih sudah memberikan takdir bertemu dengannya lagi," ucapnya pelan menengadah ke langit yang gelap.

Tak lama kemudian dia menyeka air matanya.

Ahmad menyalakan sebatang rokok, dan melihat sekeliling komplek perumahan kediaman Fatia. Ditariknya napas dalam-dalam, berusaha menetralisir emosinya yang tidak karuan.

Tanpa ia sadari, senyumnya menyungging mengingat masa remajanya saat bolak-balik ke komplek itu untuk menemui kekasihnya.

Tidak sampai habis rokoknya, dia melanjutkan perjalanan. Pulang ke rumah di mana keluarganya sudah menanti.

Di tempat lain, di sebuah teras rumah yang dipenuhi tanaman hias dan bunga-bunga, Fatia masih memikirkan Ahmad.

Kenapa Ahmad begitu berubah sikapnya? Apakah dia mengalami gegar otak hingga amnesia? atau apakah Ahmad punya saudara kembar?

Dua tahun mengenalnya sepengetahuanku, Ahmad adalah anak tunggal. Namanya pun sama Ahmad Alamsyah. Apa yang salah hingga membuatnya mengalami perubahan yang sangat drastis?

Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, seharusnya dia sangat ramah dan baik seperti dulu. Tak adakah sisa rasa rindu untukku?

Batin Fatia.

Walaupun dia sudah berkeluarga, paling tidak, pernah ada kisah diantara mereka. Kisah cinta masa remaja yang mereka niatkan serius hingga bermimpi membawanya ke jenjang pernikahan.

--------------

1. Pembersih dan pengharum kloset berupa batangan berbentuk bebek biru.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel