Bab 2 Mantan=Bos menyebalkan
Ketika Andini memunggunginya hendak menyiapkan teh manis hangat untuk Fatia, pandangan mereka beradu. Saling menatap nanar seolah ingin meluapkan dendam, sakit hati dan rindu yang bercampur baur mengaduk-aduk ruang hatinya.
"Terima kasih, Mbak."
Tak lama Fatia menerima teh hangat manis dari Andini dengan tangan sedikit bergetar.
"Andini, kalau dia masih lemas, suruh rebahan saja dulu."
Ahmad berlalu menuju toilet tanpa menoleh padanya yang masih menatapnya nyalang. Tak disangka di dalam toilet, Ahmad tersenyum menyeringai di depan cermin sambil menyisir rambutnya yang sudah rapi.
"Andini, kamu sudah beri tahu Fatia untukk ganti bebek*1 secara rutin di kloset? Ini sudah mulai hilang, loh wanginya!"
Ahmad berkata setengah berteriak dari dalam kamar mandi.
"Sudah, Pak. Biar aku dulu yang ganti," jawab Andini mendekat ke arah toilet.
Ahmad dengan santai keluar toilet dan berjalan melewati sekretaris barunya yang masih duduk di sofa tanpa memalingkan wajah sedikit pun ke arahnya.
Bahhh! Sejak kapan dia jadi resik begini? Dulu di kosannya saja pakai kamar mandi bersama.
Batin Fatia kesal.
"Fatia, kalau sudah merasa baikan silakan lanjutkan pekerjaannya. Andini tidak punya banyak waktu untuk mengajari kamu," ucapnya ketus.
"Ba-baik, Pp-Pak," jawab Fatia grogi.
Dia beranjak dari duduknya dengan pandangan tak lepas ke arah bosnya sedangkan Ahmad mengalihkan pandangannya ke arah monitor layar datar, pura-pura menyibukkan diri.
"Hei, kenapa tingkahmu aneh sekali di dalam tadi?" tanya Andini.
Rupanya dia memerhatikan gerak-geriknya setelah Fatia pingsan.
"Aku-aku, aku cuma sedikit syok saja, Mbak, soalnya wajah pak Ahmad mirip bos lama aku yang mesum. Jadi, agak trauma sedikit," jawab Fatia berbohong.
"Mesum bagaimana?"
"Ya, mm-aku hampir saja disetubuhi ketika tugas ke daerah."
Fatia mengalihkan wajahnya, khawatir Andini bisa melihat kebohongan di sana. Spontan saja terucap kebohongan level tinggi dari mulutnya.
Kenapa harus berbohong sehina itu?
Aah ... semoga ucapanku tidak tercatat oleh Malaikat sebagai doa.
Sesalnya dalam hati.
"Oh, tenang saja, dia bukan bosmu yang itu. Ok deh, kita lanjut lagi, ya. Hari ini kita pelajari File sales report dari divisi retail ..."
Andini tersenyum untuk menenangkan hati Fatia. Kemudian melanjutkan pengenalan laporan-laporan padanya. Pikiran Fatia melanglang buana ketika Andini menjelaskan detail pekerjaannya.
****
Tahun 2005
"Hai!"
Senyum manisnya memamerkan deretan gigi yang rapi dan sepasang lesung pipi yang membuatnya selalu menarik untuk dipandangi.
Secara tiba-tiba muncul di depan rumah membawa sekotak coklat dan setangkai bunga mawar putih.
Bukan main terkejutnya Fatia atas kedatangan kekasihnya, mengingat hari itu adalah hari Minggu di mana ayahnya stand by di rumah. Ayahnya memang melarang anaknya berpacaran karena masih duduk di bangku SMA.
"Tenang, aku bawa rombongan. Tuh!"
Ahmad menunjuk teman-temannya yang masih berada di dalam mobil.
"Haaiii, Fatia!"
Serentak mereka menyapanya. Dua orang teman laki-laki dan satu orang teman perempuannya berhamburan keluar dari mobil sedan berwarna hitam.
"Yaa, ampuun!"
Fatia menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia tertawa melihat mantan kakak-kakak kelasnya datang menemani Ahmad menyambanginya.
"Ayo, masuk!" ajaknya.
Fatia bergegas menyembunyikan pemberian dari Ahmad di kamar. Khawatir ayah akan memergoki dan mencurigai ada hubungan khusus di antaranya. Mereka harus menutup rapat-rapat hubungannya hingga waktunya tiba.
Ayah baru akan memberikannya izin berpacaran, kelak ketika dia sudah duduk di bangku kuliah. Itulah yang pernah Ayah janjikan ketika pertama kali Fatia mengenakan seragam putih abu.
Setelah lulus SMA, Ahmad melanjutkan kuliahnya di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Bandung. oleh karenanya intensitas pertemuan mereka menjadi berkurang. Fatia bahagia, akhirnya bisa bertemu dengan kekasihnya setelah hampir sebulan tidak berjumpa.
Sore itu, Fatia berhasil membujuk ayah untuk jalan-jalan sore bersama Ahmad dan teman-temannya. Walaupun jarak terpisah ratusan kilometer, setiap awal bulan Ahmad pasti pulang ke Bogor untuk menyambanginya.
Di setiap acara kencannya, Ahmad harus mengeluarkan uang ekstra karena harus mentraktir teman-temannya yang menjadi tameng di depan kedua orang tua Fatia, namun dia tetap menikmati kebersamaan itu.
*****
“Fat? Hello ...” tanya Andini melambai-lambaikan telapak tangannya ke depan wajah Fatia.
“Eh, em-maaf, Mbak,” ujarnya terkesiap.
“Kamu ngelamun?”
Fatia tersipu malu saat Andini memandangnya dengan tatapan heran.
“Maaf, Mbak. Tadi aku masih kepikiran ... eng, eh kita tadi lagi bahas sales report ini nanti yang bikin siapa, Mbak?” tanyanya mengalihkan.
Andini masih memerhatikan gelagatnya yang jelas terlihat janggal. Beruntung Aidan masuk ke ruangannya dan mengalihkan kejanggalan itu.
“Andin, Bapak bisa ditemui, enggak?”
“Ada apa, Dan?” tanyanya balik pada Aidan salah satu staf marketing andalan.
“Mau konsultasi aja.”
“Sebentar, Dan. Fat, kamu coba hubungi Bapak,” pintanya tanpa mengalihkan pandangan pada odner yang berisi dokumen sales report.
“Aku, Mbak?” tanya Fatia ragu.
“Iya.” Andini menjawab singkat.
Bergegas Fatia masuk ke ruangan Ahmad tanpa mengetuk.
“Pak, ada ...”
“Kamu enggak bisa ketuk pintu dulu apa?” tanya Ahmad dengan ketus.
Dia kaget saat tiba-tiba pintu terbuka dan Fatia muncul di hadapannya.
“Maaf, saya lupa, Pak,” jawab Fatia menunduk.
“Kalau cuma manggil, ngapain ngabisin waktu ke sini, kan bisa pakai telepon.”
Ahh Fatia geram kenapa bisa lupa, betul juga apa katanya.
“Keluar sana!” serunya dengan sinis.
“Tapi itu Aidan urgen mau konsultasi sama ...”
“Saya bilang keluar!”serunya lagi memotong kalimatnya dengan ketus.
“Em-baik, Pak.”
“Rese!” umpatnya pelan saat membelakangi Ahmad.
Dia meninggalkan ruangannya dengan dongkol.
“Dan, Bapak masih sibuk sekarang. Nanti dikabari lagi, ya. Fatia memberi alasan saat menutup pintu ruangan Ahmad.
“Siapa bilang sibuk?”
Fatia kaget secara tiba-tiba Ahmad muncul di belakangnya dan mematahkan alasan yang baru saja ia sampaikan pada Aidan. Begitu pun dengan Andini, Aidan memandang Fatia dengan heran.
“Ayo masuk, Dan.”
Aidan mengekor atasannya menuju ruang Direktur yang luas dan nyaman.
“Kok bisa gitu sih, Fat?” tanya Andini yang dijawab Fatia dengan helaan napas kasar dan gelengan kepala.
Kemudian Fatia menghampiri Andini kembali mempelajari dokumen-dokumen sales report yang sempat terhenti tadi.
Apa yang tadi ia lakukan padaku adalah sebuah fitnah. Apa salahku? Di hari pertama bertemu bukannya memberi kesan baik. Bos macam apa dia?
Fatia bertanya-tanya dengan kesal dalam hati.
“Mbak yakin kalau bapak orangnnya baik?” Fatia memberanikan diri bertanya pada Andini.
“Kenapa?”
“Aku merasa enggak yakin kalau bapak sebaik yang Mbak bilang.”
“Maksudmu aku bohong?”
“Eng-nggak, bukan gitu, sih. Cuma apa yang tadi terjadi di dalam enggak sesuai aja.”
“Wait, maksud kamu apanya yang enggak sesuai?” tanya Andini penasaran.
“Eng ... ah sudahlah, Mbak. Kita lupakan saja.”
Fatia pasrah mengakhiri pembicaraannya. Dia adalah karyawan baru di sini, tidak mungkin dia mengungkapkan hal yang sebenarnya pada seseorang yang sudah lama bekerja bersama Ahmad. Semua akan sia-sia karena sudah pasti Andini tidak akan memercayainya.
Fatia merasa kecewa atas perlakuan Ahmad padanya dengan melontarkan kata-kata yang membuat kupingnya panas.
Tubuhnya mendadak lesu mengira-ngira kejadian fatal yang mungkin akan terjadi nanti. Karena baginya fitnah bukanlah masalah sepele.
“Fat, dipanggil bapak.”
Aidan memberitahukan pada Fatia sesaat setelah ia menutup pintu ruangan Ahmad.
“Ada apa?” tanya Fatia curiga.
“Enggak tahu,” jawab Aidan lelaki yang terlihat makin tampan dengan setelan serba hitamnya.
Fatia bergegas menuju ruangan atasannya. Kali ini dia tak lupa mengetuk pintu terlebih dahulu. Tak lama sebuah jawaban dari dalam memintanya masuk.
“Ngapain lagi kamu kemari?” tanya Ahmad dengan ketus saat melihat wajah Fatia muncul di balik pintu.
“Aidan bilang tadi Bapak panggil saya,” jawabnya.
“Enggak! Keluar sana.” Lagi-lagi Ahmad mengucapkannya dengan sinis.
“Tapi, tadi ...” tanyanya lagi.
“Keluar. Saya lagi banyak kerjaan!”
Fatia menghela napas dengan kasar dan memandang kesal ke arah sosok yang bahkan tidak mengacuhkan kehadirannya.
Saat dia meninggalkan ruangannya, Ahmad tertawa sinis.
Maksudnya apa, sih? Kenapa Fatia dibuat bingung? Sikapnya kekanak-kanakkan sekali. Tidak mungkin Aidan sengaja mengerjainya.
