Bab 18 Anniversary
“Happy anniversary, Kak Ahmad dan Yuk Diana.”
Grup WA keluarga besar ramai dengan ucapan setelah adik sepupu Ahmad mengunggah foto pernikahan mereka. Dalam foto, mereka terlihat seperti pasangan yang sempurna. Ahmad semakin tampan dengan jas begitu pun Diana yang berkebaya putih terlihat ramping, padahal dia sedang hamil tiga bulan.
Diana sibuk menjawab ucapan-ucapan itu. Namun, tidak dengan Ahmad. Dia malah mematikan ponselnya dan tidur menemani Samir yang sudah terlelap.
November 2006
Ahmad sangat kecewa ketika mengetahui bahwa alasan Umak memintanya meninggalkan Bandung untuk tinggal bersama di Palembang adalah menikahi Diana, kakak sepupunya.
Diana, anak tertua dari pamannya melakukan hubungan terlarang dengan kekasihnya. Namun, lelaki itu menolak untuk bertanggung jawab, malah kabur meninggalkan tanah Sumatera.
Kakak sepupu yang usianya terpaut tujuh tahun lebih tua dari Ahmad itu sebenarnya adalah perempuan cantik bergigi gingsul dan berkulit putih. Mereka tumbuh bersama karena ibu kandung Ahmadlah yang merawat sejak lahir. Karena dirawat sejak lahir, tak ayal Diana pun memanggilnya dengan sebutan yang sama dengan Ahmad, Umak.
Ayah Diana adalah seorang pengusaha besar di daerah Palembang. Beliau anak sulung dari enam bersaudara, di mana saat usianya masih remaja sudah mengambil alih peran tanggung jawab orang tua.
Uwak Ato biasa Ahmad memanggilnya. Uwak yang paling berjasa dalam hidup adik-adiknya. Dia tidak tamat SMA, karena sejak kedua orang tuanya meninggal dia memutuskan berhenti sekolah dan memilih bekerja menjadi buruh serabutan demi menyekolahkan kelima adiknya.
Ketika orang tua Ahmad bercerai, kehidupan Umak dan Ahmad pun ditopang oleh Uwak. Bahkan untuk tempat tinggal, mereka dibangunkan rumah persis di belakang rumah mewahnya.
Setelah lulus SMP, Ahmad memilih tinggal bersama ayah biologisnya di Bogor. Di situlah dia bertemu dengan Fatia yang merupakan junior di sekolah.
"Aku sudah punya pacar di Bogor, Mak." Ahmad mencoba menjelaskan.
"Pacaran di masa muda nanti juga bisa lupa, kalian itu masih cinta monyet namanya."
"Tapi kami serius Umak, selepas dia lulus kuliah nanti, kami berencana menikah."
"Omong kosong! Jiwa anak muda itu masih labil. Besok lusa dia ketemu laki-laki baru di kampusnya, kamu pun pasti akan didepak!"
"Fatia tidak seperti yang Umak pikirkan."
"Oh, jadi Fatia namanya?"
Tak kuasa melawan tatapan dingin Umaknya, Ahmad hanya menunduk. Dia masih berusaha menghindari permintaannya untuk menikahi Diana. Karena baginya, menikah adalah perkara serius, urusan hati tidak bisa main-main.
Tak terbayang rasanya menikahi kakak sepupu yang sejak kecil menjadi teman mainnya. Bagaimana nanti dia akan memperlakukannya? Memikirkannya saja sudah tak nyaman.
"Kamu bawa Fatia kemari bertemu Umak," pinta Santi, wanita yang tetap memilih menjanda setelah bercerai dengan ayah Ahmad.
Namun, bagaimana mungkin mengajak anak SMA pergi meninggalkan keluarganya berhari-hari? Mengajak kencan beberapa jam saja harus menggunakan berbagai alasan.
"Permintaan Umak terlalu sulit. Bagaimana bisa aku mengajaknya kemari? kalau orang tuanya saja tidak tahu kami pacaran. Mereka melarang anaknya berpacaran sebelum lulus SMA, Mak," ucap Ahmad tak bersemangat karena dia tahu ini adalah titik kelemahannya.
"Nah, itu saja sudah jelas. Bagaimana kamu akan meminang kalau orang tuanya saja tidak tahu kalian berpacaran."
Santi terlihat sangat sedih, karena kalau bukan Ahmad, siapa lagi yang bisa membantunya. Hanya Ahmad satu-satunya yang sudah akil baligh di antara semua keponakan.
Hatinya ikut hancur melihat Diana depresi menghadapi masalah ini. Santi merasa bertanggung jawab untuk menutup aib keluarga kakak yang disayangi dan dihormatinya. Terlebih, Diana pun sudah seperti anak kandung baginya.
*****
"Aku ingin minta tolong kamu, Yuk. Kehamilannya semakin hari semakin besar."
Ato memijit keningnya dengan wajah dilipat kentara sekali sedang kalut menghadapi aib besar.
"Aku sudah suruh orang cari bang*at itu, tapi tidak ketemu!"
Mimik wajahnya yang geram beradu kesedihan membuahkan bulir air mata, merembet di sela keriput pipinya.
Untuk pertama kali aib besar menghadang keluarganya. Sebuah keluarga yang terlihat harmonis dan sangat di hormati seluruh keluarga besar.
Lelaki tua yang sukses menjaga martabat kelima adiknya, namun gagal mengurus satu saja anak perempuannya. Putus asa dan depresi namun tak sanggup ia tunjukkan di hadapan anak dan istrinya.
"Ingin aku gugurkan saja kandungannya itu, tapi aku tak tega, Yuk. Menjerit batin ini!" tambahnya dengan memukul dada.
Santi memeluk Ato yang sedang rapuh. Tangisannya menggema. Ini adalah tangisan kedua sejak kedua orang tua mereke meninggal.
"Apa yang harus Ayuk lakukan, Kak?"
Santi melepaskan pelukannya. Matanya sayu menatap kakak kandungnya.
"Maafkan aku, Yuk. Bisakah kau bujuk Ahmad untuk menikahi Diana?" ucapnya parau.
"Demi menyelamatkan martabat keluarga yang sudah kita bangun dengan keringat dan air mata," lanjutnya.
Sebelumnya Santi sudah bisa menebak maksudnya, oleh karenanya dia segera minta anaknya untuk kembali ke Palembang.
Bukan hanya tangis mereka yang tak tertahankan, Ahmad yang baru saja tiba pun berurai air mata. Menanti di depan pintu rumahnya mendengar semua percakapan antara Kakak beradik yang sangat ia segani.
"Ayuk akan coba bicara dengan Ahmad, Kak." ucapnya sembari menyeka air mata.
"Setelah mendengar berita ini, Ayuk sudah minta dia untuk pulang."
"Terima kasih, Yuk, kau adikku yang paling pengertian. Terima kasih, Yuk."
Ato bersimpuh di kaki adiknya dan menangis haru. Santi terperanjat dan segera mengangkat bahunya kemudian memeluk sosok yang sudah banyak berjuang untuknya.
*****
Dengan tekad kuat Ahmad berpamitan untuk menemui Fatia. Berbekal uang tabungan seadanya, tidak satu rupiah pun dia minta pada Umaknya.
Sehari setelah tiba di Bogor, dia menemui Fatia. Dugaannya tepat, melamar anak remaja di usia yang sedang asyik-asyiknya bergaul adalah hal yang sulit. Lamarannya berbuah penolakan malah berujung tuduhan.
Dengan memendam kekecewaan teramat dalam, membuat kakinya terasa berat untuk dilangkahkan. Kegalauan mendera relung hatinya. Menyelamatkan martabat keluarga Uwaknya adalah kewajiban mutlak demi membalas jasa-jasanya. Namun, melepaskan cintalah yang memberatkannya.
"Umak, aku bersedia menikah dengan Yuk Diana. Tapi harap Umak tahu, aku takkan sanggup memberikan hati ini padanya."
Umak mengangguk dan terharu memeluk anak semata wayangnya.
"Terima kasih, Ahmad. Uwak bilang pernikahan ini hanya sampai lima tahun sampai kau lulus kuliah saja. Selanjutnya kamu bisa menceraikannya. Yang terpenting saat ini adalah menyelamatkan bayi yang tak berdosa di dalam perut Diana."
Ahmad masuk ke kamarnya dengan letih. Kepalan tangannya dihantamkan ke tembok. Air mata sudah membanjiri wajah tapi dia menahannya sekuat tenaga supaya tak mengeluarkan suara hingga membuat kerongkongan tercekat. Dadanya berguncang menahan isak tangis yang semakin merajang hatinya.
“Bagaimana mungkin ia bisa sebodoh itu menyerahkan kehormatan pada pacar!” makinya dalam hati.
Tidak banyak waktu yang diberikan, satu minggu saja dia harus sudah melakukan ijab kabul untuk menghindari gunjingan masyarakat karena perut Diana semakin lama akan semakin membesar.
*****
Pesta pernikahan pun digelar dengan sangat meriah. Saking banyaknya tamu yang akan diundang, namun kapasitas hotel tidak memadai, akhirnya waktu pesta dibagi menjadi dua sesi.
Banyaknya kolega Uwak sebagai pengusaha besar di Palembang dan istrinya yang seorang anggota dewan.
Dari ribuan tamu yang hadir tapi tak satu pun sahabat dari Bogor yang di undang. Ahmad memilih merahasiakan semua. Jika ada satu saja yang hadir, khawatir fotonya akan sampai pada Fatia dan malah akan menyakitinya.
Mereka tersenyum menyambut semua tamu yang hadir. Bukan senyum bahagia melainkan senyuman palsu demi kepentingan publikasi.
Lain hal dengan Diana, tampak semringah berfoto dengan teman-temannya yang dia beri seragam berwarna hijau lumut. Kesepuluh temannya berbahagia atas pernikahannya karena tak satu pun dari mereka tahu kisah di balik ini.
