Bab19 Cuti yang berantakan
Ahmad mondar-mandir di depan rumah. Hari ini hari pertamanya cuti. Ia mengambil cuti tiga hari dengan tujuan untuk membicarakan Fatia pada Umak dan Yuk Diana istrinya.
Dia berencana membuka obrolan setelah keberangkatan Samir ke sekolah. Bagaimanapun Samir belum mengetahui fakta sebenarnya antara kedua orang yang dia anggap orang tuanya. Yang Samir tahu, ayah biologisnya adalah Ahmad dan ibunya adalah Diana.
Hati Ahmad masih gundah gulana, entah mau memulai dari mana. Bagi dia, kini sudah saatnya mengembalikan Diana kepada kedua orang tuanya. Setelah bertahun-tahun dia mengabdi dan merawat Diana.
Walaupun sejak awal semua keluarga tahu bahwa pernikahan ini hanya pernikahan di atas kertas dengan tenggat waktu lima tahun, namun pasca kelahiran Samir semua malah terlihat mendukung kelanjutan pernikahan itu. Semua bahagia melihat bagaimana telatennya Ahmad mengurus Samir sejak bayi dibanding Diana.
“Kenapa kamu mondar-mandir kayak orang linglung?” tanya Santi dari balik pintu. Wanita yang sehari-hari dipanggil Umak itu cukup mengagetkannya.
“Eng, enggak kenapa-kenapa, Mak?” jawab Ahmad dengan mata melirik Diana, istrinya
"Tingkahmu aneh sekali hari ini?"
"Kenapa, Umak?" tanya Diana dari dalam lalu menghampirinya.
"Enggak tahu, tuh dia dari tadi mondar-mandir terus."
"Lagi jatuh cinta kali, Mak," ledeknya.
Ahmad mengeryitkan dahi menoleh ke arah Diana.
Tidak berapa lama lelaki itu masuk mengajak Umak dan Diana ke ruang keluarga. Dengan keraguan, ia memberanikan diri untuk memulainya.
"Emm, begini. Aku sudah ketemu Fatia, Mak." ucapnya perlahan yang spontan membuat Kedua wanita itu kaget. Sebuah nama yang disebutkan saat Ahmad menandatangani kontrak pernikahan.
“Fatia?” tanya Santi lembut dengan mata mengerling ke arah Diana. Dia takkan mungkin bisa melupakan nama itu.
Diana tampak sangat serius menyimak perbincangan anak dan ibu itu. bola matanya pingpong melemparkan pandangan secara bergantian pada mereka berdua.
"Dia yang menggantikan Andini di kantor," lanjut Ahmad.
Kini raut Diana perlahan berubah merengut dengan napas sedikit memburu.
"Lalu apa yang membuatmu seperti orang kebingungan? Apakah dia sudah menikah?"
"Justru itu, inilah kabar baiknya. Dia masih sendiri, Mak. Yaahh, sebenarnya sudah punya pacar, sih," jawab Ahmad langsung meralat ucapannya sendiri.
Dia tersenyum malu mengusap-usap tengkuk dengan tangan kiri.
Ahmad memancarkan rona bahagia dengan mata membelalak menceritakan Fatia. Namun, tidak dengan Diana. Dia meninggalkan mereka menuju dapur.
Menyadari ada hal yang tidak beres terhadap Diana, Santi menuntun mata anaknya memandang kepergian Diana. Lelaki itu hanya menggeleng perlahan.
Perempuan berusia empat puluhan itu meraih gelas kemudian mengisinya dengan menekan tombol merah pada dispenser air. Napasnya semakin memburu dengan peluh menyisir dahi.
Tak lama dia menjerit kemudian menjatuhkan gelas yang luber dengan air panas. Percikan air mengenai kakinya yang bertumpu di atas kursi roda.
Sontak Ahmad dan Santi menghampirinya. Diana masih berteriak histeris karena kulit tangan kirinya memerah hampir melepuh.
Secara bersamaan terdengar suara mesin mobil berhenti di depan rumah.
“Biar Umak lihat,” ujar Santi.
“Sudah, Yuk, tidak apa-apa.” Ahmad berusa menenangkan istrinya yang histeris.
Dia mendorong kursi roda menjauh dari serpihan kaca dan meminta Hartinah, asisten rumah tangganya untuk membersihkan. Kemudian berlari ke arah teras belakang hendak memotong tanaman lidah buaya untuk mengobati luka istrinya.
Hartinah menutup satu telinga dengan tangan kiri mendengar teriakan majikannya yang sangat memekakkan telinga. Batinnya menggerutu melihat penyakit Diana yang kambuh. Tak lama Ahmad datang mengoleskan getah lidah buaya.
“Panas ... panas!” teriaknya saat Ahmad mengolesi luka sambil meniupinya.
“Sudah, Yuk, tenang, ya.”
“Kenapa, Diana?”
Tiba-tiba suara berat menghampiri mereka. Ahmad mendongak, Diana pun berhenti berteriak.
“Papah?” seru Diana dalam isaknya. Dia mengulurkan tangan meminta pelukan.
“Uwak? Kapan datang? Kok enggak kasih kabar sebelumnya?”
Ato dan istrinya Sri semakin mendekat ke arah mereka. Dia memeluk dan mengelus-elus rambut anaknya.
“Kenapa Ahmad?” tanya Sri, ibu kandung Diana.
“Ini tadi, Wak, Yuk Diana kena air panas,” jawabnya sambil beranjak dari jongkoknya dan meraih uluran tangan untuk dicium.
“Kita ngobrol di depan, Wak,” ajak Ahmad menggiring ke arah ruang tamu.
“Jadi, ada apa ini kok tiba-tiba muncul?” tanya ahmad lagi dengan tersenyum.
“Loh, memang enggak boleh? Uwakmu ini kangen kalian dari semalam, makanya tadi subuh langsung terbang ke sini,” jawab Uwak Sri yang disambut tawa semuanya.
Mereka mengobrol santai melepas rindu karena sudah dua tahun Ahmad tidak memboyong keluarganya pulang ke Palembang. Dimas, adik Diana ikut datang mengunjungi lengkap dengan istri, anak kembarnya dan dua orang pengasuh yang masih berusia dua puluhan.
Seketika rumah tinggalnya menjadi ramai. Ahmad menoleh lega ke arah Diana yang sudah tak lagi histeris.
Kini batinnya bergulat, apakah ini saat yang tepat mengembalikan Diana pada orang tuanya? Apakah tidak terlalu tiba-tiba, karena dia belum membicarakan lebih jauh perihal Fatia pada Umak dan Diana? Apakah ini waktu yang tepat setelah reaksi Diana tadi?
Tiba-tiba ponselnya bergetar, satu pesan masuk di grup kantor, dari Fatia.
“Ada satu yang harus ditanda tangani untuk release produksi, Pak. Saya jalan ke rumah Bapak.” Ahmad tercengang. Dengan gesit ia membalas pesan masuknya.
“Kamu tidak usah antar ke sini, minta Maryono saja yang antar ke rumah saya.” Jawab Ahmad.
“Pfuuh.”
Ahmad menghela napas dengan kasar yang mengundang tatapan dari semua orang. Matanya masih menatap layar ponsel berwarna hitam.
“Kenapa?” tanya Santi.
“Hah?” Ahmad masih tak sadar perbuatannya telah mengundang tanya orang-orang didekatnya.
“Ooh, ini dari kantor. Mau Ekspor, nyaris gagal karena ada dokumen tertinggal,” ucapnya beralasan yang dijawab anggukkan dan tatapan memaklumi.
“Kakak enggak ngantor?” tanya Dimas sambil menyeruput kopi hitam yang disuguhkan Hartinah.
“Kakak cuti sampai dua hari ke depan,” jawabnya membalikkan layar ponsel ke atas paha.
“Wah, kebetulan dong. Uwak kepengin nginap di daerah Puncak. Cobalah kamu carikan hotel yang bagus di sana,” pinta Uwak Sri.
“Kita rayakan anniversary kalian di Puncak,” tambahnya lagi.
“Kalau weekday, pasti jalanan ke sana juga tidak padat, kan, Kak?” timpal Cici adik iparnya yang rajin bersosial media.
Anniversary? Untuk apa merayakan anniversary? Toh, mereka tahu ini adalah pernikahan bohongan yang mengorbankan cintaku? Batin Ahmad.
Ahmad gelisah. Bagaimana mungkin menolak keluarganya yang sudah jauh-jauh terbang dari Palembang? Tapi bagaimana dengan rencana awalnya mengenalkan Fatia pada Umak dan Yuk Diana?
Ruangan kembali ramai, Dimas dan Cici istrinya beradu argumen mengenai vila dan hotel yang dicari melalui aplikasi. Pengasuh sibuk menghentikan tangisan si kembar karena berebut mainan.
Di sisi lain, Diana mengamati raut dan bahasa tubuh Ahmad. Wajahnya semakin ketus dengan sorot tajam ke arah Ahmad.
“Sebentar, ya.” Ahmad pamit beranjak dari duduknya menuju teras rumah.
Matanya bolak-balik melirik layar ponsel, belum ada balasan dari Fatia.
Dia kembali mondar-mandir melenturkan otot-otot yang tegang, sesekali melirik jam di tangan. Ponsel ditangannya di masukkan ke saku celana, tak lama dikeluarkannya lagi melihat pesan yang belum juga di balas.
Otaknya menjadi semakin buntu saat panggilan telepon pun tidak dijawab Fatia.
“Nunggu apa dia?” tanya Uwak Sri.
“Enggak tahu, Kak. Mungkin urusan kantor,” jawab Santi yang juga tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
Tak lama sayup-sayup terdengar deru mesin diesel merapat ke arah rumah. Santi yang sudah hafal dengan kendaraan milik kantor Ahmad yang biasa membawa Andini ke sini ikut terkejut.
Sontak Diana mendekat ke arah Ahmad dengan napas yang mulai menghentak. Umak meremas-remas jari tangan melihat raut sinis Diana yang bergerak ke luar.
Benar saja, kendaraan berwarna silver itu berhenti di depan rumah Ahmad.
Maryono sang sopir sudah melambaikan tangan dari kaca depan mobil. Tak lama pintu belakang terbuka. Satu kaki terbalut high heels hitam tampak terlihat di balik pintu.
