Bab 17 Lupakan dendam, Aku harus memilikimu!
Fatia masuk ke ruangan Ahmad hendak membereskan pekerjaan setelah satu minggu ia ditinggalkan.
"Oh, Bapak sudah datang? Pagi sekali, Pak? Baru juga jam 06.30,” ucapnya terkejut.
Fatia melirik jam di pergelangan tangannya.
Ahmad yang baru keluar dari toilet juga kaget melihat sapaan Fatia. Sebentar saja menatapnya sendu kemudian menghampiri dan refleks memeluknya.
Semakin lama pelukannya semakin erat hingga membuat napasnya sesak.
"Kamu sudah sehat? Jangan sakit lagi, ya. Jangan siksa aku seperti ini."
Fatia melongo bingung apa yang harus dilakukan. Segala rasa bercampur aduk di hatinya. Diam-diam ada sedikit rindu bersembunyi di kalbu setelah sekian lama tidak bertemu.
"Mmmhh,sesaak, Pak. Saya enggak bisa napas." Fatia mendorongnya kasar.
"Oh, maaf ... saya terlalu excited setelah seminggu enggak ketemu kamu. Enggak ada yang bisa handle kerjaan kamu, hampir saja semua berantakan, Fat. Meeting dengan direksi kemarin pun saya kekurangan banyak data. Untung kamu sekarang sudah sehat. Aahh .. syukurlah. Saya enggak bisa bayangin kalau kamu saat ini masih terbaring di rumah sakit ...."
Ahmad grogi hingga membuatnya meracau tak henti dengan alasan mengada-ada.
"Saya tahu Bapak yang menemani saya di rumah sakit!"
Potong Fatia. Ahmad memandanginya mencari tahu apakah kekecewaan atau justru kebahagiaan yang akan terpancar dari wajah gadis yang anggun dengan celana panjang berwarna hitam. Namun yang ditemukan hanyalah raut datar tanpa ekspresi.
"Terima kasih banyak, Pak! Perawat itu titip salam buat Bapak."
Dia berkata ketus seraya meninggalkan ruangan Ahmad tanpa memberikannya sedikit saja kesempatan untuk menjelaskan. Lelaki itu hanya menatap punggungnya menjauh dengan perasaan tidak menentu.
Hanya itu?
Hanya ucapan terima kasih yang terdengar datar bahkan terkesan basa-basi di telinga? Tak adakah lagi keinginan untuk berbicara dari hati ke hati? Tak adakah rasa bahagia setelah ditemani?
*****
"Besok saya cuti, kamu siapkan dokumen-dokumen yang membutuhkan approval saya sore ini. Oya, form untuk approval produksi dari PPIC sudah kamu terima, kan? Setelah makan siang saya akan cek detailnya karena ada revisi sedikit di bagian aksesoris dan quantity order. Jangan lupa, kamu koordinasi dengan Aidan karena ini proyeknya."
Fatia sibuk mencatat instruksi dari atasan yang berbicara cepat seperti terburu waktu.
"Baik, Pak."
Dia menjawab tanpa mengalihkan mata dari catatannya.
"Kalau ada yang kurang paham, segera tanyakan langsung pada departemen terkait," ujarnya mengurangi kecepatan berbicara.
"Baik, Pak!"
"Aidan, jangan lupa detail revisi per itemnya apa saja. Jangan ada yang kelewat semua harus tertuang di PPIC form. Sambil berjalan kamu bikin request form ke bagian D&D supaya dibuatkan sampel final sesuai revisi."
"Ok, Pak!" jawab Aidan.
"Satu lagi, minta D&D siapkan sampelnya dari sekarang. Revisinya tidak banyak, kan? Kamu lobi dialah supaya bisa selesai besok pagi. Si Tatu masih jomblo, kan?" ujarnya meringis.
"Apa hubungannya, Pak?" tanya Aidan curiga.
"Kamu rayu dia supaya sampelnya cepat selesai. Dia suka resek, kan, kalau diburu-buru begini?"
Semua tertawa meledek Aidan. Ahmad membicarakan Tatu, desainer senior yang masih melajang di usia hampir lima puluh tahun. Karakternya keras dan sempat terembus rumor bahwa dia pernah menjadi kekasih gelap Mr. Choi seorang Korea yang membawahi departemen D&D.
"Aahh, ini yang terberat, Pak!" keluh Aidan yang mengundang tawa semuanya. Ahmad pun tersenyum.
"Bisa enggak dilobinya sama gorengan depan pabrik saja? kalau perlu sama Abang gorengannya sekalian, deh," guyon Aidan yang menambah riuh tawa tim marketing.
Tak jarang stafnya sering bermasalah dengan satu desainer perempuan itu. Arogansinya kerap muncul saat tim marketing membutuhkannya. Dia merasa jemawa karena senioritas.
"Mbak Yanti, coba tolong tanyain, lagi PMS enggak dianya. lagi normal saja reseknya luar biasa, apalagi kalau PMS?" keluh Aidan, lagi-lagi memancing tawa.
"O iya, satu lagi, Fatia kalau Aidan coba gombalin kamu lagi, saya ijinkan kamu untuk menonjok wajah tampannya biar rusak sedikit."
Semua staf kembali tertawa. Tumben sekali briefing kali ini Ahmad banyak berguyon. Tidak seperti biasa, kaku, dingin dan selalu menyebalkan saatFatia selalu menjadi sasarannya.
"Yaaah, Bapak namanya juga usaha. Sudah ditanyain Emak nih kapan bawa pulang calon istri."
"Ya, coba bawa si Tatu itu ke Mamamu, jangan Fatia, dia sudah punya calonnya sendiri. Iya, kan Fat?"
Fatia tersenyum malu. Wajahnya merona merah saat Ahmad menggodanya.
Hei! Apakah Arya yang dimaksud Ahmad? Aahh, rasanya tidak mungkin.
"Ok, man of the match bulan ini, kita kasih tepuk tangan untuk Aidan."
Ahmad mengangkat tangan kiri Aidan dan semua bertepuk tangan atas pencapaian target yang diperoleh Aidan.
*****
Sore menjelang jam pulang kantor, kesibukkan melanda semua departemen karena meluapnya proyek.Di awal bulan ini minggu pertama, sudah melampau target bulanan departemen Marketing.
Sejak dipegang Ahmad, tujuh tahun terakhir departemen marketing selalu menunjukkan performa yang hebat. Setiap tahunnya target order selalu bisa dengan mudah dicapai. Ahmad cukup bertangan dingin dalam memilih dan memaintain tim kerjanya.
"Saya antar kamu pulang, Fat," tanya Ahmad ketika waktu sudah menunjukkan pukul 20.30 Wib.
"Enggak usah, Pak."
"Kamu bawa kendaraan?"
"Enggak juga sih, Pak. Masih di bengkel kayanya masih lama karena ada part yang indent."
"Ya, sudah saya antar saja."
Fatia ragu, rasa enggan menelusup hatinya. Khawatir kejadian dulu terjadi lagi.
"Mau enggak?" tanyanya lagi.
"Ok, deh, Pak, saya ikut sampai Cileungsi saja, ya. Nanti tinggal nyambung angkutan umum ke Bogor."
"Saya antar sampai depan pintu rumah kamu. I insist! Ayo, siap-siap, saya tunggu di parkiran."
Fatia tidak bisa menolak ketika Ahmad memaksanya. Dari pada menerima tawaran Aidan sudah pasti lebih baik dengan Ahmad.
Bekasi - Bogor kemudian kembali lagi ke rumahnya di Cibubur. Jarak yang melelahkan di tengah kesibukan yang mendera sejak pagi tadi. Takkan mungkin dia lakukan jika bukan karena cinta yang besar pada Fatia.
*****
Alunan suara harmonika dan gitar mulai terdengar dari USB yang terpasang di audio mobil Pajero sport hitam.
Ahmad menambah volume suaranya. Sebait lagu familier terdengar di telinga. Tiba-tiba lelaki itu bersenandung di reffrain lagu, pelan dan merdu dengan suara serak.
Keanehan apa lagi ini? Seharian ini tidak ada drama kejam di kantor. Dalam waktu singkat Ahmad berubah menjadi sosok yang menyenangkan.
Fatia mengira-ngira dalam hati.
Dia melirik ke arah lelaki yang tampak semringah bernyanyi di balik kemudinya.
But you say, this ain't about me and this ain't about you
Or the good and the bad times we both been through
When the lines between brothers and justice have changed
You do what you've gotta cause you can walk away
Ahmad melirik Fatia mengangguk-anggukkan kepala dengan mata berbinar memberi kode untuk ikut bernyanyi mengisi perjalanan pulangnya yang masih padat merayap.
Sebuah lagu yang dulu sering mereka nyanyikan sepanjang perjalanan dengan motor CB 125. Fatia masih terlihat ragu.
Wonder what would have happened if you were the killer?
And I was the hero would things be the same
Or would I have traded your life for my own life?
Would I have paid your depts in your place?
I don't know
But you say, this ain't about me and this ain't about you
Or the good and the bad times we both been through
When the lines between brothers and justice have changed
You do what you've gotta cause you can walk away
"Kamu masih ingat lagu inienggak, Fat? Lagu dari penyanyi idola kamu. Soundtrack film Young guns yang enggak bosan-bosan kita tonton sampai berapa kali?" ucapnya melempar pertanyaan.
"Tiga," jawab Fatia datar dengan spontan
Otaknya mulai dirasuki pikiran negatif. Kenapa tiba-tiba Ahmad membuka-buka lagi memori dengannya?
*****
Tahun 2005
Hawa puncak saat itu dingin sekali, Fatia mempererat pelukannya pada Ahmad. Sama-sama tidak menggunakan helm dan jaket hingga hawa dingin sangat menusuk pori-pori kulit.
Dingin tapi terasa hangat bagi remaja yang sedang jatuh cinta. Hanya tawa dan obrolan seru sepanjang perjalanan. Berduet menyanyikan lagu itu dengan keras. Tak peduli orang sekitar melihatnya.
*****
Fatia tersenyum mengingat momen itu. Momen lucu di mana Ahmad menjemput mengajak makan mi rebus di Puncak, padahal di Bogor kota tak jauh dari rumah pun banyak penjual mi rebus.
Lama-lama tanpa disadari, Fatia pun ikut bernyanyi. Menyadari Fatia sudah larut dengan momen yang diciptakan, Ahmad menekan tombol rewind. Berakhirlah perjalanan malam itu dengan duet mengenang masa lalu.
Hey Patty Garret that's what I used to call you
They tell me you want me but I hear they've got you
They made you a law man with a badge made of silver
they paid you some money to sell them my blood
But you say, this ain't about me and this ain't about you
Or the good and the bad times we both been through
When the lines between brothers and justice have changed
You do what you've gotta cause you can walk away.
(Lagu dari Jon Bon Jovi, Judul Blood Money)
"Dan kamu ingat? Ketika perjalanan pulang, motor kamu mogok tepat di lampu merah. Jadilah aku pulang naik angkot (angkutan umum) sendiri."
"Yaa, gara-gara kamu bohongin Bunda. Bilangnya mau main ke rumah Rika. Padahal kencan denganku."
Ahmad membalas dengan disertai senyuman terindah yang baru kali ini terlihat setelah enam bulan Fatia menjadi sekretarisnya. Mereka pun saling melempar tersenyum.
Momen tanpa batas, lupa sudah kalau mereka adalah seorang Bos dan Sekretaris. Lupa pula kalau hubungannya selama ini bak kucing dan anjing.
Sebuah lagu yang membuat Fatia larut terbang ke masa remajanya. Momen yang sebetulnya sudah Ahmad nantikan. Dia berharap momen ini akan membuka jalan selanjutnya, menyelesaikan yang tertunda.
Yang terbaik menurut versinya.
