Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 16 Mencintainya?

“Kok tiba-tiba nongol, sih? Untung masih di sini.”

“Aku WA kamu enggak ada respon, makanya langsung meluncur,” ujarnya dengan senyum yang hangat.

“Iya, HP-nya di tas. Maaf, ya.”

Arya memapahnya menuju lift.

“Loh, ada Arya?” tanya lelaki dengan kemeja lengan pendek kotak-kotak yang menyambut saat pintu lift terbuka.

“Iya, Om. Maaf agak terlambat datangnya.” Chef itu mencium punggung tangan Ahmad Khaerudin, ayah Fatia.

“Enggak usah panggil Om, panggil Ayah saja, lah.”

Kini ayahnya yang berkelakuan sama dengan bunda saat pertama kali bertemu dengan Arya.

Fatia melongo ke arah ayahnya yang langsung tersenyum ke arah bundanya.

Sepertinya Mieke sudah banyak bercerita tentang teman lelaki anak gadis semata wayang. Arya yang belum lama melamarnya sebagai kekasih merasa tersanjung karena restu kedua calon mertuanya sudah di tangan. Kini yang harus ia lakukan hanyalah menaklukkan hati Fatia agar bisa mencintainya sebesar cinta yang ia miliki.

“Kalau gitu, Ayah langsung ke kantor saja, ya. Arya yang antar pulang.”

“Iya Om, eh Ayah, aku memang berniat menjemput dan mengantar Fatia pulang, kok.” Ucapan Arya yang ramah semakin meyakinkan lelaki tua itu, anak muda di depannya adalah sosok yang memiliki tanggung jawab.

“Ya, sudah, kalian langsung pulang saja. Sebentar lagi urusan aya selesai.”

Ahmad menyerahkan bungkusan plastik kecil berisi obat-obatan yang baru saja ditebus dari apotek rumah sakit.

“Dari tadi belum selesai, Yah?” tanya Mieke.

“Satu tahap lagi, nunggu konfirmasi dari pihak asuransi kantor,” ujarnya.

“Bun, aku ambil mobil dulu, ya. Bunda tunggu saja di lobi.”

Arya memapah Fatia yang diikuti Mieke ke arah sofa besar di lobi rumah sakit. Kemudian dia berlalu ke parkiran. Mieke terlihat mengedipkan mata pada suaminya yang dibalas anggukkan dan senyuman semringah.

Tak lama, Civic putih mendarat di depan lobi. Arya bergegas memasukkan tas dan koper ke bagasi di samping barang bawaannya, kemudian memapah Fatia ke jok depan. Dia bergerak mendekat pada Ahmad untuk berpamitan. Ahmad pun melepas mereka dengan senyuman puas. Bahkan sampai mobil putih itu menghilang dari pandangannya, dia masih saja tidak bisa melepaskan senyum di wajahnya.

Akhirnya, sebentar lagi aku akan punya mantu. Harapnya haru.

“Kamu bolos kerja?” tanya Fatia.

“Aku cuti sampai dua hari ke depan,” jawabnya dengan mata serius ke arah jalanan padat dengan kendaraan beroda dua yang dikemudikan perempuan-perempuan membonceng anak.

“Kenapa cuti?” tanya Fatia memandang heran ke arahnya. Arya melirik ke arah spion, dilihatnya Mieke menyandar ke jok dengan mata terpejam.

“Mau ngurusin kamu,” ucapnya pelan dengan kepala didekatkan pada Fatia.

“Enggak usah, bikin repot saja. Aku udah sehat. Rencananya besok juga mau masuk, kok,” ujarnya pelan yang disambut dua pupil melotot ke arahnya.

“Enak saja kerja. Kamu tuh baru sembuh, masih harus istirahat dulu.”

“Tapi ...?” rengeknya.

“Ssst .. sudah jangan membantah, ya. Pokoknya aku enggak mau tahu, dua hari ke depan kamu tetap harus istirahat di rumah, ok?” Arya protes dengan nada lembut yang membuat nyaman telinga Mieke yang sejak tadi berpura-pura tidur. Tanpa ia sadari, senyum tipis merekah di wajahnya.

Akhirnya Fatia mengalah, dia tidak menyangka lelaki yang baru menjadi kekasihnya ini begtu perhatian.

*****

“Bun, biar nanti sama aku saja.” Arya menghalang Mieke saat akan membuka bagasi.

“Baiklah kalau kamu memaksa.” Mieke berseloroh dengan raut jahil.

Arya tersenyum menimpali. Ia memapah Fatia ke dalam kamar. Setelah membaringkannya, dia kembali ke garasi untuk menurunkan tas dan jinjingan berisi buah-buahan dan makanan hantaran pembesuk.

Tak lama dia meminta izin pemilik dapur untuk membuatkan makanan untuk Fatia.

“Bunda sama Ayah sudah merestui hubungan kalian,” ucap Mieke pelan namun dengan senyuman lebar dan mata berbinar. Raut yang persis sama saat melihat tas branded merek favoritnya bertuliskan diskon lima puluh persen.

Tidak mungkin gadis itu mengatakan pada Mieke kalau dia masih belum bisa mencintainya. Dia tidak tega menghancurkan harapan kedua orang tuanya.

Tapi, Hei! Kalau belum mencintai Arya, kenapa kemarin dia membalas ciumannya? Ahhh ... Dia jadi malu sendiri teringat kejadian itu. Tubuhnya kaku saat lelaki itu mendaratkan kecupan di atas bibirnya, sejurus kemudian dia malah memberinya peluang untuk lebih dari sekedar ciuman ringan. Hingga akhirnya mereka saling bertatapan mesra, tersenyum bahagia.

“Aaaa ....”

Fatia kaget secara tiba-tiba Arya sudah berdiri di depan pintu kamarnya yang terbuka.

“Kenapa?” tanya Mieke dan Arya secara bersamaan memandangnya heran.

Fatia merasa malu sendiri karena otaknya malah sibuk mengingat romansa malam itu.

“Enggak, enggak kenapa-kenapa.”

Fatia berharap wajahnya tidak memerah.

“Makan dulu, ya.”

Bubur labu di mangkuk masih dengan kepulan asap tebal diaduk-aduk Arya sambil dikipasi.

“Enak banget wanginya?” ucap Mieke sambil menghirupkan kepulan yang mengeluarkan wangi kayu manis.

“Bunda boleh makan enggak?”

“Bolehlah, Bun,” jawab Arya sembari tertawa.

Terdengar gerak langkah menjauh dari kamar Fatia. Saat suapan kedua, mereka dikagetkan teriakan Mieke dari arah dapur.

“Ini enak banget, Arya. Besok kamu harus bikin lagi di sini, ya!”

“Siap, Bun.” Arya meletakkan sendok kemudian meletakkan tangannya di perut. Ia menahan tawanya supaya tidak terdengar keras di telinga Mieke.

“Si Bunda lucu, ya?”

Fatia mendengus melihat sifat bundanya yang kekanak-kanakkan.

“Bunda mau bagi buburnya untuk Bu Darmi, ya?” ucapnya berpamitan.

Bu Darmi adalah tetangga yang sudah sangat dekat dengannya. Belum lama ini suaminya meninggal karena kanker prostat yang diderita selama tiga tahun. Belum empat puluh hari setelah kepergian suaminya, dia dikagetkan kehadiran sosok perempuan muda yang mengaku telah dinikahi siri oleh mendiang suaminya. Sebagai tetangga terdekat, Mieke merasa harus sering banyak membantu dan menghiburnya.

“Sering-sering saja masak di sini, besok-besok Bunda bakal nyuruh kamu nginap,” ujarnya menyilangkan tangan di atas selimut yang menutupi perutnya. Mulutnya masih mengunyah halus bubur suapan Arya.

“Serius? Tidurnya sama kamu, ya?” ucapnya jahil.

“Enak saja!” Fatia memukulkan bantal ke bahu Arya.

Fatia membenahi rambutnya yang tersibak saat memukul. Tiba-tiba Arya memegang tangannya.

“Kamu tiba-tiba sakit kemarin itu, bukan gara-gara kita berciuman semalaman, kan?”

“Apaan, sih?” ujarnya malu merona lagi

Ingin rasanya ia menenggelamkan diri di bawah selimut tidak menatap mata elang lelaki di depannya.

Kenapa dia begitu eksplisit, sih? Selalu saja menjebak perbuatannya yang memalukan.

“Soalnya kamu balas ciumanku dengan hot, untung saja aku masih bisa menahan diri,”

Gila! Kenapa dia harus membahas itu sekarang? Ya, ampuuun, tidak adakah bahasan lain selain itu? Dia masih malu membayangkan kejadian yang memproklamirkan diri yang agresif.

“Hei, kenapa, sih?” Arya terkekeh melihat kelakuan kekasihnya yang menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tebal bermotif polkadot pink.

Dia membuka selimut yang menutupi bagian wajahnya. Seketika polkadot pink itu berpindah ke pipinya.

“Malu, tahuuuuuu,” ucapnya merengek manja.

“Enggak usah malu, kita sudah sama-sama dewasa, kok. Lagi pula, aku suka.”

Jemarinya lembut menyugar rambut Fatia. Wajahnya semakin mendekat dengan senyuman melekat. Seketika Fatia kembali tersihir, degup jantungnya kencang menghentak.

Aahh bibir itu semakin menggoda untuk disambut. Fatia bereaksi menempelkan bibirnya di atas bibir Arya. Dipejamkannya mata perlahan.

Namun, Arya tiba-tiba mendaratkannya di kening.

Sial! Dia hanya memancingku.

Gerutu Fatia menyalahkan lelakinya.

Arya hanya mengecup keningnya dengan dalam dan lembut mengacuhkan gejolak di dadanya.

"Nanti, ya, tunggu kamu betul-betul sehat dulu." Dia berbisik di telinga Fatia sampai embusan napasnya terasa hangat dan makin mencolek hasratnya.

Apa itu? Apakah dia berpikir aku ketagihan mengulang kejadian kemarin di rumahnya? Tidak! Dia saja yang kege'eran. Tapi ... ya, Tuhan wajahnya memang sangat menawan, bibir itu memang ...?

Fatia bergulat kesal dalam batinnya.

"Kamu," rengeknya dengan menggigit bibir bawahnya. Lagi-lagi dengan wajah menahan malu. Raut jahil dengan seringai senyumnya membuat Fatia ingin menghilang sekejap dari hadapan.

“Itu tandanya kamu sudah, men-cin-tai-ku,” tambahnya lagi dengan senyuman puas.

Mencintai? Mencintai Arya? Benarkah? Secepat itukah hatinya berubah? Setelah belasan tahun terkungkung dengan cinta pertamanya dan tak bisa berpaling ke lain hati, kini hanya karena ciuman, semua itu sirna?

Benarkah?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel