Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 15 Menungguimu

"Sudah sudah santai aja, Fat. Kamu jangan bangun dulu."

Andini berdiri saat Fatia berusaha untuk bangun dari posisi tidurnya. Ia memeluk tubuhnya dan merebahkan kembali.

"Enggak apa-apa, Mbak, sudah sedikit lebih baik dibanding semalam. Mbak kapan tiba?" tanyanya lagi menumpuk dua bantal agar posisi kepalanya lebih tinggi.

"Baru kemarin dia tiba di Indonesia," jawab Ahmad berusah mengatasi kecanggungan di antara mereka.

Ia sadar Fatia masih marah padanya setelah dia menegur keras karena tempo hari telah meninggalkannya di rumah sakit

Namun, Fatia tidak sedikit pun menoleh ke arahnya, malah memiringkan badannya menghadap Andini.

“Siapa yang menunggui kamu di sini, Fat?” tanya Andini.

"Enggak ada, Mbak."

"Kok bisa, Fat?" tanya Andini.

"Sejak awal pun aku sendiri, Mbak. Kasihan ayah bunda sudah sepuh. Semalam sengaja meminta kamar yang dekat dengan ruang perawat."

"Wah bahaya itu. Walaupun dekat dengan ruang perawat tetap harus ada yang stand by nungguin kamu, Fat. Kalau tiba-tiba malam hari kamu pingsan, gimana?” ucap Ahmad.

Fatia tidak memedulikan ucapannya, malah menyapa dan mengajak Andini mengobrol. Dia sedang malas berbicara dengan lelaki arogan yang tiba-tiba memasang wajah palsu sok peduli di depan mantan sekretarisnya.

Jangan sampai dia tahu kalau hubungannya sangat buruk dengan lelaki yang diamanatinya untuk dijaga itu.

Fatia masih merasa geram atas kejadian beberapa hari lalu. Jika saja Andini tidak ada di situ, dia punya alasan untuk melempar vas bunga di samping tempat tidurnya. Toh, ini teritorinya, bukan kantor yang membatasi geraknya.

"Kenapa enggak Bapak saja yang nunggu Fatia malam ini? Bisa, kan, pak?"

Andini mengedip memberi kode pada Ahmad. Dia tidak menyangka akan ditodong seperti itu. Akhirnya wajah kikuk tak mampu dia sembunyikan.

"Eh, saya? Maksudnya menginap di sini, gitu? Oh, bisa ... bisa ... bisa. Enggak masalah, saya mau, kok."

Fatia keheranan melihat tingkah mereka berdua.

Apa-apaan ini? Hei, ini bukan kantor! Kalian tidak bisa seenaknya mengatur-atur aku! Kehadirannya bukannya menyembuhkanku malah akan membuat imunitasku menurun.

Batinnya geram.

"Enggak usah, Pak. Jangan repot-repot. Nanti ada pacar saya, kok."

Fatia mengeluarkan senjatanya agar dua orang yang sedang menjenguknya tidak membuat keputusan sepihak. Tiba-tiba dia berharap ajan segera datang agar bisa mengusirnya.

Andini dan Fatia terlibat obrolan yang cukup seru dan menghiburnya. Tidak dengan Ahmad, hanya menyimak dan selalu tersenyum ke arah Fatia dari posisinya yang duduk di sofa.

Setelah tiga puluh menit, tiba-tiba muncul Arya di balik pintu dengan membawa rantang berisi bubur buatannya.

“Eh, ada tamu rupanya.”

Dia menyalami dan menyapa Ahmad juga Andini sebelum mendekat ke arah kekasihnya. Lelaki itu dengan lembut memegang dahinya. Tak lama ia mengecup keningnya.

“Biar cepet turun, panasnya,” ujarnya bergurau yang disambut senyum Fatia.

Andini terperanjat melihat adegan di hadapannya. Dengan santainya lelaki itu memamerkan kemesraan di depan mantan atasannya yang masih menaruh hati pada Fatia.

“Makan, ya?” pinta Arya yang dijawab anggukkan. Dia pun menyuapinya.

Andini menatap tak tega wajah Ahmad yang berubah muram. Dia bisa merasakan bagaimana rasa cemburu menghantam jiwa lelaki yang rapuh akan cinta. Beranjak dari tempatnya, ia mendekat ke arah Ahmad dan duduk di sampingnya.

“Fat, kami pamit pulang, ya.” Andini berinisiatif mengajak Ahmad keluar dari situ supaya hatinya tidak semakin terluka.

“Kok, buru-buru?” tanya Arya basa-basi.

“Iya, aku masih harus ke satu tempat lagi sama Pak Ahmad,” ujarnya beralasan.

“Ok, terima kasih, Mbak Andini," ucap Fatia.

Andini menghampiri Fatia dan memeluknya. Dia menyalami kembali Arya dan tersenyum ramah ke arahnya.

Lain hal degan Ahmad, dia hanya pamit dengan melambaikan tangan pada mereka berdua.

Mereka berdua merapat ke kafe rumah sakit dan memilih bangku di pojok. Andini masih melihat raut masam Ahmad dari sejak keluar ruangan tadi. Beberapa kali lelaki itu mencoba tersenyum ke arahnya namun ia tahu, itu hanyalah senyuman basa-basi untuk menutupi kesedihan.

Ia mencoba mengajaknya ngobrol, tapi sia-sia. Sosok di hadapannya lebih memilih membenamkan diri di balik layar ponsel dari pada berbicara. Andini sudah paham betul karakternya, makanya ia tidak memaksakan diri untuk menghiburnya lebih intens.

“Kita tunggu di sini, ya, Pak. Kebetulan suamiku baru bisa jemput nanti.”

“Iya,” jawabnya singkat.

Tidak berapa lama Andini melihat Arya keluar dari rumah sakit dengan ponsel menempel di telinga kirinya.

Hampir satu jam duduk di kafe, Andini mengajak Ahmad kembali naik ke ruangan Fatia. Dia tetap bersi keras memaksanya supaya menunggui Fatia malam ini. Awalnya Ahmad menolak, khawatir Fatia tidak menyukai kehadirannya dan malah akan memperburuk kesehatannya.

Mengingat ucapan-ucapan ketus Fatia terhadapnya tadi dan hatinya masih di gerogoti rasa cemburu melihat kejadian tadi.

Fatia sudah terlelap tidur dalam pengaruh obat saat mereka tiba di ruangannya. Ahmad mematikan lampu utama dan menyalakan lampu redupnya.

Tak henti dia memandangi wajah pucat di hadapannya.

Dielusnya tangan yang tertempel jarum infus. Tatapannya sungguh lembut pada sosok yang sedang terlelap. Saat membisikkan sesuatu di kupingnya

Tak disangka air mata Ahmad sedikit jatuh di pipi Fatia. Perlahan ia mengusapnya. Tanpa sadar, ia mengecup tangan Fatia dan tersenyum ke arahnya.Hingga dia pun terlelap di samping tempat tidur.

*****

Fatia terbangun dari tidur lelapnya sepanjang malam ketika perawat datang untuk mengecek tensi darah dan mengganti infusan.

"Sudah enakan, ya, Mbak. Suhunya 37.8. Mudah-mudahan siang ini bisa turun lagi," ucap perawat dengan ramah.

"Terima kasih Suster." jawabnya dengan senyuman.

"Progressnya sangat baik, Mbak. Mungkin suasana hati mbaknya juga lagi bahagia, ya."

Perawat tersenyum menggoda Fatia yang kebingungan dengan arah pembicaraannya.

*****

Keesokkan harinya, jam 20.00 lelaki itu menunggu lagi di kafe. Dia melihat punggung kekasih Fatia menjauhi area rumah sakit. Banyaknya event di Hotel tempatnya bekerja menyebabkan dia tidak bisa berlama-lama menemaninya. Justru Ahmadlah yang merasa diuntungkan dalam situasi ini. Malam ini adalah malam kedua dia akan menungguinya.

Walaupun Fatia belum menyadari kehadirannya karena dia datang saat dirinya sudah terlelap dan pergi saat azan Subuh berkumandang di mana dia belum terbangun.

Seperti malam-malam sebelumnya, dia selalu tertidur di samping ranjang Fatia.

*****

Dokter mengatakan, kemungkinan besar Fatia sudah boleh pulang. Trombositnya sudah melesat diangka 120.000. Ahmad mengucap syukur mendengar berita itu di whatsapp grup.

"Mbak, kekasihnya baik sekali, ya. Sampaikan salam kami semua dari ruang perawat, ya, Mbak."

Fatia tercengang dengan kalimat yang diucapkan perawat yang sedang membuka selang infusannya. Hari ini dia sudah diperbolehkan keluar dari Rumah Sakit.

"Maksud Suster?" tanyanya keheranan

"Loh, memang Mbak enggak tahu?"

Fatia menggeleng.

"Dia yang menunggui Mbak setiap malam. Selama dia di sini, kami selalu ditraktir makan, baik sekali orangnya."

Perawat itu terlihat antusias bercerita, tidak dengan Fatia yang masih menerka-nerka sosok yang di maksud.

"Mbak yang sakit, malah kami yang dibanjiri makanan-makanan enak. Dan orangnya handsome sekali, Mbak!" tambahnya lagi.

Perawat itu dengan cerewet menceritakannya dengan rona bahagia seperti orang yang sedang jatuh cinta.

"Sampaikan salam dari kami, ya, Mbak."

Sekali lagi Perawat itu mengulang permintaannya.

Bukan hanya Fatia, ayah bundanya pun terkejut dan saling melempar pandang. Bagaimana tidak, Arya sudah terang-terangan meminta maaf karena tidak bisa menungguinya.

"I-iya, nanti saya sampaikan," jawab Fatia ragu tanpa tahu harus menyampaikannya pada siapa.

Namun, ada sebuah nama yang dicurigainya. Fatia, ayah dan bundanya saling bertatapan heran.

Setelah perawat meninggalkan ruangan, bunda sibuk membereskan barang-barang Fatia.

"Memang kamu enggak sadar kalau ada yang menemani kamu, Fat?" tanya ayah, lagi-lagi Fatia menggeleng.

Pantas dia merasa mendengar bisikan kalimat yang pernah diucapkan seseorang di masa lalunya. Kalimat yang sudah sangat dia hafal. Fatia pikir itu hanya bunga mimpinya saja, ternyata sungguh benar terjadi.

Apa sih maunya dia?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel