Bab 14 Rahasia Terkuak
Hari ini Fatia tidak masuk kerja.
Semalam, kedua orang tuanya membawa ke rumah sakit karena melihat kondisinya semakin lemah.
Dengan hasil lab menunjukkan jumlah trombosit di angka 50.000 untuk sementara dokter mendiagnosa Fatia terkena typus dan DBD.
*****
Ahmad duduk di ruang kerja Fatia mencari data untuk materi rapat direksi sore nanti. Ketika membuka laci, dia melihat buku kuning tertutup map bening. Buku itu terlihat familier di matanya.
Tanpa segan diambilnya buku itu dan dibuka perlahan-lahan.
Wajahnya bersemu merah saat melihat banyak foto kenangan mereka tertempel di sana. Gambar-gambar dengan mimik lucu yang diambil melalui foto box sebuah mal tak jauh dari lokasi tempat les bahasa Inggris Fatia. Dia ingat sore itu ia menjemputnya di sana.
Dibawanya buku diari itu ke dalam ruangan dan disimpan di laci meja kerja. Kemudian dia kembali melanjutkan mencari data yang dia butuhkan.
Ponselnya berbunyi, ia menoleh pada layar yang berkedip-kedip, sebuah panggilan masuk dari Andini.
"Pak, apa kabaaaarr? By the way, Fatia masuk Rumah Sakit, ya?"
"Hai Din. Alhamdulillah baik. Tahu dari mana?"
"Tadi lihat di sosmednya, Pak. Kapan mau besuk? Aku ikut, ya"
"Memang kamu lagi di Indonesia?"
"Iya, Pak, ini baru landing di Soeta. Seminggu ke depan aku stay di Indonesia. Ada acara keluarga besar suami."
"Rencananya baru besok sore pulang kantor kita besuk bareng tim. Soalnya sore ini saya masih ada meeting Direksi."
"Oke, Pak. Besok aku hubungi lagi, ya. Aku jalan dulu. Bye."
"Bye Din. Hati-hati, ya."
"Thanks, Pak."
Yang di ujung sana menutup panggilannya. Ahmad melanjutkan pencariannya tapi, tidak juga ditemukan.
Dia menghela napas kasar, pasrah menghadapi rapat nanti sore.
*****
Jam 19.30 selepas rapat, Ahmad kembali ke ruangannya. Dia teringat buku diari yang menggelitik hatinya penasaran ingin segera dibaca.
Ia mulai membaca lembar demi lembar isinya. Tak sadar sebuah lekukan bibir membentuk senyum mengingat-ingat masa dahulu. Masa-masa indah romansa khas Anak remaja.
Seketika wajahnya tampak serius saat melihat ada beberapa halaman yang di coret-coret. Bahkan ada fotonya dicoret spidol merah bertuliskan Wanted! Penipu! Go to hell!!
Lelaki itu tampak syok membaca lembaran yang berisi sumpah serapah padanya. Dia mengernyitkan dahi dan mengelus dadanya.
Ahmad mengembuskan napas dalam-dalam, tak menyangka sekasar itu Fatia meluapkan amarah padanya.
Bukankah aku yang harusnya lebih berhak marah? Karena penolakannya membuatku terjebak dalam rumah tangga yang tidak aku inginkan.
Batinnya.
3 Maret 2009
Hari ini Aby ngenalin aku dengan temannya yang kuliah perhotelan di Jakarta. Namanya Arya. Dia tidak setinggi kamu, tidak juga seramah kamu. Kesan pertama bertemu dengannya malah cuek dan jutek. Dia mengataiku tante hanya karena aku memakai dress bunga-bunga. Tapi lama-lama dia ternyata malah nyatain suka ke aku. Mana mau aku dengan cowok urakan dan jutek itu? Walaupun dia smart dan humoris.
10 Mei 2009
Arya mengundang aku ke kosannya. Tentu saja aku ajak Aby. Naik buslah kita berdua ke sana. Di sana Arya pamer masakan hasil karyanya. Masakan yang dia buat enak sekali. Berbagai cara dia lakukan untuk menarik simpatiku. Tapi aku tetap belum bisa membuka hati padanya. Entah kenapa, apakah karena dia bukan tipeku? atau karena masih ada kamu di hati aku? tiga tahun sudah berlalu sejak kita udahan. Saat itu juga aku tahu dari sahabatmu kalau kamu sudah punya anak. Dia meminta aku untuk melupakan kamu. Tapi entah kenapa aku masih sering memikirkan kamu.
Oohh ... ternyata Arya adalah teman lamanya yang sempat menyatakan cinta pada Fatia di masa-masa kesendiriannya dulu.
Batin Ahmad.
Ahmad baru menyadari ternyata selama berpisah dengannya, Fatia pun tetap setia dengan cinta mereka. Selama belasan tahun tidak membuka hatinya pada lelaki lain, dan baru sekarang akhirnya dia menerima cinta Arya.
Ahmad menutup buku diari, disimpannya kembali ke dalam laci meja kerjanya. Hari sudah semakin larut. Semua stafnya sudah pulang, tapi di ruang produksi masih ramai. Malam ini produksi sedang lembur untuk memenuhi target pengiriman ekspor empat hari kedepan.
*****
"Din, kamu masih ingat cerita saya dulu
tentang mantan pacar SMA saya?"
"O iya, Pak, the one and only girl in your life?"
Kerling mata dan senyum Andini menggoda Ahmad yang mengangguk dan tersipu malu.Dia selalu heran dengan sikap mantan atasannya yang masih saja setia dengan cinta pertamanya.
"Terus kenapa? Bapak ketemu dia?"
lagi-lagi Ahmad tersenyum. Sambil mengaduk es teh manis yang baru saja tiba di tangannya.
"So? Tell me everything!" ucap Andini antusias.
"Fatia," jawab Ahmad singkat.
"Ya, kenapa dengan Fatia, Pak?" tanyanya belum sadar.
Ahmad tidak menjawab, dia hanya memberi kode dengan senyuman semringah.
"O my God, jadi Fatia pengganti aku ... maksudnya, dia ...?"
Andini tidak melanjutkan kalimatnya dan mulai mencurigai satu nama yang diucapkan. Ahmad kembali tersenyum.
"Dia gadis masa lalu, Pak Ahmad? Fatia? Fatia yang ini?"
Andini spontan meninggikan intonasinya untuk memastikan keyakinannya.
"Sssttttt, jangan keras-keras."
Ahmad menempelkan jari telunjuk di atas bibirnya.
"Bapak kenapa enggak bilang dari dulu sebelum aku menikah?"
Muncul segurat kecewa di wajah Andini yang kini rambutnya dipotong pendek sebahu.
"Kamu pasti repot urus pernikahan kamu, Din."
"Terus gimana sekarang?" tanya Andini.
Perempuan yang berbalut overall jeans sebetis dengan boot hitam itu tiba-tiba meletakkan garpu dan menghentikan makan kwetiau gorengnya untuk bertanya serius pada Ahmad.
"Makin kompleks. Dia sekarang sudah punya pacar."
"Yaahh, Bapak, setelah sekian lama nunggu. Jangan sampai gagal dong, Pak. Aku saja pegal nunggunya."
Tampak lagi raut kekecewaan tersirat pada perempuan itu. Bagaimana tidak, Andinilah satu-satunya orang yang tahu setiap detail episode hidupnya.
Lama bekerja dengannya membuat hubungannya sudah seperti sahabat sejati. Awalnya Andini berharap Ahmad akan menyukainya, namun harapannya gagal karena hati Ahmad sudah terkunci oleh satu nama, Fatia.
"Mungkin ini takdir. Sekarang saatnya menyatukan cinta kalian yang tertunda."
"Doakan terus, ya, saya juga masih terus berusaha."
Ahmad masih berharap walaupun kerap menyakiti Fatia. Dia hanya ingin gadis itu tahu kalau hatinya sakit setelah diputuskan olehnya.
"Pak, Mbak Andini kita pulang duluan, ya. Sudah bisa gantian besuknya. Di atas kosong enggak ada siapa-siapa. Tadi Ayah Bundanya Fatia pamit pulang waktu kita datang."
Salah satu staf Ahmad menginfokannya.
Beberapa staf yang ikut menjenguk berpamitan pada Ahmad dan Andini yang sedang menunggu di Kafe rumah sakit yang terletak di lantai bawah dekat dengan lobi.
"Aidan, di mana?" tanya Ahmad.
"Sedang di toilet, Pak. Kenapa memangnya, Pak?"
"Aidan Pulang bareng kalian saja, ya. Karena saya dan Andini masih lama di sini."
"Baik, nanti saya kabari Aidan."
"Hati-hati, ya," pesan Ahmad pada salah satu stafnya.
Ahmad dan Andini pun beranjak dari kafe dan menuju lantai satu tempat Fatia dirawat.
"Hai, Fatia."
Andini mengetuk pintu dan mendongakkan kepala di balik pintu ruang inap yang terletak di depan ruang perawat.
"Ehh, Mbak Andini? Kapan tiba di Indonesia?" sapa Fatia tersenyum lebar walaupun wajahnya masih terlihat pucat.
Namun, senyum itu mendadak hilang setelah melihat sosok yang mengekor di belakang Andini. Begitupun lelaki itu, tiba-tiba saja merasa kikuk bertemu dengan Fatia.
Andini duduk di kursi yang berada di samping ranjang Fatia. Ahmad menaruh sekeranjang buah dan roti di atas meja dengan sofa two seater berwarna hijau pupus di depannya.
