Bab 13 First Hot Kiss
Fatia menyerahkan dompet Ahmad pada Maryono sopir kantor yang ia minta untuk datang.
“Kalau Pak Ahmad sudah selesai, sampaikan saja saya harus segera pulang. Masih banyak urusan yang harus diselesaikan,” ucap Fatia pada Maryono sopir senior di kantor yang sudah berusia lima puluh lima tahun.
“Baik, Mbak,” jawabnya dengan menganggukkan kepala.
“Yuk.” Fatia menggenggam tangan Arya mengajaknya keluar dari tempat itu.
“Mari, Pak.” Arya berpamitan pada Maryono.
“Monggo, Mas.”
Mereka pun bergerak keluar dari rumah sakit, kembali ke rumah Arya. Dalam perjalanan Fatia singgah di toko kue untuk membeli kue tar kecil berdiameter dua puluh centi meter.
Sebuah tar tiramisu dengan taburan coklat bubuk di atasnya, tar kesukaannya.
“Suka tiramisu juga, kan?” tanya Fatia pada Arya yang menunggunya di dalam mobil.
“Apapun yang kamu siapkan aku suka,” ujarnya santai sambil memundurkan badan mobil keluar dari area parkir ruko.
“Halah gombal.” Fatia memukul bahunya.
Arya tersenyum ke arahnya. Tangan kanan di atas kemudi, tangan kirinya mengusap kepala Fatia. Tiba-tiba dia menarik lembut kepala Fatia ke arahnya dan mengecup ubun-ubunnya. Arya dengan santai kembali menatap lurus jalanan sedangkan gadis di sebelahnya masih salah tingkah.
“Kamu santai saja dulu di ruang tv, ya. Biar aku selesaikan masakan dulu,"
ucap Arya tak lama setelah mereka sampai di rumah.
“Enggak butuh bantuanku?” tanyanya basa-basi.
“Enggak usah, Sayang. Sedikit lagi, kok,” ucapnya dengan senyuman menggoda.
Fatia duduk di sofa kulit yang empuk pertanda sofa itu masih baru dan jarang diduduki. Rumah dengan paduan cat krem dan coklat dengan arsitektur bergaya mediterania dibeli Arya dua tahun lalu.
Rumah dengan luas 150 meter peraegi itu memiliki dua lantai, dengan dua kamar di lantai atas. Lantai bawah di rombak menjadi ruang tv, dapur, kamar mandi dan garasi dalam tempatnya menyimpan perkakas dan motor-motor.
Tak aneh dia mendesain dapurnya seluas dan secantik mungkin, karena di sanalah dia berkarya.
Fatia menolehkan wajahnya ke arah dapur yang berseberangan dengan ruang tv. Arya memang tidak setampan Ahmad, tapi wajahnya sangat menawan. Manis dan tidak membosankan untuk dilihat.
Dia menyukai gayanya saat memasak. Dengan apron hitam yang menutupi bagian depan tubuhnya terlihat sangat seksi.
“Kalau kagum lihat aku, nyatain saja enggak usah malu,” ucap Arya membuyarkan lamunan Fatia.
Wajah Fatia merona saat Arya memergokinya sedang melamun menatapnya dengan senyuman.
“Ge’er ...” ucapnya mengalihkan pandangannya kembali ke layar tv.
Arya hanya tersenyum melihatnya grogi. Dia sadar gadis itu belum sepenuhnya mencintai, tapi dia yakin tidak akan lama lagi. Karena Fatia sudah mengaguminya. Tatapan dan senyuman Fatia tadi sudah jelas menyiratkan rasa suka yang dalam terhadapnya.
“Chicken Cordon Bleu ready to serve,” ucap Arya.
“Wow, kelihatannya enak,” ujar Fatia.
“Kita taruh di meja situ, ya,” Arya menunjuk ke meja kotak besar di ruang tv.
Tak lama, meja sudah penuh dengan makanan. Chicken cordon bleu, salad buah dan minuman dengan buah leci di dalamnya. Fatia membuka bungkusan tar dan menyimpannya di atas piring bulat besar.
“Untuk seorang cowok, perabotan kamu sudah lengkap, ya.” Fatia terkekeh ketika Arya mengeluarkan piring bulat besar untuk wadah tar.
“Bilang saja, ngalahin emak gua, gitu, kan?” ledeknya.
Fatia mengangguk. Tadinya ia memang akan berguyon seperti itu, karena di rumah pun perabotannya tidak selengkap di sini.
Bukan hal yang aneh, bundanya memang jarang menyentuh dapur karena dia tidak suka memasak. Konon sebelum menikah Bunda sudah membuat perjanjian pada ayah untuk tidak memintanya memasak kecuali menu sarapan seperti nasi goreng dan dadar telur. Beruntung ayahnya adalah lelaki pengertian yang tidak banyak menuntut istri.
“Oke make a wish dulu, ya,” ujar Fatia semangat sambil menyalakan lilin di atas tar.
“My wish cuma satu, kamu bisa mencintai aku sepenuh hatimu seperti halnya aku ke kamu.”
Arya berkata lembut sembari menatap lekat pada netranya. Ungkapan Arya bersal dari lubuk hati terdalam. Fatia merasa tersanjung dan dia menunduk tersipu.
“Eh, seharusnya enggak boleh diucapkan, cukup kamu dan Tuhan saja yang tahu.”
Fatia berucap menguar kecanggungan di antara mereka. Tak lama Arya meniup lilin kecil yang bagian atasnya sudah mulai meleleh.
“Selamat ulang tahun. Aku doakan semoga Tuhan mengabulkan semua doamu,” ucap Fatia memeluk Arya.
“Amiin,” jawabnya berbisik di telinga Fatia. Dia sempat kaget, di luar dugaannya Fatia memeluk secara tiba-tiba.
“Yuk, kita makan dulu. Aku sudah lapar sejak di rumah sakit tadi.” Fatia melepaskan pelukannya seolah tidak ingin memberikan kesempatan pada Arya untuk menciumnya.
Ia turun dari sofa dan duduk di atas karpet. Arya pun mengikuti dan duduk di sampingnya.
Setelah menghabiskan sepiring Chicken Cordon bleu lengkap dengan potato wedges, Fatia menyendokkan salad buah pada mangkuk kecil berwarna hitam.
“Makan kamu banyak juga, Fat,” canda Arya.
“Iya.” Fatia terkekeh.
“Baguslah, hasil kerjaku jadi tidak sia-sia” ucapnya bangga.
“Eemmm, enak banget ini saladnya. Ajarin aku cara bikinnya, ya. Aku mau buatin untuk bunda dan ayah.”
“Enggak mau.”
“Kenapa? Pelit.” Fatia merengek.
“Biar aku saja yang buatin, biar orang tua kamu jadi sayang sama aku.”
Arya menjawil pipinya dengan gemas.
“Biar mereka merestui aku jadi menantunya,” godanya.
“Bisa saja.” Fatia tertawa agak keras menanggapi Arya yang menggodanya dengan gemas.
“Tapi anaknya mau enggak, ya?” tanya Arya.
“Menurutmu?” Fatia balik bertanya dengan menantangnya.
“Aku sudah pernah ditolak sama kamu, jadi aku enggak pede untuk bilang iya.”
Kini tawa Arya yang membuat rautnya terlihat semakin menawan. Fatia pun ikut tertawa.
Di saat Fatia hampir menghabiskan separuh salad di mangkuknya, Arya masih menikmati potato wedges potongan terakhir. Di keluarganya, dia memang dikenal orang yang lama menghabiskan makanan dibanding kakaknya. Dia selalu beralasan bahwa proses makan itu harus dinikmati perlahan, dijiwai supaya tidak menjadi penyakit saat berbaur di dalam tubuh.
“Sebentar.”
Arya menaruh garpu di atas piring. Fatia terkesiap saat tangan kiri Arya merengkuh bahunya. Ibu jarinya mengusap lembut ujung bibir bawah Fatia yang terkena saus salad.
Netranya mengarah pada jari Arya yang sedang mengusap perlahan. Tak lama ia melepaskan jarinya dari wajah gadis yang kulit putihnya tiba-tiba merona.
“Makannya kayak anak kecil, masih berantakan,” ucapnya tepat di depan wajahnya hingga Fatia bisa merasakan hangatnya embusan napas Arya.
Pupil mata Fatia bergerak cepat saat hidung bangir Arya hanya berjarak kurang dari satu centi dari hidungnya. Jantung mereka kompak berloncatan hingga membuat pipi menjadi hangat.
Arya memegang lembut pipi Fatia dengan kedua tangannya. Gadis itu merasa tersihir, dia hanya diam tidak mampu menggerakkan satu pun bagian tubuhnya saat Arya memiringkan kepala dan mulai mengecup bibirnya.
Rasa kaget yang tadi sempat membuatnya tak bisa berkedip, kini sirna. Ia pun memejamkan mata dan menikmati setiap sentuhan lembut di bibirnya.
Di dalam tas Fatia yang disimpan di kursi meja makan, ponsel android keluaran Korea bergetar tak berhenti sedari tadi. Lebih dari puluh panggilan tak terjawab dari sebuah nomor yang tersimpan dengan nama "si monster".
Lelaki yang berjalan tertatih di parkiran rumah sakit itu masih saja menekan nama Fatia di ponselnya sejak ia tahu sekretarisnya itu telah meninggalkannya di rumah sakit. Wajahnya sangat geram karena panggilannya tidak mendapat respons.
