Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 12 Cemburu membawa bencana

Dua minggu kemudian.

"Mau kemana kamu jam segini sudah siap-siap?" tanya Ahmad saat keluar dari ruangannya dan mendapati Fatia sedang membereskan meja.

"Maaf, Pak, khusus hari ini saya izin pulang tepat waktu, ya. Hari ini ada perayaan ulang tahun pacar saya,” ucap Fatia.

Ahmad terpaku. Dia berdiri di samping meja Fatia.

“Di mana? Kok enggak undang teman-teman kantor kamu?”

“Di rumah pacar saya. Private, Pak, jadi enggak ngundang orang lain. Lagian pacar saya kan belum kenal baik sama teman-teman saya.”

Fatia berdiri dari duduknya dan menunjuk jam dinding di ruangannya.

“Sudah jam dua belas, Pak. Saya jalan dulu, ya.”

Hari Sabtu belum pernah dia bisa pulang on time, minimal jam tiga sore dia baru keluar kantor. Ahmad selalu menyiapkan pekerjaan untuk menahannya lebih lama. Dia sangat menikmati kebersamaannya walaupun rasa kesal belum hilang dari benaknya.

“Eh, sebentar. Emang di mana rumahnya?"

"Emang Bapak mau ikut? Kok, nanya-nanya rumah pacarku segala?"

Fatia menjawab agak ketus dan Ahmad pun dibuatnya salah tingkah.

"Enggak salah, kan nanya gitu? Kalau rumahnya sejalur dengan arah rumah saya, saya bisa antarkan kamu kesana," elaknya.

"Kenapa Bapak harus repot-repot nganterin saya? Saya mau kencan, Pak, bukan mau tugas kantor. Lagian hari ini saya bawa kendaraan, kok."

Kembali Fatia berseloroh sedikit mengejeknya. Ahmad pun kehilangan akal.

"Pak, saya jalan duluan, ya. Kalau ada apa-apa telepon saya saja. Jangan chat, takut enggak kedengaran bunyinya. Maklum kan, kalau sepasang muda-mudi sedang berdua kadang suka sengaja khilaf."

Fatia berucap jahil sengaja mengompori Ahmad yang terlihat meringis mendengar kalimat demi kalimat yang dilontarkannya.

Kencan? Dirumah Arya, lelaki yang belum lama dipacarinya? Gawat bisa terjadi hal-hal yang diinginkan setan ini sih?

Gumam Ahmad sambil melepas tidak ikhlas kepergian Fatia yang malah melenggang asyik sambil bersenandung.

Ahmad mengikuti Fatia dengan meminjam motor milik Supirnya. Ia menjaga jarak supaya gadis yang mengendarai Honda Brio berwarna silver itu tidak sampai mengetahuinya.

Tidak sampai lima belas menit mobil masuk kedalam area perumahan bergaya Eropa. Dengan panduan GPS, Fatia membelokkan ke arah kiri dan tak lama mobil Fatia berhenti di depan rumah mungil bercat coklat.

Lokasi rumah yang tidak jauh dari kantornya.

Tak lama keluar sosok lelaki berpakaian santai, bercelana pendek warna khaki dan berkaus polos putih membuka pintu rumah dengan senyuman lebar menyambut Fatia.

Fatia memarkirkan mobil di depan pagar di bawah pohon cemara yang menjulang tinggi, karena garasi rumah itu terisi mobil si pemilik rumah.

Fatia keluar dari mobilnya disambut pelukan hangat. Ahmad yang melihatnya dari jauh pun ketar-ketir melihat pemandangan di depannya.

Tubuh Ahmad lunglai, dia berbalik hendak kembali ke kantor dengan perasaan tidak menentu. Otaknya keras memikirkan rencana untuk mengacaukan acara mereka.

Tidak boleh, mereka tidak boleh berduaan!

Memikirkan apa yang bakal terjadi di antara mereka berdua saja sudah membuat jantungnya mau copot. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat berharap pikiran negatif yang sedang menari-nari di otaknya segera enyah.

Tak berapa lama tiba-tiba terdengar bunyi benturan yang cukup keras. Ahmad menabrak kendaraan yang sedari tadi sudah memberinya lampu sen ke kanan.

*****

Fatia dan Arya menghampiri Ahmad di lokasi kejadian.

"Ya, ampuun, Pak, kenapa bisa begini? Emang Bapak mau kemana pakai naik motor segala?" tanya Fatia.

Ia sangat khawatir melihat Ahmad terkulai lemas di depan motor yang penyok. Atasannya tidak menjawab karena tidak mungkin menjelaskan hal sebenarnya jika kejadian konyol itu semata karena lamunannya.

"Pelakunya kemana, Pak?" tanya Fatia.

"Sudah pergi tadi,” ujarnya mengaduh.

"Kok tega ninggalin Bapak sendirian begini?"

Arya dan Fatia memapah Ahmad masuk ke mobil.

"Kita bawa ke Rumah sakit saja, ya, Sayang. Biar ketahuan lukanya parah atau tidak."

Ahmad mendongak mendengar panggilan lelaki itu pada Fatia. Mukanya langsung berubah masam.

"Tidak usah, Mas. Kalau boleh minta tolong, Mas bantu urusin motor ini saja, ya. Kuncinya masih menggantung, ini STNK nya."

Ahmad menegeluarkan STNK dari kantong kemejanya dan menyerahkannya pada Arya yang tampak keheranan.

"Biar Fatia saja yang bawa saya ke Rumah sakit. Enggak jauh dari sini ada Rumah sakit," tambahnya lagi.

Tanpa perlu diberitahu, Arya pun sudah tahu kalau dekat sini ada rumah sakit. Karena sudah dua tahun terakhir dia menjadi warga Cibubur.

Arya memandang heran pada atasan Fatia yang bersikeras meminta tolong padanya. Bukankah dia bisa menelepon karyawannya untuk menjemputnya di sini? Dia merasa jengkel merasa di kerjai di hari ulang tahunnya.

Ahmad melipat tubuhnya di jok belakang mobil Fatia dan Arya terlihat mendorong motor menuju bengkel. Kekhawatiran Fatia terlihat jelas dari pantulan kaca spion.

"Emang Bapak mau kemana sih pake motor segala?" tanya Fatia gusar.

"Beli pecel," jawabnya kesal.

"Pecel? Beli pecel di mana? Kenapa enggak nyuruh Maun aja, sih. Biasanya juga gitu," gerutu Fatia.

"Si Maun belum tahu lokasinya, takut dia salah beli."

"Ya ampun, Pak, biarpun salah beli juga tetap saja namanya pecel enggak mungkin ketukar jadi karedok."

"Ya, enggak bisa gitu dong, kan saya maunya pecel yang itu yang lagi hits sekarang ini," jawabnya mengada-ngada.

"Terus mana pecelnya?"

"Jatuh."

"Tadi saya enggak lihat ada pecel berceceran pak," tanya Fatia menyelidik sambil melirik ke arah spion.

"Ya, enggak tahulah, emang penting banget, ya nanyain keberadaan pecel!"

jawabnya kesal karena merasa dikejar dengan pertanyaan yang semakin lama semakin menyudutkannya.

"Sorry, Pak! Habis, janggal banget," ucap Fatia pelan.

"Terus kenapa Bapak telepon saya? Kenapa enggak telepon orang lain saja untuk ngurusin Bapak?" tambahnya.

"Enggak tahu. Yang terlintas pertama kali, ya cuma kamu!"

Fatia sontak kaget dengan jawabannya, begitupun Ahmad yang tidak sadar dengan apa yang diucapkan. Mereka beradu pandang dalam kaca spion yang kemudian sama-sama mengalihkan pandangannya.

"Kenapa saya? Kenapa bukan istri bapak?" tanyanya ketus.

Ahmad menatapnya tajam melalui kaca spion sepertinya tidak menyukai pertanyaan yang menyinggung tentang istrinya. Fatia pun menjadi kikuk.

Setibanya mereka di pelataran parkir Rumah sakit, Ahmad mengatakan sebaris kalimat yang membuat Fatia semakin bingung.

"Selama ini cuma kamu yang ada di pikiran dan hati saya."

Ahmad dibawa petugas IGD dan langsung ditangani oleh dokter jaga. Fatia beringsut ke loket. Dibukanya dompet Ahmad yang tadi diserahkan padanya untuk keperluan mengurus administrasi.

Setelah menyelesaikan administrasi, Fatia iseng melihat-lihat isi dompetnya.

Tidak tampak foto perempuan muda, hanya foto seorang bayi mungil dan wanita yang sudah sepuh terlihat dari uban yang hampir menutupi rambutnya. Sepertinya lebih cocok menjadi ibu dibanding istrinya.

Tidak berapa lama ia dipanggil dokter jaga. Dokter mengatakan bahwa tidak ada masalah serius dengan kondisinya. Namun,

jika kurang puas, ia menyarankan untuk dilakukan rontgen mengingat pasien mengaduh kesakitan pada kakinya yang terlihat memar. Fatia memandangi Ahmad yang menyuguhkannya tatapan memelas.

"Di rontgen pak? Mau?" tanya Fatia ragu sambil melirik jam di tangannya.

“Iya lakukan saja, Dok. Kalau perlu dada saya juga di rontgen, biar ketahuan penyebab sesungguhnya kenapa hati ini sakit sekali."

Ahmad pura-pura meringis, melirik nakal pada Fatia.

Fatia yang masih berdiri di sampingnya tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Ahmad. Kemudian Dokter pun meninggalkan mereka meminta perawat untuk menyiapkan form permintaan rontgen untuk lab.

"Pak, kalau sudah ditangani dokter begini, saya pamit pulang aja, ya."

"Mau kemana kamu?"

"Balik ke rumah pacar saya, lah, Pak."

Ahmad meraih pergelangan tangan Fatia, mencegahnya untuk pergi tanpa menyiapkan alasan yang masuk akal.

"Jangan pergi!" serunya dan hanya itu yang terucap.

"Kenapa?"

"Pokoknya jangan! Ini instruksi!"

Fatia mendengus kesal. Tidak ada SOP yang menerangkan tugasnya sebagai sekretaris plus mengurus urusan pribadi atasannya.

"Pak, tadi saya sama pacar lagi nanggung. Udah, ya, saya pamit mau lanjutin adegan yang tertunda," bisiknya lembut di telinga dengan sengaja menggoda Ahmad.

Fatia sengaja berbohong untuk memainkan perasaannya yang makin tidak menentu.

Tiba-tiba Ahmad berteriak memanggil Dokter mengaduh kesakitan di bagian dada. Tak lama perawat datang dan meminta Fatia untuk menunggu di lobi. Dia tersenyum geli melihat tingkahnya yang seperti anak kecil.

Ternyata rasa cemburunya belum hilang. Batin fatia.

Fatia menghubungi kantor untuk segera menemui Arya kekasihnya di bengkel motor. Tak lama Arya pun tiba di Rumah Sakit menemani Fatia.

Ahmad merasa menang, dia berhasil membuat drama yang memaksa Fatia dan Arya terjebak menungguinya di Rumah Sakit.

"Maafin aku, ya, acara kita jadi gagal." ucap Fatia lembut yang dibalas senyuman kemudian diiringi anggukan halus dari Arya.

Arya mengusap kepala Fatia dan menggenggam tangannya.

Tak lama Ahmad keluar dari ruang IGD menggunakan brankar yang akan membawanya ke ruang rontgen untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Ahmad tersenyum memikirkan kejadian tadi. Ia meminta pemilik mobil yang ditabraknya untuk segera pergi setelah diberinya kartu nama dan uang muka untuk perbaikan di bengkel. Jika saja dia tidak buru-buru menyuruhnya pergi, dia akan dipermalukan di depan Fatia.

Fatia memikirkan semua ucapan Ahmad sejak masih dalam perjalanan ke rumah sakit sampai yang baru saja dia ucapkan. Benarkah selama ini dirinya masih dalam pikiran Ahmad? Jika benar, mengapa tingkahnya selalu menyebalkan selama di kantor?

------

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel