Sisi Lain Arken
Gita merasa suasana di dalam mobil sangat kaku, tidak ada pembicaraan ataupun musik yang diputar di dalam mobil Arken.
Gita duduk dengan tegang, mencoba mencari cara untuk meredakan ketegangan di udara. Tatapan dingin Arken di sebelahnya membuatnya merasa tertekan, dan setiap usahanya untuk memulai percakapan terasa seperti melewati medan yang sulit.
Hingga akhirnya ponsel Arken berdering, membuat keheningan diantara mereka menghilang.
Arken mengambil ponselnya dan melihat layar dengan ekspresi yang serius. Ia pun mengangkat telepon tersebut.
"Kenapa, Bi?" tanya Arken pada Bi Rumi ketika panggilan tersebut sudah terhubung.
"Tuan, Arsel ngambek nggak mau pulang kalau bukan Tuan yang jemput katanya," jawab Bi Rumi dari seberang.
Arken menghela napasnya berat. "Yaudah, bilang ke Arsel, saya ke sana sekarang."
Arken menoleh ke Gita setelah menutup panggilan tersebut.
"Kita ke sekolah dulu ya, setelah itu baru makan siang," ucap Arken dingin.
"Baik, Pak," sahut Gita. Sebenarnya Gita masih tidak mengerti kenapa mereka harus ke sekolah? Namun tidak ingin membuat Arken marah karena ia banyak bertanya, jadi Gita lebih memilih untuk diam.
Setelah beberapa saat, mereka pun tiba di sekolah dan menemui Arsel yang tampak sedikit kesal.
Arken memberikan senyuman kecil kepada Arsel, mencoba meredakan kemarahan anak itu.
"Kenapa sayang?" ucap Arken lembut.
Gita terkejut mendengar suara lembut Arken yang tidak pernah ia dengar sebelumnya, karena biasanya Arken selalu bersikap dingin dan tegas.
Arsel menatap Arken dengan tatapan kesal. "Teman-teman aku di jemput sama orang tua mereka, tapi kenapa Papa nggak jemput aku?"
Arken menarik napasnya panjang, lalu membuangnya perlahan, mencoba menjelaskan pada Arsel dengan sabar. "Papa banyak urusan di kantor, sayang. Tapi sekarang Papa udah di sini kan jemput Arsel, jadi Arsel nggak boleh ngambek lagi ya."
Arsel memutar matanya, tetapi setidaknya ekspresinya sudah mulai mereda.
Gita melihat gambaran lain tentang Arken, sebagai seorang ayah yang mencoba menyeimbangkan antara pekerjaan dan juga keluarga.
"Yaudah ayo kita pulang, Papa akan antar Arsel ke rumah," ucap Arken.
Sorot mata Arsel tertuju pada Gita yang berdiri di belakang Arken.
"Itu siapa, Pa?" tanya Arsel.
"Halo! Perkenalkan saya Gita, sekretarisnya Papa kamu," ucap Gita memperkenalkan dirinya pada Arsel seraya tersenyum ramah.
Kedua sudut bibir Arsel mengembang lebar. "Tante cantik sekali," pujinya.
Gita tersenyum malu-malu. "Terima kasih. Kamu juga lucu."
Arken tersenyum sedikit ketika melihat Arsel yang memuji Gita.
"Ayo kita pulang," ucap Arken.
Mereka pun berjalan ke arah mobil. Dengan cepat Gita langsung membukakan pintu mobil untuk Arsel.
Arsel tersenyum pada Gita. "Tante aja yang duduk di depan sama Papa, aku biar di belakang aja sama Bi Rumi," ucap Arsel.
Gita mematung sejenak, namun ia segera masuk ketika Arken memberikannya isyarat untuk masuk dan duduk di depan.
"Pa, setelah ini Papa mau kemana?" tanya Arsel.
"Makan siang. Arsel mau ikut?" tanya Arken.
"Mau, Pa," jawab Arsel bersemangat.
Arsel memajukan tubuhnya sedikit, melihat ke arah Gita. "Tante Gita, aku ikut ya."
Gita tersenyum ramah. "Boleh dong, pasti seru makan siang sama kamu."
Lagi-lagi Arken tersenyum sedikit, namun berusaha untuk tidak terlihat oleh siapapun.
*****
Arken menyuapi Arsel dengan penuh kesabaran. Tangannya yang kuat dan tegas saat berada di kantor, kini berubah menjadi lembut saat menyuapi anak berusia enam tahun itu.
Gita merasa senang bisa melihat sikap hangat Arken yang mulai terungkap. Meskipun senyuman laki-laki itu tersembunyi di balik ketegasan, Gita masih bisa merasakan kalau Arken adalah laki-laki yang baik dan bertanggung jawab.
Arken menoleh ke arah Gita, melihat gadis itu tersenyum hangat melihat Arsel yang sedang makan.
"Makan sup-nya, jangan ngelihatin anak saya terus." Arken kembali menunjukkan sisi tegasnya pada Gita.
"I-iya, Pak." Gita mulai memasukkan sup tersebut ke dalam mulutnya.
Seketika Gita terdiam, raut wajahnya berubah ketika merasakan sup tersebut.
"Kenapa? Nggak enak sup-nya?" tanya Arken.
"Sup-nya ada campuran kacang-kacangan ya, Pak?" tanya Gita panik.
"Iya."
Kedua mata Gita terbuka sempurna. Ia langsung menjauhkan sup yang berada di depannya itu.
"Kamu kenapa? Nggak suka?" tanya Arken dengan nada bicaranya yang terdengar meninggi.
"Saya alergi kacang-kacangan, Pak," jawab Gita.
Arken menatap Gita tajam. "Serius?"
Gita mengangguk cepat. "Iya, Pak,"
"Kenapa kamu nggak bilang sih?" omel Arken, namun dengan raut wajahnya yang terlihat panik.
"Saya nggak tau kalau sup ini campur kacang-kacangan," jawab Gita.
Gita mulai merasakan efek alerginya. Wajahnya mulai berubah memerah, bahkan sesekali ia menggaruk tangan dan lehernya yang terasa gatal.
Arken memperhatikan perubahan pada gadis itu.
"Kita ke dokter aja ya," ucap Arken khawatir.
"Saya pamit pulang ya, Pak. Pak Arken dan Arsel lanjut makan aja," ucap Gita bangkit dari duduknya.
"Saya antar aja." Sorot mata Arken benar-benar terlihat khawatir.
"Nggak usah, Pak".
"Arsel, Tante Gita pulang duluan ya," pamit Gita pada Arsel yang masih asyik dengan makanannya.
"Mba Gita, diantar aja sama Pak Arken, bahaya loh pulang sendiri saat alergi kayak gitu," ucap Bu Rumi.
"Nggak apa-apa kok, Bi. Pak Arken biar di sini aja temenin Arsel," jawab Gita.
Arken merasa tidak tega dengan Gita, karena ia yang menyebabkan alergi Gita kambuh.
Arken terlihat gelisah, tetapi ia mencoba menyembunyikan rasa cemasnya pada Gita di depan Bi Rumi.
Tatapan khawatir Arken masih terpaku pada Gita. "Kamu hubungi saya ya kalau butuh sesuatu," ucap Arken serius.
Gita mengangguk lemah, berusaha menunjukkan bahwa ia baik-baik saja, meskipun sebenarnya ia tidak tahan dengan rasa panas dan gatal yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
Gita dengan hati-hati berdiri dan berusaha untuk keluar dari restoran tersebut.
"Kalau Tuan khawatir, kenapa nggak paksa untuk ngantar aja? Kasihan Non Gita pulang sendirian," ucap Bi Rumi.
Raut wajah Arken seketika berubah, bersikap terlihat dingin di depan Bi Rumi. "Siapa yang khawatir? Saya malah nggak peduli sama Gita." jawab Arken.
Arken mencoba mengendalikan emosinya dan menutupi ketidaksukaannya terhadap situasi ini di hadapan Bi Rumi.
Bi Rumi tersenyum. Meskipun Arken tidak jujur, tapi Bi Rumi tahu persis bagaimana perasaan laki-laki itu.
"Tuan pasti gengsi kan kalau bilang khawatir," ucap Bi Rumi dalam hati.
*****
Arken berjalan bolak-balik di kamarnya, matanya terus menatap layar ponsel. Di satu sisi, rasa khawatir dan rasa bersalahnya terhadap kondisi Gita membuatnya ingin menanyakan kabar wanita itu. Namun, di sisi lain, ego dan sikap arogannya membuatnya ragu untuk melakukannya.
Dalam kebimbangan, Arken terus memutar ponsel di tangannya, mencermati setiap kemungkinan tindakan yang bisa ia ambil.
Setelah beberapa menit berpikir, Arken akhirnya memutuskan untuk menekan ego dan keinginannya untuk bersikap dingin pada Gita. Ia mencari nomor wanita itu di kontak ponselnya, lalu menekan tombol panggil.
Ponselnya terus berdering beberapa kali, hingga akhirnya seseorang menerima panggilan tersebut.
"Gita?" ucap Arken, mencoba menyamarkan kekhawatirannya.
"Iya, Pak? Ada apa ya? Apa ada pekerjaan saya yang salah tadi?" tanya Gita dengan suaranya yang terdengar serak.
"Nggak, bukan itu. Saya hanya ingin tau gimana keadaan kamu setelah kejadian tadi? Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Arken dengan suara yang terdengar agak ragu.
"Saya udah baik-baik aja kok, besok saya juga bisa masuk seperti biasa, Pak," jawab Gita.
"Besok kamu istirahat aja di rumah, nggak usah masuk kantor," ucap Arken.
"Pak Arken nyuruh saya libur?" ucap Gita terkejut.
"Iya."
Gita menjauhkan teleponnya dari telinganya, lalu melihat ke layar ponselnya, memastikan kalau yang sedang menelponnya saat ini benar-benar Arken, atasannya yang arogan.
"Ini beneran Pak Arken kan? Kok bisa se-peduli ini ke gue?" pikir Gita dalam hatinya.
"Gita, kamu dengar saya nggak?" ucap Arken, menyadarkan Gita dari lamunannya.
"De- dengar, Pak. Tapi kan, besok ada meeting dengan klien penting," sahut Gita.
"Kamu jangan khawatir soal itu, biar jadi urusan saya. Yang terpenting adalah kesehatan kamu saat ini," ucap Arken.
Gita merasa terkejut dan sedikit terharu dengan perhatian Arken yang tidak terduga itu. "Terima kasih, Pak."
"Yaudah, selamat beristirahat ya," ucap Arken.
Arken menutup panggilan tersebut dan kembali memandangi layar ponselnya. Terdengar kabar mengenai kesehatan Gita membuatnya merasa lega, meskipun rasa khawatirnya sebenarnya tidak ia ungkapkan secara terang-terangan.
"Loh, kenapa gue jadi khawatir sama Gita ya?" pikir Arken, setelah merasa ada yang aneh dengan dirinya sendiri.
Tok! Tok! Tok!
Terdengar suara ketukan pintu. Arken pun langsung menoleh ke arah sumber suara. Ia melihat Arsel yang membuka pintu kamarnya, lalu masuk.
"Papa," ucap Arsel seraya berjalan mendekati Arken.
"Ada apa, sayang? Kok belum tidur sih?" Arken membiarkan Arsel yang duduk di sampingnya.
"Tante Gita baik ya, Pa," ucap Arsel.
"Baik?" tanya Arken memastikan.
Arsel mengangguk. "Diantara beberapa perempuan yang dekat sama Papa, cuma Tante Gita yang mau nyuapin aku makan, nyuruh aku duduk di depan sama Papa saat di mobil, dan cuma Tante Gita yang nggak mau diantar pulang, malah nyuruh Papa untuk nemenin aku, padahal tadi Tante Gita lagi sakit," jelas Arsel.
Arken terdiam, mengingat kembali saat mereka di restoran tadi, Gita terlihat senang dengan kehadiran Arsel, sangat berbeda dengan beberapa wanita yang sempat dijodohkan dengannya.
"Papa suka nggak sama Tante Gita?" tanya Arsel.
Kedua mata Arken terbuka sempurna, ia terkejut dengan pertanyaan tembakan yang dilontarkan Arsel untuknya.
"Kamu ini ngomong apa sih? Udah sana tidur, besok kan kamu sekolah," ucap Arken seraya mengelus rambut Arsel lembut.
"Aku setuju kalau Tante Gita jadi Mama aku," ucap Arsel.
Arken terkekeh, perlahan tangannya mencubit pipi anak laki-lakinya itu. "Udah malam, jangan ngomong yang aneh-aneh. Lebih baik kamu tidur aja."
"Aku mau tidur sama Papa," ucap Arsel manja.
"Yaudah, kamu malam ini tidur di kamar Papa ya."
Mendengar persetujuan dari sang Papa, Arsel pun dengan semangat naik ke tengah tempat tidur, dan membaringkan tubuhnya.
"Terima kasih, Papa."
Arken tersenyum, ia pun ikut membaringkan tubuhnya di sebelah Arsel, lalu mengelus-elus rambut anak laki-lakinya itu agar cepat tertidur.
"Selamat malam anak Papa," ucap Arken, lalu memberikan kecupan singkat di kening Arsel.
