Pustaka
Bahasa Indonesia

Mendadak Jadi Papa

68.0K · Tamat
Menti Lestari
50
Bab
173
View
9.0
Rating

Ringkasan

"Mulai hari ini, kamu milik saya!" Arken kembali melumat bibir mungil Gita. Arken semakin mempererat tangannya di pinggang Gita. Tangan Arken yang kuat memeluk pinggang Gita dengan lembut namun seolah enggan untuk melepaskannya.

RomansaPresdirPengkhianatanBaperTuan MudaIbu PenggantiTsundereMandiri

Prolog

Yokohama, 2017.

Seorang pria terduduk lemas dengan sorot matanya yang mengarah pada jenazah yang berada di depannya, tatapannya kosong, raut wajahnya tidak menunjukkan ekspresi sama sekali, bahkan tidak ada air mata yang terjatuh sedikitpun, namun ia langsung menoleh ketika mendengar suara tangisan bayi yang sedang di gendong oleh seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Pria itu bergegas bangkit, meninggalkan orang-orang yang berada di dekatnya dan menghampiri bayi itu. Saat melihat bayi itu, barulah air matanya terjatuh. Pria itu mengambil bayi tersebut, menggendongnya dengan sangat hati-hati.

"Kenapa kamu harus mengalami hal seperti ini? Kamu masih terlalu lemah untuk merasakan rasanya kehilangan," ucapnya.

Pria itu merasakan kepedihan yang mendalam, namun mencoba memberikan kehangatan pada bayi yang sekarang menjadi tanggung jawabnya itu. Dalam kesedihan, ia menemukan kekuatan untuk melindungi kehidupan yang baru saja dimulai.

*****

Jakarta, 2023.

Sarah tidak henti-hentinya mondar-mandir di depan ruang kerja Gita seraya melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, namun Gita tak kunjung terlihat, bahkan meeting yang sedang dilaksanakan oleh dewan direksi hampir selesai.

Sarah mendecak kesal saat menunggu kehadiran temannya itu. "Gita, lo di mana sih?"

Sarah semakin tidak tenang saat melihat beberapa staff dan juga dewan direksi yang sudah keluar dari ruang meeting.

"Sarah, lo harus tahu sesuatu," ucap salah satu staff yang langsung menghampiri Sarah ketika ia keluar dari ruang meeting.

"Apa? Ada info penting?" tanya Sarah penasaran, karena temannya itu memasang raut wajah yang serius.

Staff tersebut mempertipis jaraknya dengan Sarah, lalu membisikkan suatu informasi penting pada gadis itu.

Kedua mata Sarah membulat, mulutnya terbuka sempurna setelah mendengar informasi yang baru saja dibagikan oleh temannya itu.

"Terima kasih banget ya informasinya," ucap Sarah.

"Sama-sama Sar, nanti tolong kasih tahu ke Gita ya."

"Pasti kok, gue akan kasih tahu ke Gita," ucap Sarah.

Temannya itu pun berjalan pergi meninggalkan Sarah.

"Gita, lo masih hidup nggak sih? Udah jam segini tapi lo belum datang juga," gerutu Sarah dalam hatinya.

Gita bergegas turun dari taksi dan berlari menuju ruang meeting. Gita tidak peduli dengan sepatu heelsnya yang ia pakai, pikirannya kini hanya tertuju dengan meeting yang diadakan hari ini.

Gita mengatur napasnya seraya merapikan tatanan rambutnya yang hampir seperti singa akibat berlarian tadi. Ketika ingin mengetuk pintu kaca yang berada di depannya, ia lebih dulu dikagetkan oleh Sarah yang tiba-tiba menepuk pundaknya.

"Gita, lo darimana aja sih?" tanya Sarah dengan suara yang cukup keras.

"Nanyanya nanti aja ya, gue harus masuk sekarang, meeting pasti udah mulai," ucap Gita yang belum mengetahui kalau meeting sudah selesai beberapa menit lalu.

Sarah menarik kerah belakang baju Gita, membuat wanita itu memundurkan langkahnya.

"Apanya yang mulai? Lo lihat dong Gita, ini tuh udah jam berapa?" Sarah memperlihatkan jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih lima menit.

Kedua mata Gita terbuka sempurna, ia menepuk keningnya keras. "Mampus gue!"

Sarah mendecak. "Jarak dari apartemen lo itu ke kantor nggak seperti dari Jakarta ke Labuan Bajo ya, lo cuma butuh waktu empat puluh lima menit untuk sampai dengan selamat di kantor, tapi kenapa lo telat sampai dua jam? Lo kemana dulu? Muter-muter ke Arab?"

"Gue telat bangun, taksi gue juga jalannya lama banget, udah kayak naik kura-kura," jawab Gita.

Sarah bergeleng kepala, karena kejadian seperti ini bukan untuk pertama kalinya, melainkan yang kesekian kalinya. "Lo kayaknya harus mengubah kebiasaan buruk lo itu deh, jangan telat terus, karena sekarang atasan lo masih Pak Bima aja mangkanya lo aman, kalau atasan lo udah bukan Pak Bima lagi gimana?"

Gita terkekeh pelan. "Nggak mungkin ganti lah, Pak Bima itu kan pemilik perusahaan ini, kecuali Pak Bima pensiun dan nyerahin perusahaan ini ke anaknya, baru deh gue ganti atasan."

"Tapi kenyataannya atasan lo itu udah bukan Pak Bima lagi, lo harus terima kenyataan," ucap Sarah.

Gita menaikkan satu alisnya seraya menatap Sarah bingung. "Bukan Pak Bima lagi? Maksudnya?"

Sarah hampir saja lupa, ia belum memberitahu temannya itu kalau meeting tadi membahas tentang kedudukan Pak Bima yang akan digantikan oleh anak laki-lakinya yang sempat tinggal di Yokohama.

"Ha? Ini beneran? Lo nggak lagi bohongin gue kan? Jadi gue udah bukan sekretarisnya Pak Bima lagi? Masa tiba-tiba gue jadi sekretaris anaknya Pak Bima sih? Kalau anaknya ngeselin dan nggak sebaik Pak Bima gimana? Gue benar-benar nggak bisa!" gerutu Gita.

Sarah membekap mulut Gita yang berbicara tanpa dipikir terlebih dahulu. "Mulut lo lincah banget sih! Dikasih makan apa sih pas masih kecil? Pur ayam?"

"Lo dengar dulu, katanya sih, anaknya Pak Bima itu ganteng banget, apalagi dia itu pernah tinggal di Yokohama, udah bisa dipastikan kalau dia akan membawa perusahaan ini menjadi lebih baik lagi," tambah Sarah.

Gita melepaskan tangan Sarah yang membekap mulutnya. "Gue nggak peduli anaknya Pak Bima itu ganteng atau nggak! Lagi pula gue tuh nggak tahu Yokohama di mana? Daritadi lo sebut Yokohama terus!"

Kedua mata Sarah membulat, sedari tadi ia menyebutkan kota Yokohama, namun Gita sama sekali tidak tahu mengenai kota besar kedua di Jepang yang memiliki populasi lebih dari 3,67 juta jiwa di sana.

"Lo serius nggak tahu?" tanya Sarah dengan sorot matanya yang menatap Gita tajam.

Gita menggelengkan kepalanya seraya memasang raut wajahnya yang polos.

"Ya ampun Gita! Yokohama itu salah satu kota yang ada di Jepang," jelas Sarah.

"Bodoamat deh, mau dia dari Jepang, Korea, China, ataupun dari belahan bumi manapun, pokoknya gue nggak mau jadi sekretaris dia, pasti akan susah adaptasinya lagi."

"Lo beneran nih nggak mau jadi sekretaris anaknya Pak Bima?" tanya Sarah.

"Iya lah, gue nggak mau," jawab Gita lantang.

Sarah tersenyum tipis. "Bagus deh, kantor ini jadi akan buka lowongan pekerjaan untuk orang-orang yang mau kerja tanpa ngeluh, apalagi ngeluh hal yang nggak seharusnya."

"Maksudnya?" tanya Gita.

"Ya kalau lo nggak mau jadi sekretaris anaknya Pak Bima, berarti lo ngundurin diri dan siap untuk jadi pengangguran," jawab Sarah enteng.

Gita mendesis seraya memukul temannya itu pelan. "Ih! Gue pikir akan dipindah ke posisi lain."

"Lo bodoh apa gimana sih? Lo itu kan sekretarisnya Pak Bima, masa iya saat Pak Bima pensiun tiba-tiba posisi lo dipindahin, ya nggak mungkinlah! Terus kerjaannya Pak Bima gimana kalau lo ke posisi lain?"

Gita berpikir sejenak, jika dipikir-pikir benar juga ucapan Sarah, tidak mungkin ia dipindah ke posisi lain, nanti siapa yang akan membantu anaknya Pak Bima untuk menyiapkan dokumen serta pengenalan lingkungan kerja jika bukan dirinya. Ah, bodoh sekali!

"Lo tenang aja, gue dengar dari orang-orang yang pernah ketemu sama anaknya Pak Bima, katanya sih orangnya nggak banyak omong, jadi dia nggak akan bawel selama kerja," ucap Sarah.

Gita mengusap wajahnya gusar, sebenarnya ia enggan untuk berganti atasan, namun ia juga tidak mungkin untuk melarang Pak Bima pensiun, karena perusahaan ini milik Pak Bima, jadi terserah Pak Bima ingin melakukan apa saja, termasuk menjadikan anaknya sebagai penerus perusahaan.

"Besok jangan telat ya, karena lo harus pengenalan dulu sama anaknya Pak Bima. Oh iya, first impression antara lo sama anaknya Pak Bima harus oke ya."

"Jangan lupa juga kasih tahu gue ya kalau anaknya Pak Bima itu beneran ganteng," tambah Sarah.

Gita mendesis pelan. "Tanpa gue kasih tahu pun pasti lo akan lihat sendiri, secara kan dia akan lewat pintu depan nanti, kecuali ya kalau kalau dia punya pintu ke mana saja yang bisa tiba-tiba muncul di ruang kerjanya."