Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bos Yang Arogan!

Gita bergegas keluar dari ruangannya ketika menerima panggilan dari Arken. Tanpa pikir panjang ia langsung berlari ke ruangan atasannya itu melewati teman-temannya yang sedang berkerja. Beberapa temannya pun cukup terkejut ketika melihat Gita berlari.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Gita ketika sudah berada di ruangan Arken dengan napasnya yang terengah-engah.

Arken melihat Gita dingin, kemudian pandangannya teralihkan ke jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

“Dari ruangan kamu ke ruangan saya aja, napas kamu ngap-ngapan kayak gitu, gimana saya suruh kamu lari keliling gelora bung karno?” ucap Arken dengan nada bicaranya yang terdengar ketus.

“Ya maklum aja Pak, saya nggak biasa lari,” jawab Gita jujur.

“Pak Arken kenapa manggil saya?” tanya Gita, kembali pada topik pembicaraan yang seharusnya.

“Saya haus, bikinin saya kopi dong,” ucap Arken.

Kedua mata Gita terbuka sempurna. “Bi- bikin kopi, Pak?” tanya Gita memastikan.

“Kenapa? Telinga kamu kurang dengar? Apa suara saya yang terlalu pelan?”

Gita tersentak sedikit. "Maaf, Pak Arken. Segera saya bikinkan kopi untuk bapak," ucapnya cepat.

Arken hanya mengangguk singkat, memperhatikan setiap gerak Gita yang seakan-akan di bawah pengawasan ketat.

Gita meninggalkan ruangan dengan cepat, mencoba menutupi rasa tidak nyaman yang menyelinap di benaknya.

"Benar-benar ya tuh cowok! Ngeselin banget!" oceh Gita ketika sudah berada di luar ruangan atasannya itu.

Gita menghela napas dalam-dalam, mencoba meredakan kekesalan di dadanya. "Harus sabar, Gita. Ini tuh cuma bagian dari drama kantor aja," gumamnya pada diri sendiri sambil menuju pantry untuk menyiapkan kopi.

Gita dengan cermat menakar biji kopi ke dalam penggiling, memastikan aroma yang khas akan menyusup ke setiap sudut ruangan. Suara gemerincing biji kopi yang hancur mengisi pantry, menciptakan melodi yang tenang di tengah-tengah kesibukan.

Gita menyeduh kopi dengan teknik yang sudah ia kuasai, mengetahui betul betapa pentingnya kesempurnaan rasa untuk sang bos yang kritis seperti Arken.

"Untung gue masih baik, kalau kesabaran gue udah habis, kopi ini pasti udah gue campurin garam," ucap Gita dengan senyuman kecil. Melontarkan lelucon ringan , ia mencoba memudahkan beban hatinya, meski dalam realitasnya, Arken dan kopi garam adalah kombinasi yang tidak mungkin.

Dengan hati-hati, Gita membawa nampan dengan segelas kopi yang masih mengeluarkan uap ke ruangan Arken. Setiap langkahnya terasa berat, seperti langkah di atas tepi belahan yang tipis.

Ketika Gita memasuki ruangan, Arken mengangkat kepalanya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kopi, Pak," ucap Gita dengan suara lembut.

Arken hanya mengangguk, dan Gita meletakkan segelas kopi di atas meja. Raut wajah Arken tetap serius, membuat Gita merasa seperti sedang berjalan di atas pasir yang bergerak di bawah kakinya.

"Kamu nggak nyampurin sesuatu yang aneh ke kopi saya, kan?" ucap Arken dingin.

Gita merasa tegang mendengar pertanyaan tajam Arken. "Niatnya sih tadi mau saya campur garam," ucap Gita sangat pelan.

Arken menatapnya, seolah-olah mencoba membaca di balik kata-kata Gita.

"Kamu ngomong apa tadi?" tanya Arken.

Gita merasa detak jantungnya semakin cepat. "Eh, nggak Pak. Saya nggak ngomong apa-apa kok. Pak Arken tenang aja, saya nggak akan berani nyampurin sesuatu ke kopi punya bapak," jawabnya dengan canggung, mencoba menutupi lelucon ringan yang bisa membuat situasi semakin tegang.

Arken mencoba segelas kopi yang baru saja disiapkan oleh Gita. Tatapannya serius, seakan-akan mencari kesempurnaan rasa dalam setiap tegukan.

Gita yang berdiri di depan meja kerja Arken merasa tegang, menunggu respon atasannya itu terhadap kopi buatannya.

Setelah beberapa saat, Arken akhirnya menarik napas panjang. "Rasa kopi ini lumayan. Nggak buruk," ucapnya dengan nada yang sulit diartikan.

Gita merasa sekelumit kelegaan. "Syukurlah kalau Pak Arken suka."

Arken menaikkan satu alisnya. "Kata siapa saya suka? Saya hanya bilang rasanya nggak buruk, bukan berarti saya suka!"

Lagi-lagi Gita merasa tegang mendengar komentar tajam Arken. "Maaf, Pak. Saya akan berusaha lebih baik lagi," ucapnya dengan canggung.

"Makan siang nanti kamu ikut saya," ucap Arken.

"Kemana, Pak?" tanya Gita.

"Saya nggak nyuruh kamu nanya, saya cuma suruh kamu ikut aja," jawab Arken dingin.

Gita mengangguk. "Baik, Pak. Saya akan ikut," ucapnya dengan hati-hati.

Arken hanya mengangguk singkat, tanpa menambahkan kata-kata lebih lanjut.

"Udah nggak ada yang perlu saya kerjakan di sini kan, Pak? Saya permisi ya," ucap Gita.

Arken menatap Gita seolah ingin memangsa gadis itu.

"Sana keluar," usir Arken.

Gita langsung keluar dari ruangan Arken dengan perasaan yang campur aduk, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya saat makan siang bersama atasannya yang arogan itu.

Gita merasa kini kehidupannya seperti berada di dalam permainan catur, di mana setiap langkah yang ia ambil memiliki tanggung jawab yang besar.

*****

Arken duduk di ruang kerjanya, menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya dengan raut wajahnya yang sulit diartikan. Waktu makan siang sudah hampir tiba, namun Gita belum juga muncul di hadapannya.

Ruang kerja Arken terasa sunyi, hanya terdengar ketukan jarum jam dan derap langkah yang semakin dekat.

Bruk! Gita membuka pintu ruangan tersebut cukup keras.

"Maaf Pak, saya telat sedikit datangnya," ucap Gita.

Arken menatap Gita dengan tatapan yang sulit diartikan. "Seharusnya kamu tepat waktu. Hal sepele seperti ini aja kamu gagal, gimana kalau saya harus tunjuk kamu hal-hal yang lebih besar?"

"Maaf Pak. Saya salah." Gita mengigit bibirnya, menahan rasa gugupnya.

Arken memperhatikan Gita dengan tajam. "Sebaiknya perbaiki sikap kamu jika tidak ingin kejadian serupa terulang," ucapnya dingin.

Gita hanya bisa mengangguk, merasa tekanan dari atasannya semakin meningkat.

"Kita mau kemana, Pak?" tanya Gita.

"Kamu dilarang bertanya apapun ke saya mulai sekarang!" ucap Arken.

Gita menelan ludah, merasa kecewa dengan larangan Arken. "Baik, Pak," ucapnya dengan suara rendah.

Gita berjalan cepat, mencoba menyesuaikan langkahnya dengan Arken yang melangkah dengan mantap di depannya. Atmosfer tegang menyelimuti langkah-langkah mereka, dan Gita merasa seperti sedang berjalan di atas seutas tali yang tipis di antara jurang kekhawatiran.

Arken melirik sedikit. "Kamu kalau jalan emang kayak kura-kura ya?"

"Ha? Apa, Pak?"

Arken mendesis, lalu menghentikan langkahnya mendadak.

Gita yang terus berusaha mengejar langkah Arken, tidak menyadari bahwa laki-laki itu berhenti mendadak, membuat tubuhnya menabrak Arken dengan cukup keras.

"Maaf, Pak Arken. Saya nggak sengaja," ucap Gita dengan nada yang gugup, merasa wajib meminta maaf atas ketidakhati-hatiannya itu.

Arken memutar tubuhnya, melihat Gita kesal. "Kamu suka banget ya bikin saya kesal?"

"Ya-ya.. kenapa Pak Arken berhenti mendadak? Harusnya tuh Pak Arken bilang kalau mau berhenti," ucap Gita melakukan pembelaan.

Arken menatap Gita dengan tatapan tajam. "Kamu ini seharusnya lebih berhati-hati. Apapun alasannya, kamu nggak boleh dekat-dekat sama saya, apalagi sampai nabrak kayak tadi," ucapnya dengan nada tegas.

Gita mengangguk cepat, merasa bahwa tekanan dalam dirinya semakin bertambah.

"Baik, Pak," sahut Gita mengerti.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel