Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Permintaan Arsel

Arken terdiam sejenak ketika masuk ke dalam ruang kerjanya. Sorot matanya tertuju pada sebuah kotak sarapan yang berisi nasi goreng seafood yang berada di atas meja kerjanya. Hal itu menandakan kalau Gita sudah masuk kerja kembali.

Arken tersenyum sedikit, lalu keluar dari ruangannya, berjalan menuju ruang kerja Gita.

Tok! Tok! Arken mengetuk pintu tersebut pelan, lalu masuk.

"Selamat pagi, Pak Arken," ucap Gita, bergegas bangkit dari duduknya ketika melihat atasannya itu berada di ruang kerjanya.

"Syukurlah kamu udah masuk kembali," ucap Arken, namun dengan nada bicaranya yang terdengar dingin.

"Nasi goreng untuk Pak Arken sudah saya taruh di atas meja ya, Pak," ucap Gita hati-hati, takut membuat emosi laki-laki itu tersulut.

"Kamu ada kertas kosong?" tanya Arken.

"A-ada, Pak."

"Mana?" pinta Arken.

Gita melangkah menuju rak, mengambil selembar kertas HVS dan memberikannya kepada atasannya itu.

"Ini, Pak."

Arken melihat Gita dengan tatapan dingin, lalu mengembalikan kertas yang diberikan sekretarisnya itu.

"Kamu tulis makanan dan juga minuman yang boleh dan yang nggak boleh kamu konsumsi," ucap Arken dengan raut wajahnya yang serius.

Gita menatap kertas tersebut dengan raut wajahnya yang terkejut. "Maksudnya, Pak?" bingung Gita.

Arken mendesis. "Untuk menghindari kejadian seperti beberapa hari lalu, saya perlu tahu makanan dan minuman apa yang boleh dan nggak boleh kamu konsumsi," jelasnya.

"Nggak usah banyak tanya lagi, cepat kamu tulis!" perintah Arken tegas.

"Baik, Pak." Gita mulai menuliskan beberapa makanan dan minuman yang tidak boleh ia konsumsi, lalu memberikan kertas tersebut pada atasannya.

Arken membaca dengan baik-baik daftar yang dituliskan oleh Gita, raut wajahnya tidak banyak berubah, namun matanya yang dingin merayapi setiap kata yang tertulis di selembar kertas tersebut.

Setelah beberapa saat, pandangan Arken beralih ke Gita. "Kamu alergi susu juga?" tanya Arken.

"Iya, Pak," jawab Gita.

"Ternyata kamu cukup ngerepotin juga ya jadi sekretaris saya. Terlalu banyak pantangan," ucap Arken.

"Maaf, Pak," lirih Gita.

Arken melihat Gita sejenak. "Saya harap kamu nggak akan ngerepotin dan membuat masalah di tempat kerja."

Gita mengangguk ringan. "Baik, Pak."

Arken berjalan keluar dari ruangan Gita, meninggalkan suasana yang terasa tegang di belakangnya. Pintu ruangan Gita ditutup dengan lembut, dan udara yang tersisa di ruangan terasa berat.

Arken melangkah melintasi lorong kantor yang tenang. Mata dinginnya menelusuri setiap detail, mencermati aktivitas di sekitarnya tanpa menunjukkan rasa emosi. Beberapa karyawan mengangkat kepala, melihat Arken lewat dengan penuh kehati-hatian, menyadari bahwa kehadirannya selalu menyimpan aura ketegasan.

"Pak Arken ganteng sih, tapi galak," bisik salah satu karyawan.

"Pak Arken itu udah nikah belum sih?" ucap karyawan lain.

"Nggak tahu deh, kayaknya sih belum," jawab karyawan yang lainnya.

"Tapi bisa juga udah, soalnya kalian tahu sendiri kan, kalau keluarga Pak Bima itu tertutup banget, jadi kita nggak tahu anaknya Pak Bima ada berapa dan udah nikah atau belum. Termasuk Pak Arken, kita aja nggak tahu kan kalau Pak Arken itu anaknya Pak Bima yang keberapa? Bisa pertama, kedua, atau malah yang paling kecil."

"Eh iya iya, gue yang hampir tiga belas tahun kerja di sini aja nggak tahu anaknya Pak Bima ada berapa? Karena emang se-tertutup itu keluarganya, yang sering Pak Bima bawa ke kantor yang cuma almarhumah istrinya aja waktu itu," ucap karyawan senior di sana.

"Kayaknya sih Pak Arken belum nikah, soalnya nggak pakai cincin di jari manisnya," celetuk karyawan lain.

"Kalau belum nikah, terus foto anak kecil yang ada di ruangan Pak Arken itu siapa? Soalnya di atas meja kerja dia, ada foto dia sama anak kecil gitu."

"Adiknya kali."

"Nggak mungkin adiknya, masa selisih umurnya jauh banget."

"Fix! Itu pasti anaknya Pak Arken! Berarti dia udah nikah. Nggak mungkin banget kalau Pak Arken sembarangan pajang foto anak kecil di atas meja kerjanya, pasti ada hubungan tertentu sama dia."

"Pantas aja Pak Arken galak."

"Oh, Pak Arken nikah muda kali ya?"

"Masa sih udah nikah? Emang ada cewek yang bisa bikin Pak Arken jatuh cinta? Pak Arken kan ketus banget orangnya."

Bisikan-bisikan di ruangan semakin mencuat, para karyawan seolah mencoba menggali informasi tentang kehidupan pribadi atasannya yang terkenal galak itu.

*****

Ponsel Arken terus berdering. Arken yang semula terfokus pada pekerjaannya, seketika mengalihkan perhatiannya ke ponselnya. Melihat kalau ada panggilan masuk dari Arsel. Tanpa pikir panjang, Arken langsung menerima panggilan tersebut.

"Halo, Arsel. Ada apa, sayang?" Arken bertanya dengan lembut dari seberang telepon.

"Papa, jemput aku sekarang!" ucap Arsel, ketika panggilannya sudah terhubung.

"Maaf sayang, Papa nggak bisa jemput kamu sekarang, kamu pulang sama Bi Rumi aja ya," ucap Arken.

"Nggak mau! Aku maunya dijemput Papa lagi," rengek Arsel.

"Papa lagi banyak kerjaan sayang. Kamu pulang seperti biasa aja ya sama Bi Rumi. Papa janji akan pulang lebih awal nanti dan main sama Arsel, oke?" Arken mencoba membujuk Arsel, agar anak laki-laki itu tidak terus merengek.

"Kalau Papa nggak mau jemput, suruh Tante Gita aja yang jemput aku," ucap Arsel.

"Nggak bisa dong sayang. Tante Gita juga lagi kerja. Gini aja deh, hari ini kamu pulang sama Bi Rumi dulu, besok baru Papa jemput kamu. Gimana, setuju?" Arken mencoba mencarikan solusi yang dapat membuat Arsel merasa lebih baik.

"Pokoknya aku nggak mau pulang kalau bukan Papa ataupun Tante Gita yang jemput!" ucap Arsel, lalu memutuskan panggilan tersebut.

Arken mendecak ketika panggilannya diputus oleh Arsel. Mau tidak mau, ia langsung menghubungi Gita, meminta wanita itu untuk datang ke ruangannya sekarang.

Gita yang sedang sibuk menyiapkan materi presentasi untuk meeting hari ini, seketika berlari ke ruangan Arken ketika atasannya itu memintanya untuk datang ke ruang kerjanya.

Tok! Tok! Tok! Gita mengetuk pintu ruangan atasannya itu dengan pelan, lalu membukanya.

"Selamat siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Gita seraya tersenyum.

"Meeting hari ini dibatalin aja," ucap Arken dingin.

Kedua mata Gita terbuka sempurna, ia cukup terkejut mendengar ucapan atasannya itu. "Ha? Dibatalin, Pak? Kenapa? Materi presentasinya udah siap kok, tinggal dibaca ulang aja untuk memastikan lagi," ucap Gita.

"Anak saya meminta saya untuk jemput dia, dia nggak mau pulang kalau bukan saya ataupun kamu yang jemput dia," ucap Arken.

"Saya? Anak Pak Arken mau dijemput saya?" tanya Gita memastikan kalau pendengarannya itu tidak salah.

Arken menghela napasnya berat. "Saya bingung harus jelasin mulai dari mana, tapi yang jelas, anak saya hanya mau pulang jika saya ataupun kamu yang menjemput dia. Jadi, mau tidak mau saya harus ngebatalin meeting  hari ini dan jemput anak saya sekarang," jelas Arken.

Gita terdiam sejenak, memikirkan cara agar meeting besar itu tidak dibatalkan, karena meeting hari ini dengan klien penting yang pastinya akan membawa pengaruh besar pada Bima Sakti Group. Gita tidak ingin perusahaan ini mengalami kerugian besar jika harus melepas klien penting tersebut, apalagi Bima Sakti Group sudah lama mendambakan untuk bekerja sama dengan klien tersebut.

"Gini aja, Pak. Pak Arken tetap meeting, biarin saya aja yang jemput anak bapak. Jadi perusahaan ini tidak kehilangan klien penting, dan anak Pak Arken juga tetap dijemput. Gimana, Pak?" ucap Gita, melakukan penawaran yang tentunya dapat menguntungkan Arken.

Arken merenung sejenak, mempertimbangkan tawaran yang diajukan oleh Gita. Setelah sejenak berpikir, ia pun setuju.

"Oke. Kamu jemput Arsel sekarang, kamu harus pastiin kalau dia baik-baik aja dan selamat sampai rumah nantinya. Saya akan tetap di sini untuk memastikan meeting hari ini akan berjalan dengan sangat lancar."

Gita tersenyum. "Baik, Pak. Saya akan segera menjemput Arsel. Pak Arken tenang aja, Arsel akan aman sama saya," sahut Gita, lalu berjalan keluar dari ruangan Arken untuk menjemput Arsel.

*****

Gita memasuki sekolah Arsel dengan langkah yang hati-hati, mencari keberadaan anak laki-laki itu. Gita menoleh ke sekelilingnya, akhirnya ia menemukan Arsel dan juga Bi Rumi yang sedang duduk di taman sekolah.

Gita tersenyum tipis, lalu mendekati mereka.

"Halo Arsel," sapa Gita dengan ramah.

"Halo Bi Rumi. Apa kabar?" sapa Gita juga pada Bi Rumi yang duduk di samping Arsel.

"Tante Gita!" seru Arsel girang, lalu menoleh ke Bi Rumi. "Hore, Bi! Aku dijemput Tante Gita."

Gita tersenyum senang melihat Arsel. Perlahan tangannya tanpa sadar mengelus rambut anak laki-laki itu.

Bi Rumi yang melihat hal itu pun ikut tersenyum.

"Maaf ya non Gita, jadi ngerepotin," ucap Bi Rumi.

"Nggak ngerepotin kok, Bi. Saya malah senang, jadi bisa jemput Arsel. Hitung-hitung jalan-jalan keluar kantor," jawab Gita terkekeh.

"Tante Gita, ikut aku sebentar yuk ke kelas, aku mau tunjukkin sesuatu ke Tante Gita," ucap Arsel.

Arsel penuh semangat menarik tangan Gita melalui lorong-lorong sekolah yang cukup ramai dengan para murid yang berada di sana. Mereka pun akhirnya tiba di depan pintu kelas Arsel. Arsel membuka pintu dengan sangat riang.

"Ini kelas aku, Tante Gita," ucap Arsel bangga seraya memasuki ruang kelasnya.

Gita tersenyum. "Wow, kelasnya bagus sekali. Ini hasil gambar kamu?" ucap Gita seraya tertuju pada sebuah hasil gambar yang dipajang di samping papan tulis.

Arsel mengangguk bersemangat.

"Wah, kamu hebat banget. Bagus banget gambarnya," ucap Gita terkesan.

"Menurut Tante Gita, kira-kira Papa suka nggak kalau lihat gambar aku?" tanya Arsel dengan raut wajahnya yang polos.

Kedua sudut bibir Gita mengembang. Ia berjongkok di depan Arsel seraya menakupkan wajah anak laki-laki itu. "Papa kamu pasti bangga banget lihat hasil gambar kamu, apalagi di gambar kamu ada Papa," ucap Gita.

Arsel tersenyum bahagia mendengar kata-kata Gita. "Bener ya, Tante Gita? Aku senang banget kalau Papa suka."

Gita mengangguk, "Pasti, sayang."

"Arsel, tapi kenapa di gambar ini Papa kamu pakai baju superhero?" tanya Gita penasaran.

"Karena Papa selalu ngelindungin aku dari apapun, Papa seperti superhero untuk aku," jawab Arsel polos.

Gita terdiam. Hatinya tiba-tiba terenyuh mendengar jawaban Arsel. Di dalam hidupnya, Gita tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah, bahkan ia tidak tahu bagaimana rasanya dilindungi oleh sosok yang sering disebut sebagai cinta pertama untuk anak perempuan.

"Tante Gita, kenapa?" tanya Arsel yang melihat sorot mata Gita yang berkaca-kaca.

Gita tersadar dari lamunannya. "Nggak, Tante Gita nggak apa-apa kok," jawab Gita.

Bi Rumi yang memperhatikan dari luar ruang kelas merasa senang, melihat Gita sangat baik pada Arsel, bahkan saat tidak ada Arken.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel