Serba Salah
“Arsel," panggil Arken seraya berjalan mendekati anak laki-laki yang sedang bermain di ruang tengah itu.
“Papa.” Anak berusia enam tahun itu langsung berlari dan memeluk Arken erat.
“Anak Papa kangen ya?”
Arsel menganggukan kepalanya. “Arsel mau main sama Papa.”
“Ayo, Papa juga mau main sama Arsel,” sahut Arken.
Bi Rumi tersenyum tipis ketika melihat Arken dan Arsel dari kejauhan, ia merasa senang masih bisa menyaksikan rasa sayang yang diberikan oleh Arken untuk Arsel.
“Semoga suatu saat nanti Tuan Arken bisa mendapatkan seorang istri yang bisa mencintai Tuan dengan tulus, dan juga bisa menerima Arsel,” doa Bi Rumi dalam hatinya.
“Bi, selama saya di kantor tadi, Arsel nggak nakal kan?” tanya Arken ketika melihat Bi Rumi yang berdiri di dekat anak tangga.
“Nggak Tuan, Arsel pintar, main sendiri,” jawab Bi Rumi tersenyum.
Arken tersenyum seraya mengacak-acak pucuk rambut Arsel pelan. “Anak Papa pintar banget sih.”
*****
“Lo lihat ini deh.” Gita menunjukkan pada Sarah map yang tadi diberikan oleh Arken, ketika mereka bertemu di lift saat hendak pulang kantor.
“Apaan nih?” tanya Sarah bingung.
“Lo baca aja,” jawab Gita.
Sarah pun membacanya, tak berselang lama wanita itu pun tertawa.
“Gue setuju banget kalau anaknya Pak Bima itu ngasih lo job desk tambahan kayak gini, biar lo nggak datang telat terus.”
“Kok lo jahat sih?” gerutu Gita.
“Biar lo datang pagi!” jawab Sarah, lalu berjalan keluar lift setelah pintu lift tersebut terbuka di lantai dasar.
"Jahat banget sih lo jadi teman!"
"Bodo! Itu tuh demi kebaikan lo!" sahut Sarah.
*****
Gita mengatur alarm di ponselnya pukul enam pagi, enam lebih lima menit, enam lebih sepuluh menit, bahkan hingga pukul enam lebih tiga puluh menit.
Gita menarik napasnya panjang, lalu membuangnya perlahan. “Gue harus bisa bangun pagi! Nggak boleh telat! Kalau gue telat pasti si cowok disiplin itu akan ngomelin gue habis-habisan.”
Gita melirik jam yang berada di pojok kanan ponselnya, sudah menunjukkan pukul satu dini hari. “Udah malam, waktunya tidur,” ucapnya, lalu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidurnya seraya menarik selimut untuk memperlengkap kenyamanan tidurnya.
Tanpa menunggu waktu lama, Gita langsung terlelap dalam tidurnya, cukup beberapa menit saja menempel di bantal, Gita sudah bisa masuk ke dalam alam bawah sadarnya tanpa perlu membuat skenario yang bisa mempermudah dirinya tertidur.
Suara kokokan ayam yang berasal dari ponsel Gita berbunyi dengan sangat keras, namun ini bukanlah bunyi alarm yang pertama, melainkan alarm yang sengaja disetting pukul enam lebih tiga puluh menit oleh wanita itu semalam, karena beberapa alarm sebelumnya dimatikan Gita dengan mudah.
Gita membuka selimutnya, dengan matanya yang masih terasa berat, ia memaksa dirinya untuk bangkit dan berjalan ke kamar mandi.
Gita membuka shower-nya, membiarkan guyuran shower tersebut mengenai dirinya. Perlahan rasa kantuknya pun sirna setelah dirinya merasa segar setelah mandi.
Gita membuka lemarinya, mencari pakaian yang menurutnya cocok untuk hari pertamanya bekerja dengan atasan barunya itu.
“Ini kayaknya bagus deh,” ucap Gita setelah menemukan sebuah blouse berwarna coklat susu yang dipadupadankan dengan rok hitam.
Gita pun bergegas mengganti pakaian dan langsung berangkat ke kantor, ia sengaja tidak sarapan karena takut tidak sempat menyiapkan sarapan untuk atasan barunya itu sesuai dengan yang tertulis di kertas.
Waktu semakin berlalu, Gita terus menerus melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Waduh neng macet parah nih,” ucap pengemudi taksi online pada Gita.
Gita merasa kegelisahan tumbuh seiring detik-detik yang berlalu, diikuti dengan rasa frustrasi karena kemacetan. Pemandangan luar jendela taksi online menampilkan hiruk-pikuk kota yang sibuk, membuatnya semakin terjebak dalam pusaran waktu yang tak bersahabat. Sementara jam di pergelangan tangannya terus berputar, Gita merenung tentang bagaimana hidupnya terasa seolah terhenti dalam kebuntuan lalu lintas dan keputusasaan.
“Saya turun di sini aja deh, restorannya udah dekat kok, Pak," ucap Gita.
"Nggak apa-apa, Neng?"
"Nggak apa-apa, Pak. Ini ongkosnya, makasih ya Pak." Gita langsung turun dari taksi online tersebut setelah memberikan uang lima puluh ribu rupiah pada sang pengemudi.
Gita melangkah keluar dari taksi online, menyingkir dari kebisingan kemacetan. Udara segar menyambutnya, dan dengan langkah yang mantap, ia berlari menuju restoran yang terletak tidak jauh dari tempatnya berhenti. Bukan tanpa sebab Gita datang ke restoran pukul setengah delapan pagi, itu semua ia lakukan semata-mata karena sesuai dengan permintaan Arken yang dengan sengaja ditulis di kertas tersebut. 'Siapkan nasi goreng seafood yang dibeli di restoran Happy Family.'
Gita melaju menuju restoran dengan hati yang berdegup kencang. Pandangannya melayang di sekeliling, mencari tanda-tanda restoran 'Happy Family.'
Hembusan angin pagi membawa aroma lezat dari dapur restoran, memicu rasa lapar di perutnya. Saat pintu restoran terbuka, suasana ramai menyambutnya, dan Gita bergegas memesan makanan untuk Arken.
*****
Tepat pukul setengah sembilan pagi, Gita tiba di kantor, setelah bertahun-tahun kerja di Bima Sakti Group, akhirnya Gita kembali tidak datang terlambat, rasanya ia seperti anak baru yang masih takut jika melanggar peraturan kantor.
Gita langsung masuk ke ruangan Arken dan menaruh di atas meja nasi goreng seafood pesanan laki-laki itu yang sudah ia beli.
Gita menghela napasnya berat. "Untung aja tuh cowok disiplin belum datang," ucapnya sendiri.
"Yang kamu maksud itu saya?"
Kedua mata Gita seketika terbuka sempurna, ia langsung menoleh ke arah sumber suara. Gita menelan salivanya kasar ketika melihat sosok Arken yang sudah berada di ruangan tersebut, entah sejak kapan laki-laki itu berada di sana.
Gita memaksa kedua sudut bibirnya untuk mengembang. "Selamat pagi, Pak Arken," ucapnya dengan ramah, meskipun terlihat palsu.
Arken berjalan ke arah kursinya, melihat Gita yang masih berdiri di depan mejanya dengan tatapan sinis.
"Kamu ngapain masih di sini? Sana ke luar!" ucap Arken.
"Baik Pak." Gita bergegas keluar dari ruangan atasannya itu tanpa mengeluarkan kata-kata lainnya.
Gita menarik napasnya panjang, kemudian membuangnya perlahan. "Sabar Gita, lama-lama juga pasti lo akan bisa bikin Pak Arken jadi baik," ucapnya sendiri.
Gita berjalan ke ruang kerjanya, namun baru beberapa langkah ia menjauh dari ruangan Arken, laki-laki itu sudah memanggilnya.
"Gita."
Gita mengepal tangannya kuat, berusaha untuk menahan emosinya. Ia membalikkan tubuhnya seraya menunjukkan senyumnya pada Arken yang berdiri di tengah pintu.
"Ada apa Pak? Butuh apa lagi?" tanya Gita bersabar.
"Kamu ngasih saya makanan doang? Minumnya nggak?" ucap Arken dengan raut wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi sama sekali.
Gita tersenyum kaku. "Maaf, Pak. Saya lupa pesan minumannya. Saya ambilin ya Pak di pantry," ucap Gita.
Gita melangkah cepat menuju pantry, mencoba menutupi ketegangan yang terasa di udara. Ia membuka pintu pantry dengan sedikit tergesa-gesa, berharap menemukan minuman yang sesuai dengan selera Arken. Saat tangannya meraih botol air mineral dan segelas kopi, Gita berpikir keras tentang cara menjalani hari ini tanpa membuat atasannya semakin kesal.
"Pokoknya hari ini gue nggak boleh ngebuat kesalahan," ucap Gita sendiri.
Langkahnya kembali menuju ruangan Arken, diisi dengan pertimbangan hati-hati agar tak membuat kesalahan. Saat tiba di depan pintu ruangan Arken, Gita menekan dirinya untuk memasuki ruangan dengan penuh keyakinan.
"Ini Pak, minum—" ucapan Gita terhenti ketika melihat satu botol air mineral dingin yang sudah berada di atas meja kerja Arken.
"Kenapa?" tanya Arken dingin.
"I-itu minumannya Pak," ucap Gita.
"Ya terus kalau ini minuman kenapa? Emang benar minuman kan? Bukan baso ikan kan? Apalagi jagung susu keju."
Lagi-lagi ucapan Arken selalu membuat Gita ingin menghela napasnya di depan wajah laki-laki itu.
"Terus minuman ini gimana, Pak?" tanya Gita.
"Buang aja, saya udah ada minum, kamu kelamaan sih ngambil airnya," ucap Arken.
"Gila ya! Pak Arken selalu nguji kesabaran gue! Susah banget ngertiin dia," gerutu Gita dalam hatinya.
Arken menaikkan satu alisnya. "Kamu nggak lagi ngomongin saya kan?"
Gita tersentak kaget. "Ah, nggak Pak, mana mungkin saya berani ngomongin Pak Arken," ucapnya dengan canggung, berusaha menyembunyikan ketidaknyamanannya.
Gita semakin waspada. Suasana di ruangan terasa tegang, dan Gita berharap bisa menyelesaikan pekerjaannya tanpa membuat kesalahan lebih lanjut di depan bosnya yang selalu menantang itu.
"Saya balik ke ruangan saya ya, Pak," ucap Gita hati-hati.
"Emang saya udah nyuruh kamu untuk balik ke ruang kerja kamu?"
Lagi-lagi ucapan Arken membuat Gita merasa serba salah di depan laki-laki itu.
Gita mengangguk canggung. "Maaf, Pak. Saya hanya berpikir untuk kembali bekerja," ucapnya dengan nada rendah.
Arken hanya menatapnya tanpa ekspresi. "Yaudah sana balik ke ruangan kamu, tapi jangan lupa, sebelum jam makan siang, makanan harus sudah siap di ruangan saya," ucapnya.
"Siap, Pak," jawab Gita.
Gita segera meninggalkan ruangan, merasa lega untuk sementara waktu bisa melepaskan diri dari tatapan tajam Arken.
Arken melihat Gita meninggalkan ruangannya dengan ekspresi yang sulit terbaca. Senyum tipis melintas di wajahnya, seolah menunjukkan kepuasan kecil atas apa yang berhasil ia ciptakan.
Seiring langkah Gita yang menjauh, Arken kembali tenggelam dalam pemikirannya, mungkin bersiap untuk babak selanjutnya dari permainan yang tak pernah usai.
