Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

First Impression

Arken berjongkok di depan seorang anak laki-laki yang berusia enam tahun seraya mengelus rambutnya lembut. "Arsel, kamu harus lebih terbiasa lagi ya menggunakan Bahasa Indonesia, apalagi untuk komunikasi dengan orang lain, karena mulai sekarang dan seterusnya kita akan tinggal di Indonesia," ucapnya.

"Iya, Pa," sahut Arsel.

Seorang wanita paruh baya berjalan mendekati Arken dan Arsel. "Bibi sudah siapkan makan siangnya."

"Arsel, kamu makan sama Bibi ya, Papa harus ke kantor sekarang," ucap Arken lembut.

"Ke kantor? Bukannya Papa baru mulai kerja besok ya?" tanya Arsel.

"Papa pengen lihat-lihat suasana kantor dulu, Papa nggak akan lama kok, setelah itu Papa akan pulang lagi dan main sama Arsel," jawab Arken.

"Oke, Pa."

"Bi, titip Arsel ya."

"Iya Tuan."

Untung saja saat masih tinggal di Jepang, Arken membiasakan Arsel untuk berkomunikasi dengannya dan juga Bi Rumi menggunakan Bahasa Indonesia, jadi ketika ia memutuskan untuk kembali tinggal di Indonesia, Arsel sama sekali tidak kesulitan untuk berbicara menggunakan Bahasa Indonesia.

*****

Gita terus menghela napasnya berat, ia bingung harus bagaimana dan melakukan apa jika bertemu dengan atasan barunya itu? Apakah harus banyak bicara? Atau berbicara saat tertentu saja? Sial! Pemikiran ini hampir membuat Gita menggila!

"Please, jangan gila sendiri dong! Cuma ganti atasan aja kok, nggak usah panik!" ucap Gita pada dirinya sendiri.

"Ah, nggak bisa! Tetap aja gue panik!"

Gita bangkit dari duduknya.

"Gue butuh penyegaran nih, gue harus minum kopi dulu supaya nggak terus-terusan mikirin hal konyol ini."

Gita berjalan keluar dari ruangannya, berniat untuk membeli kopi di coffe shop yang berada di lantai dasar perusahaan, namun saat pintu lift terbuka di lantai dasar, lebih tepatnya yang berhadapan langsung dengan lobi, langkah kaki Gita terhenti, ia mengerutkan keningnya, bingung karena para staff yang berada di sana berbaris rapi seraya membungkukkan tubuh mereka seperti hendak memberikan hormat pada seseorang, yang lebih membuat Gita bingung adalah kehadiran para petinggi perusahaan di sana.

Gita berdiam diri seraya menunggu siapa yang akan melewati lobi, karena ia benar-benar penasaran.

"Apa Pak Presiden mau ke sini ya? Tapi kok kenapa pada diam aja sih? Kenapa nggak adain penyambutan yang besar banget kalau orang nomor satu di Indonesia mau datang? Ah, tapi nggak mungkin, pikiran gue terlalu jauh nih," ucap Gita sendiri.

Semua staff memberi hormat ketika seorang laki-laki yang menggunakan setelan jas berwarna navy melangkahkan kakinya melewati para staff tersebut.

Gita terdiam, wajah tampan pria itu membuatnya tidak bisa berkedip sama sekali. Gita tidak bisa membohongi dirinya sendiri, laki-laki itu memiliki wajah yang membuat hatinya terpikat.

"Gita," panggil Pak Seno, HRD Bima Sakti Group.

Terlalu terpesona dengan ketampanan laki-laki itu, membuat Gita tidak tersadar kalau seseorang memanggil namanya.

"Gita," panggil Pak Seno lagi, kali ini nada bicaranya sedikit keras.

Mendengar suara Pak Seno, Gita pun tersentak, ia tersadar dari pandangannya yang tertuju pada laki-laki itu. "I-iya Pak," sahutnya.

"Sini," suruh Pak Seno.

Gita bergegas menghampiri Pak Seno. "Ada apa ya Pak?" tanya Gita ramah, tentunya dengan senyuman yang terlukis di wajah cantiknya setelah berada di hadapan Pak Seno dan juga laki-laki itu.

"Gita, ini Pak Arken, anaknya Pak Bima, beliau ini yang akan menggantikan posisi Pak Bima sebagai pimpinan di Bima Sakti Group," ucap Pak Seno pada Gita.

Kedua mata Gita membulat, mulutnya hampir terbuka sempurna, ia tidak menyangka akan bertemu secepat ini dengan atasan barunya itu.

"Pak Arken, perkenalkan, ini Gita, Sekretaris bapak, dia yang akan membantu bapak untuk melanjutkan pekerjaan Pak Bima. Gita adalah orang cepat, sigap dan tentunya selalu membantu Pak Bima, mangkanya Pak Bima tidak ingin mengganti sekretaris," ucap Pak Seno.

Arken tersenyum miring. "Cepat? Tanggap? Sayangnya dia nggak disiplin," ucapnya dengan nada bicaranya yang terdengar angkuh dan dingin.

Gita menaikkan kedua alisnya, ia tidak mengerti kenapa ia disebut tidak disiplin? Padahal ini adalah kali pertamanya bertemu dengan atasan barunya itu. Tidak hanya Gita yang terlihat bingung, Pak Seno dan juga beberapa orang yang berada di sana pun ikut bingung.

Arken melangkahkan kakinya mendekati Gita, sehingga jarak diantara mereka sangat tipis, sehingga Gita dapat mencium aroma parfum laki-laki itu yang membuat jantungnya berdegup sangat kencang.

"Hal sederhana seperti menggunakan id card selama di kantor saja dia abai, bagaimana untuk melakukan pekerjaan yang lainnya?"

"Saya paling tidak suka dengan orang yang tidak disiplin!" ucap Arken dengan penekanan diakhir kalimatnya, lalu berjalan pergi meninggalkan Gita dan juga beberapa orang yang berada di sana.

Gita menunduk, ia baru tersadar kalau sedari tadi ia tidak menggunakan id card miliknya, bahkan ia tidak ingat membawanya ke kantor.

"Aduh Gita, kamu gimana sih? id card kamu ke mana?" omel Pak Seno.

Gita menyeringai seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Lupa, Pak," jawabnya tak berdosa.

"Gita, kamu ini ada-ada aja sih! Pertemuan pertama kamu udah buruk di mata Pak Arken," omel Pak Seno lagi.

"Maaf Pak," lirih Gita.

Pak Seno bergeleng kepala, lalu berjalan meninggalkan Gita.

Gita mendecak. "Ih! Pertemuan awal aja tuh cowok udah ngeselin! Gimana nanti ke depannya? Dia ganteng sih, tapi bikin naik darah!"

*****

Gita mendatangi meja kerja Sarah, lalu menggebrak meja tersebut sedikit keras, membuat Sarah serta orang-orang yang berada di ruangan tersebut terkejut dan melihat ke arah Gita.

Gita tersenyum seraya menganggukkan kepalanya sebagai permohonan maafnya karena mengganggu ketenangan orang-orang yang berada di sana.

"Gita, lo ngapain sih?" tanya Sarah.

Gita menarik tangan Sarah, mengajak sahabatnya itu untuk keluar dari ruangan tersebut, takut nantinya akan mengganggu orang-orang di ruangan tersebut.

"Ada apa sih, Gita? Tumben banget lo datang tiba-tiba gebrak meja kerja gue?" ucap Sarah ketika sudah berada di luar ruang kerjanya.

"Sumpah demi apapun! Gue kesal banget sama anaknya Pak Bima!" ucap Gita.

Sarah mengerutkan keningnya. "Kesal sama anaknya Pak Bima? Kok bisa? Lo kan belum pernah lihat, kenapa bisa bilang kesal?" Sarah sama sekali belum mengetahui kalau Arken sudah datang ke kantor hari ini, karena Arken sengaja tidak memberitahu senyay staff yang ada di Bima Sakti Group.

"Tadi tuh..." Gita menceritakan pada Sarah mengenai pertemuannya dengan Arken di lobi tadi, ia juga menceritakan pada temannya itu mengenai sikap ketus Arken padanya.

Sarah menghela napasnya berat. "Berarti dia itu disiplin, lagian lo juga sih, kenapa nggak pakai id card?"

"Kok lo malah jadi belain dia sih?" gerutu Gita.

"Lo maunya gue belain lo, gitu? Oh maaf, kali ini gue nggak memihak lo, karena lo salah," ucap Sarah.

Sarah melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ngobrolnya kita lanjut nanti aja ya, soalnya masih ada kerjaan yang harus gue selesaiin, bye bestie!" Sarah langsung berlari masuk ke dalam ruang kerjanya, meninggalkan Gita sendirian di depan.

"Gita," panggil seseorang.

Gita menoleh, melihat ke arah orang yang memanggilnya. "Kenapa, Pak?" tanya Gita pada Pak Seno.

"Pak Arken minta kamu untuk ke ruangannya sekarang," ucap Pak Seno.

Seketika raut wajah Gita terlihat bingung. "Ke ruangan Pak Arken? Ngapain, Pak?"

"Kamu nanya saya? Terus saya nanya siapa?" tanya Pak Seno balik.

Pak Seno langsung menarik tangan Gita, mengajak gadis itu untuk ke ruangan Arken. "Kalau kamu mau tahu, kamu langsung masuk aja, ngomong sama Pak Arken," ucap Pak Seno.

Jantung Gita berdegup kencang ketika sudah berada di depan ruangan atasannya itu, bahkan keringat dingin pun mulai mengalir di seluruh tubuhnya.

"Cepat sana masuk," suruh Pak Seno.

"Saya takut, Pak," lirih Gita.

Pak Seno menepuk-nepuk pundak Gita pelan. "Kamu jangan takut, Pak Arken nggak ngejar kok, sekalipun Pak Arken ngejar, kamu diam aja, kalau bisa malah kamu kerja balik," ucap Pak Seno terkekeh.

Gita yang tidak mengerti maksud dari ucapan Pak Seno hanya bisa menatap laki-laki itu heran.

"Udah sana masuk, jangan ngelihatin saya terus, saya bukan pisang," ucap Pak Seno.

"Iya, iya," sahut Gita.

Gita mengetuk pintu ruangan Arken pelan, lalu membukanya. "Selamat siang, Pak," ucap Gita hati-hati, karena jujur saja, ia cukup merasa takut untuk menghadap laki-laki itu.

Arken tidak mengeluarkan satu patah katapun dari mulutnya, namun ia memberikan isyarat pada Gita untuk mendekat.

"Sudah berapa lama kamu kerja di kantor ini?" tanya Arken dengan nada bicaranya yang terdengar dingin.

"Sekitar lima tahun, Pak," jawab Gita.

Arken melemparkan sebuah map ke arah Gita dengan tidak ramah.

"Baca!"

Gita membuka map tersebut, membaca satu per satu kata yang tertulis di dalamnya.

"Setiap hari kamu harus melakukan apa yang tertulis di kertas itu, nggak boleh ada yang terlewat satupun!" ucap Arken.

"Baik, Pak." Hanya kata itu yang bisa Gita keluarkan dari mulutnya seraya menghela napasnya berat, daripada ia harus kehilangan pekerjaan, lebih baik ia menuruti perintah atasan barunya itu.

"Yaudah sana keluar," usir Yuda.

"Permisi, Pak." Gita langsung memutar tubuhnya dan berjalan keluar dari ruangan Arken. Gita mendecak kesal, lagi-lagi atasannya itu membuat mood-nya berantakan.

Gita kembali melihat map yang kini berada di tangannya, seraya dengan bibirnya maju beberapa sentimeter. "Dilakuin malas, tapi kalau nggak dilakukan nanti malah jadi pengangguran. Aduh, kenapa harus ganti atasannya sih?" keluh Gita sendiri.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel