Bab 9 - Kembalikan Anakku
Melihat mimik muka Martin, Diana semakin meradang. Matanya memancarkan kemarahan mendalam. Berarti benar prasangkanya jika Angelo dan Angela berada di sini. Dengan napas memburu Diana mendekat lalu melayangkan tatapan tajam pada Martin.
"Di mana anakku?!" tanya Diana lagi dengan rahang mengetat kuat.
Martin menyungging senyum sinis lalu mengangkat sebelah alis mata kiri sedikit. "Apa aku tidak salah mendengar? Kau mencari anakmu di sini?"
Netra Diana semakin melebar. Martin telah menyiram bensin di atas bara api. "Tentu saja, kau menculik mereka kan! Cepat jawab di mana mereka sekarang! Kau apakan mereka hah?!"
Tawa keras membahana di ruang tamu itu seketika. Martin tertawa sambil memandang penuh cela. "Apa kau punya bukti kalau aku menculik mereka? Lihatlah tidak ada mereka di sini, 'kan?"
Martin mengedarkan pandangan sesaat. Dia tak mau Diana sampai tahu bila si kembar ada di dalam kamarnya sekarang. Walau wajahnya mirip tapi Martin masih harus memeriksa apakah DNAnya cocok dengan Angelo dan Angela atau tidak. Saat ini, sampel rambut Angelo dan Angela serta dirinya sudah berada di rumah sakit, sedang melalui serangkaian pemeriksaan. Berdasarkan laporan dari Lopez, hasil akan keluar minggu depan.
Diana berdecak. Lalu berteriak memanggil-manggil nama Angelo dan Angela secara bergantian.
"Angelo, Angela, keluarlah Nak, ini Mommy, ayo kita pulang!" teriak Diana.
Tak ada jawaban, Diana tak patah arang sambil berjalan kesana kemari di seluruh ruangan. Namun, sayang tak ada tanda-tanda Angelo dan Angela terlihat. Akan tetapi, Diana tak menyerah, masih tetap bersikukuh, bila buah hatinya ada di mansion Hamilton saat ini.
"Angelo! Angela!" pekik Diana lagi. Lalu pergi ke ruangan yang bisa dia masuki, termasuk kamar bekasnya dulu.
Para asisten rumah tampak terkejut, melihat kedatangan Diana. Memilih bungkam kala mendapat pertanyaan dari Diana.
Sementara Martin duduk perlahan di sofa sudut ruangan lalu menyesap cerutu sambil melihat Diana lalu-lalang di sekitarnya. Martin terlihat bosan saat Diana membuat kegaduhan di mansion saat ini.
Selang beberapa menit, Diana menghentikan gerakan kaki dan berkacak pinggang di hadapan Martin.
"Pasti kau menyembunyikan mereka! Di mana anak-anakku, Martin!" seru Diana.
"Hmm, kalaupun ada mereka di sini, aku tidak akan memperbolehkan kau mengambil mereka."
Martin membuang napas kasar setelahnya. Pada akhirnya malas untuk bersandiwara lagi.
Diana mengeluarkan decihan, Martin telah mempermainkannya barusan.
"Kau tidak memiliki hak, Martin! Mereka anak-anakku! Cepat katakan di mana mereka sekarang!" jerit Diana, menggebu-gebu, sudah tak mampu lagi menahan marah.
Martin beranjak dari sofa, menghampiri Diana kemudian melayangkan tatapan intimidasi. "Aku memiliki hak, karena mereka juga anakku."
Diana tercengang sejenak, lantas mengeluarkan tawa remeh kemudian. Setelah sekian lama, Martin baru mau mengakui buah hatinya itu. Tak seperti dulu yang dengan mudah mengatakan janin yang bersemayam di perutnya bukanlah anaknya.
"Haha, jangan gila, bukannya dulu kau tidak menganggap mereka anakmu!" seru Diana. Pikirannya sudah melanglang buana entah kemana sekarang, memikirkan apa Angelo dan Angela dalam keadaan baik-baik saja atau tidak.
"Itu dulu, maka dari itu sekarang aku sedang menunggu hasil tes DNA mereka keluar," balas Martin dengan raut wajah datar.
Diana mendengus sesaat lalu menatap dingin Martin. "Lihatlah, kau saja belum yakin mereka anakmu atau bukan, jadi anggaplah mereka memang bukan anakmu seperti yang katakan sewaktu dulu!"
Sebuah senyuman cela terbingkai di wajah Martin setelahnya.
"Aku hanya ingin memastikan saja, apakah di tubuh mereka ada mengalir darah Kornelius atau tidak?"
Diana terperangah. Martin masih mengira dirinya pernah tidur bersama Kornelius. "Kau benar-benar laki-laki biadab! Aku membencimu!"
Martin enggan menanggapi, malah berbalik dan duduk kembali di atas sofa kemudian menghisap cerutunya lagi.
Saat tak mendapat jawaban dari Martin, Diana langsung memutar otak, mencoba untuk mencari Angelo dan Angela kembali. Pikirannya langsung tertuju pada suatu tempat, yaitu lantai tiga, tepatnya kamar Martin berada.
Tanpa pikir panjang Diana berlari ke arah lift dan menekan tombol. Namun, sepertinya lift dimatikan.
"Sial!" umpat Diana sambil melirik Martin di ujung sana tengah tersenyum penuh kemenangan.
Martin memilih diam dan asik menghirup cerutu sambil memandang lurus ke depan.
Diana tak menyerah, memutuskan, menaiki tangga yang terletak di tengah-tengah ruangan. Tak berselang lama, Diana telah tiba di lantai tiga. Dengan langkah tergesa-gesa, menyusuri lorong, kamar Martin terletak paling ujung.
Sesampainya di depan pintu, Diana langsung mengedor-edor pintu berganda tersebut. Akan tetapi, ternyata pintu telah dikunci dari luar. Diana mencari-cari kunci namun tak terlihat sama sekali.
Diana kesal setengah mati. "Argh!"
Dalam hitungan detik, seorang asisten rumah melintas di sekitar lorong, siapalagi kalau bukan Ursula yang baru saja mengantarkan makanan untuk Cordelia, di lantai empat, kegiatan yang sering dia lakukan di sore hari, sebelum Cordelia terbangun dari istirahatnya.
Saat mendengar derap langkah kaki mendekat, Diana menoleh kepada wanita yang wajahnya tampak asing baginya.
"Di mana kunci kamar ini?!" pekik Diana nyaring.
Ursula tersentak sesaat, dengan takut-takut membuka suara.
"Maaf, Nona, saya tidak tahu, kamar ini tidak boleh dimasuki kata Mister Martin," imbuh Ursula apa adanya. Dia pun penasaran siapa sosok di hadapannya sekarang.
Diana frustasi, lantas mengacak-acak rambut panjangnya sesaat. Sebuah ide melintas cepat di benaknya, tanpa mau menunda-nunda dia berlari ke ruangan lain, mencari benda tajam untuk membuka pintu. Tak butuh waktu lama, dia berhasil menemukan sebuah kapak di dalam kotak tabung pemadam kebakaran.
Setelah itu, Diana kembali lagi ke kamar Martin. Melihat Ursula masih bergeming di tempat dengan raut wajah penasaran. Diana langsung mengayunkan kapak ke gagang pintu kamar.
Ursula terlihat panik dan ketakutan.
"Nona, apa yang Anda lakukan? Mister Martin akan marah pada Anda nanti?" kata Ursula seketika sambil menutup kedua telinga karena bunyi kapak begitu memekakkan telinganya sekarang.
Diana menghentikan gerakan tangan lalu melirik Ursula, sedikit kesal kala urusannya dicampuri. "Diam kau! Aku tak peduli, aku ke sini ingin mengambil anakku!"
Ursula langsung terdiam. Kini, mulai paham akan perasaan Diana. Meskipun begitu dia tetap saja takut.
Diana kembali mengerakkan kapak berulang kali dan mengabaikan teriakan Ursula. Hingga pada akhirnya pintu berhasil terbuka. Dengan cepat dia melempar kapak ke sembarang arah kemudian mendorong pintu lalu melangkah ke dalam.
"Angelo, Angela!" teriak Diana.
Ursula amat ketakutan lantas bergegas turun ke lantai satu hendak menemui Martin.
Sesampainya di dalam, mata Diana terbelalak, melihat serpihan makanan bertebaran di lantai. Mata beriris abu-abu itu kembali berkeliling dan mendapati Angelo dan Angela sedang tergolek di atas ranjang.
Diana mendekat.
"Astaga, apa mereka makan terlalu banyak?" gumamnya pelan melihat Angelo dan Angela tertidur amat pulas.
Diana tahu betul kedua buah hatinya memiliki kebiasaan aneh, yaitu jika makan terlalu banyak, akan tertidur seperti orang mati. Namun, Diana dapat bernapas lega kala Angelo dan Angela dalam keadaan baik-baik saja. Wajah cemong Angelo dan Angela membuat Diana tanpa sadar tersenyum kecil.
"Kalian membuat Mommy khawatir, Nak ...."
Dengan sekuat Diana mengangkat tubuh Angelo dan Angela.
"Fiuh ...." Diana menarik napas panjang setelah berhasil menggendong Angelo dan Angela di masing-masing tangannya, ternyata tubuh kedua buah hatinya lumayan berat.
Setelah itu, Diana memutuskan turun ke lantai paling bawah, dengan napas terengah-engah dia menuruni anak tangga satu-persatu. Diana tak peduli lagi dengan keringat yang bergulir dari keningnya. Ia ingin segera cepat keluar dari tempat yang pernah mengoreskan luka di hatinya ini.
Tak lama kemudian, Diana telah sampai di lantai dasar, dengan gesit melangkah menuju pintu utama sambil melirik-lirik Angelo dan Angela sesaat, masih tertidur dengan damai.
"Jika kau maju selangkah lagi, aku tidak akan segan menembak kepala anak-anakmu!" seru Martin.
Langkah kaki Diana terhenti tiba-tiba kala mendengar suara Martin dari belakang. Dengan perasaan was-was Diana memutar kepala, melihat Martin menyeringai tajam sambil mengarahkan senjata api berlaras pendek mengarah pada kepala si kembar sekarang.
Diana langsung menegang.
