Bab 8 - Pergi ke Caracas
Dikala Diana dilanda kepanikan dan saat ini mencari kesana kemari buah hatinya bersama Martha dan Pedro. Berbeda dengan Angelo dan Angela yang sedang berada di atas pencakar langit, tepatnya di helikopter, keduanya tengah tertidur dengan sangat pulas dalam pangkuan Martin sekarang. Sedari tadi pria berwajah bengis itu memperhatikan wajah mungil keduanya secara bergantian. Entah apa yang dipikirkan Martin. Namun, mampu membuat Cordelia gundah gulana.
Sedari tadi, Cordelia mencoba mengajak Martin berbicara dan bertanya, mengapa membawa kedua anak itu ke Caracas. Akan tetapi, Martin tak menjawab sama sekali. Cordelia hanya dapat menahan kesal.
'Tidak mungkin dua bocah ini anak Diana, itu tidak mungkin ....' Duduk di depan Martin, Cordelia mengigit ujung kuku-kukunya sambil menatap dingin Angelo dan Angela secara bergantian.
Ursula yang duduk di sampingnya pun memandang Angelo dan Angela dari tadi.
"Mister, kita langsung pergi ke mansion Hamilton?" Di kursi paling depan bersama co-pilot, Lopez membuka suara tiba-tiba. Pasalnya, mansion utama milik Martin belum rampung karena adanya perbaikan di sebagian ruangan, yang disinyalir akan menjadi tempat barang-barang bisnis Martin.
Martin menoleh sekilas lalu kembali menatap Angelo dan Angela. "Iya, kita ke sana saja dulu, ada yang harus aku urus juga."
"Baik, Mister," sahut Martin.
Tak lama kemudian, Martin dan Cordelia telah sampai di kota Caracas. Martin langsung membawa Angelo dan Angela ke kamar pribadinya kemudian memberi perintah kepada semua orang di rumah agar tak masuk ke dalam kamarnya tanpa terkecuali. Setelah itu, tanpa mengajak Cordelia berbicara, Martin pergi entah kemana. Walau sudah menikah, Cordelia dan Martin memang tak sekamar. Kini Cordelia terlihat uring-uringan, ingin mengadu pada Lauren. Namun, mamanya tak terlihat di mansion. Karena sedang menghadiri acara amal di luar. Cordelia memilih beristirahat di dalam kamarnya.
Tepat pukul tiga sore, di dalam kamar Martin terdengar lenguhan keluar dari bibir Angela seketika.
Dengan mata terpejam, tubuh Angela menggeliat sesaat. "Eungh ...."
"Hoaam ...." Gadis kecil itu belum menyadari bila berada di tempat asing. Sambil meraba-raba kasur, ia menguap berulang kali hingga pada akhirnya matanya terbuka pelan-pelan.
Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamar, di atas sana, terdapat lampu emas yang menjuntai ke bawah, begitu indah hingga membuat matanya enggan berkedip.
"Wah, kelen, apa Angela ada sulga sekarang?" gumamnya.
"Surga apanya? Kita ini sedang diculik Angela!"
Angela tersentak saat suara Angelo terdengar dari samping samping. Kepalanya pun berputar sedikit, melihat Angelo duduk di atas kursi mini sambil melipat tangan di dada.
Angelo sudah terbangun sepuluh menit yang lalu.
Angela langsung duduk di atas kasur lalu mengucek-ucek mata mungilnya sejenak. "Haa? Benarkah?"
Angelo berdecak lalu memutar mata malas. "Ck! Dasar pikun, apa kau lupa tadi kita digendong pria asing itu dan kita dibius!"
Angela terperangah, baru menyadari hal itu. Matanya pun celingak-celinguk ke segala arah, memperhatikan ruangan yang terasa asing baginya. "Jadi kita diculik ya Bang?"
Dengkusan kesal berhembus dari hidung mungil Angelo seketika.
"Pakai di tanya segala lagi! Mommy pasti marah sama kita nanti! Aku yakin sekali jika kita saat ini tidak berada di kota Puerto La Cruz melainkan di kota lain, " celetuk Angelo, mulai panik. Namun, dia memilih tak menampakkan perasaannya kepada sang adik.
Bukannya menanggapi perkataan Angelo, Angela malah turun dari ranjang dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Tengah mengagumi pemandangan di dalam kamar Martin, yang menurutnya terlihat megah dan mewah.
Warna hitam menjadi warna utama kamar. Terdapat lukisan-lukisan aneh terpajang di dinding, kebanyakan didominasi lukisan bergaya vintage. Namun, terdapat juga beberapa lukisan binatang seperti harimau dan singa putih. Sementara pintu berganda di depan sana berwarna kuning keemasan. Lalu terlihat pula pedang samurai diletakkan di pengait paling atas. Angela sempat bergedik sejenak tadi.
"Wow, ini kelen, Bang. Jadi seperti ini ya diculik, Angela baru tahu kalau diculik kita dimasukkan ke ruangan ini, tidak sepelti di film-film ya, hihi." Angela memberi komentar tiba-tiba.
Angelo terperangah lantas dengan cepat beranjak dari kursi. "Apa kau sudah gila? Kita ini sedang diculik Angela, kita akan dibunuh atau bisa saja kita dijual?"
Angela mencebik. "Aish, ya, iya Angela tahu, tapi kan selu saja tahu, kalau diculik ternyata sepelti ini, lihatlah di sini kebutuhan kita terpenuhi!"
"Terpenuhi apa maksudmu?! Kita tidak bisa keluar, pintu dikunci dari luar! Makanan dan minuman pun tidak ada!" Angelo semakin melebarkan mata, sebab adiknya tidak takut sama sekali.
Angela melipat tangan di dada lalu menggeleng-geleng pelan. "Dasal Abang, matanya memang benal-benal katalak! Itu lihatlah di sana ada susu dan banyak makanan!"
Angela langsung menunjuk ke sisi kanan, di mana terdapat banyak makanan dan minuman tersaji di atas meja. Tanpa melihat reaksi kembarannya, Angela berlari lincah menuju meja dan langsung menyambar roti croissant berwarna cokelat kemudian menyantapnya seketika.
"Angela, kenapa kau makan?!" Angelo takut dan panik, bila makanan tersebut telah diberi racun. Dia langsung menghampiri Angela.
"Angela lapal Abang, dali tadi siang belum ada makan." Dengan mulut penuh makanan, Angela bersuara.
"Tapi-hm!"
Angelo tak sempat memberi pendapat ketika mulutnya disumpal roti oleh Angela tiba-tiba. Matanya melebar, hendak membuang roti. Namun, karena lapar dia pun mengunyah roti tersebut.
Angela tersenyum. "Tuh enak, 'kan?"
Angelo enggan menanggapi, malah menyantap dengan lahap roti yang tak pernah dia makan sebelumnya. Rasanya sangat enak di lidah dan mengugah selera.
Angela mengambil gelas yang di dalamnya ada susu lalu meneguknya hingga tandas. Kemudian mengedarkan pandangan kembali.
"Kalau Angela punya kamal sebesal ini, Angela mau kamalnya walna pink semua!" seru Angela antusias, membayangkan memiliki kamar impiannya.
"Jangan berkhayal, sudahlah, ayo kita makan ini, kita butuh tenaga untuk kabur dari sini," kata Angelo seketika.
Angela melirik Angelo. "Memangnya Abang punya lencana?"
"Hm, belum terpikirkan, ayo kita makan dulu, habiskan bila perlu!" titah Angelo sambil memberikan Angela dessert cokelat.
Angela mengambil alih dessert itu lalu menyantapnya bersama Angelo. Keduanya makan dengan begitu lahap hingga tak menyadari ada sepasang mata di luar sana memandang ke arah mereka.
Di sisi berbeda, setelah mencari ke sana kemari dan bertanya ke semua orang di sekitar toko. Diana dan Martha memutuskan pergi ke kantor polisi hendak melaporkan anak hilang.
Sang polisi tak langsung membuat laporan, malah memperlihatkan sebuah rekaman CCTV, di mana Angelo dan Angela berlari mengejar Cordelia lalu masuk ke dalam mobil yang ditumpangi Cordelia.
Diana diserang kegelisahan mendadak.
"Astaga, Diana, bagaimana ini! Apa mereka sudah bertemu Martin?" Martha menyampaikan prasangkanya.
Diana semakin resah. Merasa apa yang disampaikan Martha benar. "Martha, sepertinya aku harus pergi ke Caracas, aku yakin sekali Martin membawa si kembar."
"Tapi Diana, apa kau yakin? Bisa saja mereka masih ada di sini?" Martha berharap praduganya salah.
Diana menggeleng cepat. "Tidak Martha, aku ke sana sekarang!" serunya sambil bangkit berdiri.
Martha beranjak dari kursi. "Aku ikut ya."
"Jangan, kau di sini saja, Martha. Kalaupun mereka mereka masih di sini, setidaknya kau bisa menghubungiku nanti."
Martha tampak berpikir sejenak dan mengangguk lemah lalu memberikan beberapa lembaran uang kepada Diana. "Baiklah, ambil ini pakailah pesawat agar lebih cepat sampai. Mintalah Pedro mengantarmu ke bandara."
Dengan terburu-buru Diana mengambil uang dan memeluk Martha. "Iya, terima kasih, doakan semoga mereka tidak kenapa-kenapa."
Martha mengangguk cepat. Lalu Diana melenggang pergi dari kantor polisi, meninggalkan Martha melempar pandangan ke arah polisi yang sejak tadi mendengarkan perbincangan mereka.
Selang beberapa menit, Diana telah sampai di Caracas. Tak mau menunda-nunda waktu, Diana bergegas pergi ke mansion utama Hamilton. Menurutnya, si kembar berada di situ saat ini.
Begitu sampai di depan pintu utama, dengan tangan terkepal erat, Diana berteriak,"Martin, kembalikan anakku!"
Dalam hitungan detik, Martin menyembul dari balik ruangan sambil menyeringai tajam.
