Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10 - Kenapa Kau Ada di Sini!

"Jangan pikir aku hanya mengertakmu, Diana!" 

Tanpa berniat menurunkan senjata api, Martin mencoba menarik pelatuk, yang jika ditarik larasnya tidak akan bersuara. 

Martin mendekat hingga pada akhirnya ujung pistol menempel di kening Diana sekarang. Pria itu menyungging senyum tipis, sangat tipis, hingga mampu membuat Diana meneguk ludahnya berulang kali saat ini. Aura pekat yang menguar dari tubuh Martin membuat Diana merinding tiba-tiba. 

Di mata Diana, Martin bak iblis yang siap menjemput ajalnya. Diana mulai ketakutan, keringat dingin pun menjalar dari pori-pori kulitnya sekarang. Angelo dan Angela masih tertidur dengan pulas, Diana dapat mendengar dengkuran halus masih berhembus dari hidung mungilnya. 

"Bawa kembali mereka ke kamar, Diana. Aku Tuan rumah di sini, kau orang luar yang berusaha masuk ke rumahku," desis Martin, dingin.

Demi keselamatan Angelo dan Angela, Diana terpaksa membawa mereka kembali ke kamar Martin.

Setelah sampai di atas, secara perlahan-lahan Diana merebahkan Angelo dan Angela sambil sesekali melirik Martin, yang membuntutinya dari belakang dan mengarahkan pistol ke arahnya sedari tadi. 

"Sebenarnya apa maumu, kau telah membuang mereka dulu, tapi mengapa sekarang kau malah menganggap mereka anakmu?" Diana memberanikan diri bertanya, setelah melihat Martin menyelipkan senjata api hitam ke belakang celana. 

Martin tak langsung menjawab, malah memberi kode pada Diana untuk berbicara agak jauh dari Angelo dan Angela.

Diana mengerti, sebelum melangkah, melirik sekilas buah hatinya sedang mengubah posisi badan saat ini. Setelah itu, Diana mengikuti langkah kaki Martin.

Di dekat pintu ganda yang terbuka lebar, Diana dan Martin berdiri, saling berhadapan. Cukup jauh dari ranjang yang ditempati Angelo dan Angela. 

"Kau mau tahu, apa alasanku menginginkan anakmu, itu semua karena aku memerlukan pewaris untuk bisnisku kelak," kata Martin tanpa basa-basi. 

Diana terperangah, tidak habis pikir, alasan Martin menginginkan si kembar, hanya untuk memerlukan pewaris bukan karena rasa bersalah sebagai seorang ayah. 

"Pewaris? Kau kan bisa meminta pada Cordelia, istrimu itu! Biarkan aku dan anakku, hidup dengan damai, Martin!" Diana tanpa sadar meninggikan suara. Melupakan Angelo dan Angela, yang masih satu ruangan dengannya. 

Martin melotot tajam lantas maju beberapa langkah. "Masalahnya Cordelia sampai saat ini belum mengandung, Diana. Angelo dan Angela, anakku! Berikan mereka padaku, Diana!" 

"Jangan gila, kau telah membuangnya!" seru Diana hingga Martin mencengkeram kuat dagu dan rambutnya tiba-tiba. 

Martin meradang. Diana telah berhasil membangkitkan sisi kejamnya. 

"Shftt ...." Tangan kekar Martin membuat kepala Diana mendongak sedikit. Sekarang, ia dapat merasakan sebuah tarikan kuat dari belakang kepalanya dan akhirnya rintihan rasa sakit keluar jua dari bibirnya. 

Diana menatap tajam Martin sambil menahan perih kala rambutnya seakan terlepas kepalanya sekarang. 

"Kau membuat kesabaranku habis, Diana. Aku memang pernah membuang mereka, tapi sekarang aku membutuhkan mereka. Apa susahnya kau mengatakan iya."

"Cih, sadarlah kau telah menjilat ludahmu sendiri, Martin."

Diana tak mau Angelo dan Angela tinggal bersama Martin. Dia tetap bersikukuh pada pendiriannya. Dahulu, ia memang membutuhkan Martin untuk bisa membesarkan buah hatinya. Namun, sekarang pikirkan Diana telah berubah. Diana bisa membesarkan Angelo dan Angela seorang diri. Walaupun kehidupan mereka serba terbatas selama ini. 

Sudut bibir Martin terangkat sedikit, seakan menikmati wajah kesakitan Diana. Dia semakin mengeratkan tarikan jari-jemarinya. 

"Aku tidak peduli, Diana. Aku hanya menginginkan pewaris, itu saja, lagipula jika mereka tinggal bersamaku, kebutuhan mereka akan terjamin, kau tidak akan rugi sama sekali."

"Tidak, aku tidak mau mereka tinggal bersamamu, Martin. Aku membencimu! Sangat membencimu .... ahk ...." 

Martin menyeringai tajam ketika berhasil membuat Diana mengeluarkan rintihan lagi. Martin mendekatkan wajahnya, ke wajah Diana hingga pangkal hidung keduanya hampir saja bertemu. 

"Kau pikir aku tidak membencimu, aku juga membencimu, Diana! Semua yang ada pada dirimu, semuanya aku benci!" 

Martin menatap dingin iris mata Diana berwarna abu-abu itu. 

Bagaikan sebilah pedang, tatapan Martin menusuk jantung Diana. Diana ketakutan sekaligus sedih. Pancaran mata Martin menyiratkan kebencian yang mengakar. Entah mengapa hatinya terasa amat perih sekarang. Apakah tak ada secercah cinta dari balik bola mata cokelat itu. Diana memang membenci Martin. Tetapi, hanya di mulut saja. Jujur, Diana tak mengerti, mengapa bisa mencintai pria yang menyakitinya saat ini. 

"Aku pun juga, semua yang ada pada dirimu! Aku benci! Biarkan aku dan anak-anakku! Hidup dengan tenang!" seru Diana, menahan perih. 

Diana mengibarkan bendera peperangan.

Martin mengerang rendah lantas mengeratkan cekalan, hingga empat pasang mata itu saling memandang satu sama lain. Sampai-sampai jarak yang terbentang di antara mereka tak ada lagi. 

Martin dan Diana tak menyadari bila dua bocah dari atas kasur sudah terbangun dan sejak tadi mendengarkan obrolan mereka secara diam-diam. 

Di atas ranjang, dengan keadaan mata tertutup, kelopak mata Angelo dan Angela bergerak-gerak sedikit. 

"Abang, sepeltinya Uncle itu memang benal Daddy kita?" Angela berbisik pelan di telinga Angelo. 

"Hm, entahlah, Angela. Kalau memang iya, mengapa Mommy berbohong sama kita dan mengatakan Daddy sudah meninggal?" Angelo memberi komentar. Sedari tadi benaknya dipenuhi tanda tanya besar. 

Angela terdiam. Mulai heran juga. Mengapa Mommynya berbohong. 

"Pasti Mommy punya alasan, Bang. Eh, tapi tunggu dulu, kalau Uncle itu memang benal Daddy kita, belalti lumah ini, lumah Angela juga. Asik, Angela mau bilang sama Daddy, walna kamalnya walna pink saja nanti."

Sambil memejamkan matanya, Angelo membuang napas kasar, sebab Angela masih sempat-sempatnya berkhayal. 

Angelo enggan menanggapi. Memilih menajamkan pendengarannya saat ini terhadap obrolan di ujung sana. 

Berjarak beberapa meter, Diana dan Martin masih bersitegang. 

Martin menjauhkan wajah, menatap manik Diana sambik menyungging senyum licik. "Kalau kau tidak mau memberikan mereka padaku, aku akan membuat bisnis temanmu hancur, Diana." 

Martin mengancam Diana. Bagaimana pun caranya Angelo dan Angela harus berada di tangannya. Tadi, saat sudah sampai di mansion. Dia meminta pada Lopez mencari informasi tentang Diana. Sedari awal, Martin sudah menduga bila Diana adalah ibu, Angelo dan Angela. Dan benar praduganya, kedua bocah itu memang anak Diana. Lopez juga melaporkan jika Diana memiliki teman bernama Martha, yang saat ini mempunyai toko pakaian di Puerto La Cruz. 

Diana terbelalak. Pikirannya langsung tertuju pada Martha. Orang yang sangat berjasa dalam hidupnya. 

"Jangan ganggu temanku, Martin!" seru Diana. 

Kali ini, Martin tersenyum penuh kemenangan karena telah mengetahui kelemahan Diana. Secara perlahan-lahan melepaskan jeratan lalu mundur beberapa langkah. 

"Maka dari itu, untuk sementara waktu tinggalkan Angelo dan Angela di sini bersamaku, kau tenang saja kehidupan mereka akan terjamin, aku akan memberikan apa yang tidak mereka dapatkan selama ini."

Diana terdiam. Tampak bimbang. Pilihan yang diberikan Martin begitu sulit. Diana menoleh sekilas ke atas ranjang, dari kejauhan dapat melihat Angelo dan Angela masih bergeming di posisi semula. 

"Aku tak punya banyak waktu, putuskan sekarang, Diana." Saat Diana tak langsung merespon, Martin membuka suara lagi. 

Diana ragu-ragu. "Aku ...." 

"Apa yang kau lakukan di sini hah!" 

Diana tersentak saat suara yang tak asing terdengar dari luar pintu. Matanya menoleh ke sumber suara, melihat sosok yang dia benci, berjalan cepat ke arahnya.

Plak!

"Wanita murahan!" 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel