Seorang figuran
…telah menggetarkan jiwanya malam itu.
Dua hari setelah Ghea Giyani menolak tawaran film impian banyak aktris, di sebuah apartemen sederhana yang jauh dari gemerlapnya, Roy terbaring lemah. Wajahnya pucat pasi, peluh dingin membasahi dahinya, dan perutnya bergejolak hebat setiap beberapa menit. Ia baru saja kembali dari kamar mandi untuk yang kesekian kalinya, terhuyung-huyung dan nyaris jatuh ke lantai. Erlan yang sedang menyeduh teh hangat di dapur, menoleh dengan cemas.
"Lo yakin nggak mau ke dokter, Roy?" tanya Erlan, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Ia meletakkan cangkir teh di meja kecil di samping sofa lusuh tempat Roy merebahkan diri.
Roy menggelengkan kepala lemah, matanya terpejam. "Nggak usah, Lan. Cuma masuk angin. Kemarin minum es kopi kebanyakan, terus kehujanan pas balik dari rumah nyokap." Ia mengerang pelan, memegangi perutnya. "Lagian gue udah minum obat warung, pasti besok mendingan."
"Mendingan apanya? Dari semalem lo gitu terus," Erlan mendengus. "Muka lo udah kayak mayat hidup. Nanti malah makin parah, siapa yang repot?"
"Nggak akan, Bro. Udah biasa gue begini," Roy mencoba meyakinkan, namun suaranya parau dan lemah. Ia membuka mata, menatap Erlan dengan pandangan memohon. "Justru ini nih yang bikin gue pusing tujuh keliling."
Erlan mengerutkan kening. "Kenapa lagi?"
"Itu… syuting figuran yang gue ceritain kemarin, yang lumayan gede bayarannya," Roy berujar, menghela napas berat. "Kan besok lusa. Lo tahu kan, itu lumayan buat nambahin duit sewa dan makan kita sebulan ke depan. Gue udah janji sama Pak Budi, koordinatornya."
Erlan mengangguk. Roy memang mendapatkan tawaran untuk menjadi figuran di sebuah film layar lebar. Perannya tidak besar, hanya sebagai salah satu penonton konser musik yang ricuh. Tapi bayarannya cukup menggiurkan, apalagi untuk mereka yang sedang berjuang keras.
"Terus kenapa?" Erlan bertanya, tidak mengerti arah pembicaraan Roy.
"Ya ini, Lan! Gue aja begini, gimana mau syuting besok lusa?" Roy nyaris berteriak, suaranya sedikit meninggi karena frustrasi, lalu kembali merintih kesakitan. "Jangankan syuting, buat berdiri aja rasanya mau ambruk."
"Ya udah, bilang aja nggak bisa. Atau minta ganti jadwal," Erlan menyarankan, sesederhana itu baginya.
Roy menggelengkan kepala dengan cepat, ekspresinya panik. "Nggak bisa, Lan! Ini film besar! Mereka butuh cepet. Kalo gue batalin mendadak, gue bisa di-blacklist, Bro! Nggak cuma gue, tapi lo juga, karena gue yang rekomendasiin lo buat konser amal kemarin."
Erlan terdiam. Di-blacklist? Ia tidak peduli jika itu hanya dirinya sendiri, tapi Roy sudah banyak berkorban untuknya.
"Terus mau gimana?" tanya Erlan, mulai merasakan kegelisahan Roy.
Roy menatap Erlan dengan tatapan yang tiba-tiba berbinar, meskipun wajahnya masih pucat. Sebuah ide gila melintas di benaknya, dan ia tahu hanya Erlan yang bisa membantunya. "Gini aja, Lan. Lo gantiin gue."
Erlan terbelalak. "Apa?! Gantiin lo? Yang bener aja!" Ia nyaris tersedak teh hangatnya. "Lo gila? Gue mana bisa ngapa-ngapain di lokasi syuting? Gue benci tempat kayak gitu!"
“Pasti bisa, Lan! Kenapa nggak bisa?" Roy mencoba bangkit, tapi perutnya kembali bergejolak. Ia mengerang, lalu kembali merebahkan diri. "Dengerin gue, lo cuma jadi figuran. Nggak ada dialog, nggak ada acting yang ribet. Cuma disuruh berdiri di keramaian, pura-pura nonton konser, teriak-teriak sesuai arahan sutradara. Gampang banget!"
"Gampang apanya? Gue nggak suka keramaian," Erlan membantah, suaranya meninggi. "Lo tahu sendiri gue gimana. Gue nggak mau jadi tontonan, Roy. Apalagi di tempat kayak gitu. Penuh orang-orang sok penting, kamera di mana-mana. Gue nggak bisa, nggak mau!"
Roy menghela napas, lalu meraih tangan Erlan yang ada di dekatnya. Tangannya dingin dan bergetar. "Lan, please. Kali ini aja. Gue janji ini yang terakhir. Gue nggak punya pilihan lain, Bro. Kalo gue batalin, kita bener-bener nggak punya duit buat bulan depan. Lo lupa? Bayaran konser amal kemarin aja baru cair separuh."
Erlan menarik tangannya. Perkataan Roy tentang uang itu menusuknya. Ia memang butuh uang. Untuk kebutuhan sehari-hari, untuk membantu Bu Siti, dan terutama, untuk biaya konsultasi dengan pengacara yang ia cari untuk kasus ibunya. Tapi masuk ke dunia itu? Dunia yang penuh kepalsuan, di mana setiap orang memakai topeng? Ia tidak sanggup.
"Kenapa nggak lo minta temen lo yang lain? Kan banyak temen-temen band lo yang lain," Erlan mencoba mengelak.
"Nggak ada yang punya waktu, Lan! Gue udah telepon semua, tapi pada sibuk. Cuma lo yang gue yakin bisa gue andelin," Roy memelas, tatapannya menyiratkan keputusasaan. "Lagian lo kan juga butuh uang, Bro. Ini kesempatan. Lo nggak bakal jadi tontonan kok. Lo cuma salah satu dari puluhan figuran lain. Nggak ada yang bakal merhatiin lo."
Erlan memalingkan muka, pandangannya tertuju pada gitar kesayangannya yang tergeletak di sudut kamar. Gitar yang senarnya baru saja ia pasang kembali, berkat Roy. Gitar yang menjadi saksi bisu amarah dan janjinya.
"Tapi gue… gue nggak nyaman," Erlan bergumam. "Gue nggak bisa pura-pura bisa."
"Lo nggak perlu pura-pura! Lo cuma perlu jadi diri lo sendiri!" Roy bersikeras. "Lo bayangin aja itu panggung konser, dan lo itu penontonnya. Lo cuma perlu ikutin instruksi. Selesai, dapet duit. Simpel, kan?"
Erlan menghela napas panjang. Ia tahu Roy tidak akan menyerah. Dan ia juga tahu, ia tidak bisa membiarkan sahabatnya dalam kesulitan. Sejak dulu, mereka selalu saling menopang. Saat Erlan terpuruk, Roy selalu ada. Sekarang giliran ia yang harus ada untuk Roy.
"Oke oke," Erlan akhirnya menyerah, suaranya rendah dan penuh keberatan. "Tapi cuma kali ini, ya. Jangan pernah lagi gue disuruh masuk ke dunia kayak gitu."
Senyum merekah di wajah pucat Roy. "Deal! Makasih banyak, Bro! Lo emang sahabat terbaik gue!" Ia mencoba menepuk pundak Erlan, tapi tangannya terlalu lemah.
"Ya udah, sekarang lo istirahat. Gue mau masak bubur," kata Erlan, bangkit menuju dapur. "Dan besok lo harus jelasin semua detailnya. Jangan sampai gue salah gerak di sana."
Roy mengangguk lemah, berusaha tersenyum, ada perasaan lega membanjiri dirinya. "Siap, Bos! Pokoknya tenang aja. Gue bakal kasih tahu semua trik figuran kelas kakap."
*
Dua hari berikutnya, Erlan menghabiskan waktunya merawat Roy dan mendengarkan instruksi "figuran kelas kakap" dari sahabatnya itu. Roy, meski masih lemas, dengan semangat menjelaskan seluk-beluk dunia syuting figuran.
"Pokoknya, lo harus datang lebih awal. Jangan telat! Ini film besar, Bro, disiplin itu nomor satu," Roy mulai dengan nada serius, meskipun suaranya masih sedikit serak. "Terus, jangan banyak nanya. Ikutin aja arahan kru. Kalo disuruh diem, ya diem. Kalo disuruh teriak, ya teriak. Nggak usah sok-sokan improvisasi."
Erlan hanya mengangguk, sesekali melontarkan pertanyaan yang menunjukkan betapa ia tidak tahu apa-apa tentang dunia itu. "Emangnya nanti gue disuruh ngapain aja, Roy?"
"Udah gue bilang, jadi penonton konser. Nanti ada adegan konser di kafe, lo cuma perlu ikutin instruksi kayak penonton biasa. Nggak ada acting yang aneh-aneh," Roy menjelaskan, kini menunjukkan ekspresi yang lebih ceria karena ia merasa lebih baik. "Oh ya, jangan sampai lo ketahuan ngambil foto atau video ya. Itu pelanggaran berat. Ponsel lo taruh di tas aja, kalo nggak penting-penting banget jangan dikeluarin."
"Oke, oke," Erlan menghela napas. "Terus, baju gue harus gimana?"
"Pakai aja kaos band lo yang biasa, yang agak lusuh tapi bersih. Sama celana jins, sepatu kets. Pokoknya gaya anak band banget. Mereka pengen suasana yang realistis," Roy memberi instruksi. "Nanti di sana bakal ada wardrobe juga, tapi biasanya buat figuran cuma disuruh pakai baju mereka sendiri, tapi harus sesuai tema."
Erlan merasa semakin tidak nyaman. Ia harus memakai baju favoritnya, baju yang menjadi identitasnya, di tempat yang ia benci? Ini seperti memaksanya memakai topeng yang terbuat dari dirinya sendiri. Tapi demi Roy… ia akan melakukannya.
Malam sebelum syuting, Erlan tidak bisa tidur. Pikirannya melayang, membayangkan keramaian, sorotan lampu, bisikan-bisikan orang. Ia merasa seperti akan kembali ke masa lalu, di mana setiap tatapan terasa seperti pisau yang menusuk. Ia bangkit dari tempat tidurnya, mengambil gitar, dan memetiknya pelan. Sebuah melodi sendu mengalun di kamarnya yang gelap, mencoba menenangkan kegelisahan di hatinya.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Erlan sudah bersiap. Ia mengenakan kaus band metal favoritnya, celana jins belel, dan sepatu kets yang agak usang. Rambut gondrongnya ia ikat asal-asalan, seperti yang biasa ia lakukan. Roy masih terlihat sedikit lemas, tapi ia bersikeras mengantar Erlan sampai ke gerbang lokasi syuting.
"Pokoknya lo harus profesional, ya, Lan. Jangan bikin gue malu," Roy berpesan, meskipun suaranya masih sedikit parau.
"Iya, iya, bawel banget Lo, kayak emak-emak!" Erlan mendengus, mencoba menyembunyikan kegugupannya di balik nada kesal.
Setelah memberikan instruksi terakhir dan memastikan Erlan membawa semua yang dibutuhkan, Roy berpamitan. Erlan melangkah masuk ke area lokasi syuting yang sudah ramai. Gedung tua yang disulap menjadi kafe 'Senja Kala'—nama yang familiar—kini dipenuhi dengan berbagai peralatan syuting. Kamera-kamera besar berdiri di atas tripod, lampu-lampu sorot menyilaukan, kabel-kabel berserakan di lantai, dan puluhan kru berlalu-lalang dengan kesibukan masing-masing.
Suasana di sana benar-benar kacau, namun terorganisir. Ada yang berteriak memberi instruksi, ada yang menata properti, ada yang sibuk dengan tata rias. Erlan merasa seperti masuk ke dalam sarang lebah. Ia mencoba mencari Pak Budi, koordinator figuran yang disebutkan Roy.
"Permisi mas, saya Erlan, figuran. Mau cari Pak Budi," kata Erlan pada seorang kru yang kebetulan lewat di dekatnya.
Kru itu hanya menunjuk ke arah kerumunan figuran yang sedang berkumpul di sudut ruangan. "Tuh… Pak Budi ada di sana, lagi briefing."
Erlan mengangguk, lalu berjalan menuju kerumunan itu. Ia melihat puluhan orang dengan penampilan acak-acakan, seolah memang sengaja dibuat seperti penonton konser. Mereka semua terlihat antusias, sibuk mengobrol dan tertawa. Erlan merasa semakin kecil di tengah keramaian itu. Ia mencoba mencari celah untuk mendekat ke Pak Budi, namun sulit.
Setelah menunggu beberapa saat, Pak Budi selesai memberikan instruksi. Erlan langsung menghampirinya. "Pak Budi, saya Erlan, penggantinya Roy."
Pak Budi, seorang pria paruh baya dengan kumis tebal dan wajah lelah, menatap Erlan dari atas ke bawah. "Oh, jadi kamu yang gantiin Roy? Roy sakit apa?"
"Masuk angin, Pak. Kata dia mendadak banget," jawab Erlan.
"Ya udah, nggak apa-apa. Kamu ikut barisan belakang aja. Nanti ada adegan konser, kamu cuma perlu berdiri di keramaian, ikutin aja kalo ada yang teriak atau tepuk tangan," Pak Budi menjelaskan singkat, lalu kembali sibuk dengan urusannya. "Nanti istirahat baru kamu bisa makan."
Erlan hanya mengangguk. Ia melangkah ke barisan belakang, mencoba menyatu dengan kerumunan. Ada rasa lega karena ia tidak akan terlalu menjadi pusat perhatian. Ia melihat sekeliling, mengamati betapa rumitnya proses pembuatan film ini. Ada layar hijau besar di salah satu sisi, beberapa alat musik di atas panggung buatan, dan di tengah-tengah semua itu, ada beberapa aktor utama yang sedang dirias.
Ia mencoba mencari tahu siapa saja aktor yang terlibat, tapi ia tidak terlalu peduli. Yang penting baginya adalah menyelesaikan tugas ini, mendapatkan uang, dan segera pulang. Ia menghela napas, merasakan aroma cat dan debu yang bercampur di udara.
Adegan pertama dimulai. Sutradara berteriak.. "Action!"
Lampu-lampu sorot menyala lebih terang, musik rock yang keras diputar, dan para figuran mulai berteriak, bertepuk tangan, dan melambaikan tangan sesuai arahan. Erlan mencoba mengikuti, meskipun ia merasa canggung dan konyol. Ia membayangkan ini adalah panggungnya, dan ia adalah bagian dari keramaian yang mendukung band di atas panggung. Tapi tetap saja, rasanya berbeda. Ini semua ‘palsu’.
"Cut!" teriak sutradara. "Oke, bagus! Ulang lagi, kali ini lebih semangat! Figuran di barisan belakang, kalian agak ke depan sedikit!"
Erlan menghela napas. Ia harus bergerak lebih dekat ke panggung. Ia merasa jantungnya berdebar. Semakin dekat ke pusat perhatian, semakin ia merasa tidak nyaman. Ia melangkah maju, mengikuti arus figuran lainnya.
Saat ia semakin dekat, ia mulai bisa melihat lebih jelas para pemeran utama yang sedang bersiap di panggung. Ada seorang pria yang terlihat familiar, rambutnya klimis dan pakaiannya mahal. Erlan mengerutkan kening, merasa pernah melihat pria itu di majalah atau televisi. Tapi ia tidak mengingat namanya.
Lalu, matanya beralih pada sosok wanita di samping pria itu. Wanita itu mengenakan gaun malam yang berkilauan, rambutnya diikat rapi, dan wajahnya dipulas make-up sempurna. Ia terlihat begitu anggun, begitu… ‘mewah’. Namun, ada sesuatu yang membuat Erlan merasa familiar. Bukan gaunnya, bukan rambutnya, tapi… aura yang terpancar dari wanita itu. Aura yang memancarkan kekuatan, namun juga menyimpan kerapuhan.
Wanita itu tersenyum ke arah kamera, senyum yang terlihat profesional dan sempurna, namun entah mengapa, Erlan merasa ada sesuatu yang janggal di balik senyum itu. Ia terus menatap, mencoba mengingat di mana ia pernah melihatnya. Tubuhnya membeku, otaknya bekerja keras. Lalu, wanita itu sedikit menoleh ke samping, dan untuk sepersekian detik, pandangannya menyapu kerumunan figuran. Meskipun tatapannya kosong, tak menentu, namun bagi Erlan, seolah ada percikan memori yang menyambar.
Dan saat itu juga, sebuah kesadaran menghantamnya seperti palu godam. Gaun hitam sederhana membalut tubuh rampingnya… Rambutnya diikat rapi… Deskripsi itu, detail itu, tiba-tiba muncul dari relung ingatannya. Ia ingat mata itu. Mata yang penuh kejutan, yang membalas tatapannya di malam konser amal. Mata yang mencerminkan jiwanya, melihat menembus semua topeng.
Wanita itu… wanita yang sedang berdiri di atas panggung, tersenyum palsu di tengah gemerlap lampu syuting, adalah pemeran utama film ini. Wanita yang, untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, membuatnya merasa jiwanya disentuh. Wanita yang bernama Ghea Giyani… dan kini, ia berdiri hanya beberapa meter, seolah tak pernah ada apa-apa di antara mereka, tak pernah ada koneksi tak terucapkan yang terjalin malam itu, tak pernah ada. Erlan merasa jantungnya berdetak kencang, darahnya berdesir dingin, bukan karena takut, melainkan karena…
