Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Ghea Giyani

… untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa jiwanya disentuh. Bukan oleh sorotan lampu atau tepuk tangan riuh yang selalu mengiringi setiap penampilannya di layar lebar, melainkan oleh sebuah melodi yang mentah, sebuah jeritan dari hati yang terluka. Sensasi itu, seperti percikan api di tengah ladang es, membuatnya merasa… hidup.

Pagi itu, di apartemen mewah yang membentang di lantai tertinggi salah satu gedung pencakar langit Jakarta, Ghea terbangun dengan perasaan yang aneh. Bukan lelah seperti biasanya, bukan juga hampa. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang terus berputar di benaknya seperti kaset rusak—melodi kasar dan suara serak Erlan. Ia membuka mata, menatap langit-langit kamar yang dihiasi lampu kristal mahal. Kamar ini adalah miniatur istana. Furnitur impor, gorden sutra yang tebal, lukisan-lukisan abstrak jutaan rupiah terhias di dinding. Semuanya berteriak kemewahan, namun terasa begitu dingin, begitu hambar.

Ia menarik selimut sutranya, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kelembutan kasur ukuran king size yang empuk. Tapi, kenyamanan itu tak sanggup mengusir bayangan pemuda berkaos usang dengan gitar berdarah itu dari benaknya. Siapa dia? Nama Erlan terngiang, terucap dari bibir panitia yang terburu-buru. Erlan. Hanya nama itu yang ia tahu.

Pukul enam pagi. Alarm ponselnya berbunyi, nada dering ceria yang terasa ironis. Ghea menghela napas. Jadwalnya hari ini sudah menanti, tersusun rapi seperti daftar belanjaan, tanpa celah sedikit pun untuk dirinya sendiri. Pemotretan majalah fashion, rapat dengan produser film baru, lalu latihan koreografi untuk iklan produk kecantikan. Ayahnya, seorang taipan media yang sangat ambisius, telah merancang setiap detiknya dengan presisi bak seorang jenderal perang. Ia adalah produk sempurna dari ambisi ayahnya, seorang aktris papan atas yang hidup dalam 'kandang berlian'. Segala kemewahan ini adalah belenggu yang tak terlihat, namun terasa mencekik.

Ketukan lembut di pintu membuyarkan lamunannya. “Nona Ghea, sarapan sudah siap.” Suara Rika, manajer sekaligus asisten pribadinya, terdengar dari luar. Rika adalah perpanjangan tangan ayahnya, wanita berusia tiga puluhan yang selalu rapi, efisien, dan tanpa emosi.

Ghea bangkit, melangkah ke kamar mandi berlantai marmer. Air hangat dari shower membasahi tubuhnya, namun tak mampu melunturkan perasaan aneh yang terus bersemayam di dadanya. Ia memejamkan mata, membiarkan uap panas memenuhi rongga dadanya. Lagi-lagi, wajah Erlan muncul. Mata merah, penuh amarah, namun juga ada kejujuran yang menusuk. Ia belum pernah melihat kejujuran seperti itu di mata siapa pun di dunianya.

Setelah berpakaian dengan outfit yang sudah dipilihkan Rika—rok pensil dan blus sutra yang elegan—Ghea duduk di meja makan. Sepiring omelet truffle dan segelas jus buah segar terhidang di depannya. Rika berdiri di sampingnya, memeriksa jadwal di tabletnya.

“Nona Ghea, setelah sarapan kita langsung ke studio foto, ya. Pak Ardi produser film ‘Bayangan Jakarta’ sudah menunggu. Dia sangat antusias dengan proyek ini.”

Ghea hanya mengangguk, mengaduk omelet-nya tanpa selera. “Rika,” panggil Ghea, suaranya pelan, hampir berbisik.

Rika mengangkat kepala, tatapannya tajam. “Ya, Nona?”

“Konser amal kemarin… siapa nama pemuda yang bernyanyi terakhir itu?” Ghea mencoba terdengar santai, seolah hanya pertanyaan iseng.

Rika mengerutkan kening, mencoba mengingat. “Pemuda yang suaranya… agak aneh itu, Nona? Yang teriak-teriak?” Nada suaranya sedikit menghina. “Oh, Erlan, namanya Erlan, kalau tidak salah. Menggantikan bassist band temannya yang sakit mendadak. Kenapa, Nona?”

“Tidak apa-apa,” Ghea berbohong. “Hanya… suaranya lumayan unik.”

Rika mengangguk, kembali fokus pada tabletnya. “Ya, unik. Tapi tidak komersial. Musik seperti itu tidak akan laku di pasar kita, Nona. Ayah Nona juga tidak akan suka. Kita punya standar.”

Ghea menelan ludah. ‘Tidak komersial’. ‘Tidak akan laku’. ‘Ayah Nona tidak akan suka’. Tiga kalimat itu adalah mantra yang selalu menghantuinya, batasan yang tak pernah bisa ia langgar. Ia sudah terbiasa. Sejak kecil, ia diajari bahwa segala sesuatu harus memiliki nilai jual, harus ‘laku’, dan yang terpenting, harus ‘disukai’ ayahnya. Termasuk dirinya.

Seharian itu, Ghea seperti robot yang diprogram. Tersenyum di depan kamera, mengangguk di rapat, dan mengikuti arahan koreografer dengan gerakan mekanis. Namun, di balik senyum palsu dan tatapan kosongnya, pikirannya terus melayang pada Erlan. Ia mencoba mencari akun media sosialnya. Hanya ada beberapa akun fanpage lama yang usang, penuh foto-foto Erlan dengan rambut yang lebih pendek, tersenyum di sebuah panggung kafe kecil, bermain dengan teman-temannya. Tidak ada yang baru. Tidak ada yang mencerminkan amarah yang ia lihat malam itu. Seolah pemuda itu telah lenyap ditelan bumi.

“Nona Ghea, ini kontrak film ‘Bayangan Jakarta’,” Rika meletakkan sebuah map tebal di meja kopi, di samping Ghea yang sedang membaca naskah iklan. “Peran utama, Nona. Karakternya sangat menantang, seorang wanita karier yang berjuang di tengah intrik politik. Sutradaranya juga pemenang penghargaan. Ini akan jadi loncatan besar untuk Oscar.”

Ghea mengambil map itu, membalik-balik halaman. Wajahnya datar. “Jadwalnya bagaimana?”

“Sangat padat, Nona. Syuting di luar kota selama tiga bulan, lalu promosi. Ayah Nona sudah setuju. Beliau bilang ini proyek yang sangat potensial.” Rika tersenyum tipis, senyum yang jarang ia tunjukkan. Ini adalah proyek besar, dan Rika tahu, kesuksesan Ghea adalah kesuksesannya juga.

Ghea menghela napas. Tiga bulan. Tiga bulan di luar kota. Itu berarti ia akan semakin jauh dari kemungkinan untuk… ia tidak tahu apa yang ia cari. Mungkin hanya sebuah penjelasan. Penjelasan kenapa suara Erlan bisa menggetarkan jiwanya seperti itu. Penjelasan kenapa tatapan mata pemuda itu terasa begitu nyata, begitu jujur, di tengah semua kepalsuan yang melingkupinya.

“Aku… aku tidak yakin,” kata Ghea pelan, suaranya nyaris tak terdengar.

Rika terbelalak. “Tidak yakin? Nona, ini proyek impian semua aktris! Ayah Nona bahkan sudah menghubungi produser langsung untuk memastikan Nona yang mendapatkan peran ini!”

“Aku tahu,” Ghea memotong, tatapannya kini serius. “Tapi aku… aku tidak merasakan apa-apa. Tidak ada gairah.”

“Gairah?” Rika tertawa kecil, seperti mendengar lelucon. “Nona Ghea, kita bicara tentang karier. Tentang Oscar. Gairah itu bonus. Profesionalisme yang utama.”

Ghea memejamkan mata. Profesionalisme. Kata itu telah menjadi mantra hidupnya, belenggu yang mengikatnya. Ia harus selalu profesional, selalu sempurna, selalu ‘ON’. Tapi di balik semua itu, ia merasa kosong. Ia adalah boneka cantik yang dihidupkan oleh benang-benang tak kasat mata yang ditarik oleh ayahnya.

“Aku tidak bisa, Rika,” Ghea akhirnya berujar, suaranya lebih tegas. Ia mendorong map itu menjauh.

Rika menatap Ghea, wajahnya memucat. “Nona Ghea, apa yang Nona katakan? Ayah Nona akan sangat marah! Ini bisa merusak reputasi Nona, merusak hubungan kita dengan produser besar!”

“Biarkan saja,” Ghea mendesah. “Aku butuh istirahat. Aku butuh… sesuatu yang lain.”

Rika menggelengkan kepala, panik. “Sesuatu yang lain? Apa yang Nona inginkan? Liburan? Akan saya atur. Tapi jangan proyek ini. Jangan hancurkan semua yang sudah kita bangun!”

“Bukan liburan,” Ghea bergumam, matanya menerawang. Ia melihat ke luar jendela, ke arah kota Jakarta yang dipenuhi gedung-gedung tinggi. Di salah satu sudut kota besar itu, di sebuah kafe kecil, ada seorang pemuda yang berani berteriak di atas panggung, menumpahkan segala amarah dan kesedihannya tanpa peduli pada ‘profesionalisme’ atau ‘komersial’. Ia membandingkan dirinya dengan Erlan. Erlan yang bebas dengan amarahnya, sementara dirinya… dirinya terperangkap dalam sangkar berlian ini.

“Aku hanya… tidak tertarik pada siapapun di dunia hiburan ini lagi, Rika. Rasanya hampa. Aku butuh sesuatu yang nyata,” Ghea berbisik, membiarkan pikirannya kembali pada malam itu, pada mata Erlan yang menatapnya menembus semua topengnya. Ia ingin tahu lebih banyak tentang pemuda itu. Ia ingin tahu apa yang membuat suaranya begitu pecah, begitu jujur. Ia ingin tahu kenapa ia bisa merasakan koneksi yang begitu kuat dengan ‘orang asing’ itu.

Rika menatapnya dengan tatapan tak percaya, seolah Ghea baru saja mengucapkan kalimat paling gila yang pernah ia dengar. “Nona Ghea, Nona sudah tahu risiko ini. Nona tidak bisa menolak proyek sebesar ini hanya karena alasan ‘tidak tertarik’!”

“Aku bisa,” Ghea menegaskan, kini dengan tatapan yang lebih dingin, lebih bertekad. Untuk pertama kalinya, Rika melihat kilatan di mata Ghea yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Kilatan yang mengingatkannya pada Ayah Ghea. “Sampaikan pada Pak Ardi, aku tidak bisa mengambil proyek ini. Aku… aku akan mencari tahu sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih… jujur.”

Ghea bangkit dari duduknya, berjalan menuju jendela, menatap ke arah cakrawala. Ia merasa seperti baru saja melepaskan satu keping belenggu, sekecil apapun itu. Namun, ia tahu, keputusannya ini akan membawa badai. Badai dari ayahnya, badai dari media. Tapi untuk sesaat, ia tidak peduli. Pikirannya kembali pada Erlan. Pada janji yang tak terucap. Pada amarah yang mentah. Dan pada sebuah perasaan yang asing namun begitu kuat, yang kini mengikatnya lebih erat dari semua kemewahan yang ia miliki. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi ia tahu satu hal: ia harus mencari tahu lebih banyak tentang pemuda itu, pemuda yang telah menumpahkan seluruh isi hatinya di atas panggung. Pemuda yang…

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel