Pertemuan tak terduga
…melainkan karena sebuah kejutan yang tak terduga, dan pertanyaan yang mengusik: mengapa wanita ini, yang terpancar aura kejujuran dari panggung, kini terlihat begitu hampa di tengah gemerlap kepalsuan ini?
Erlan merasa seolah waktu berhenti berputar. Puluhan kru film, lampu-lampu sorot yang menyilaukan, suara teriakan sutradara—semuanya memudar menjadi desiran samar di latar belakang. Hanya ada Ghea Giyani, berdiri di atas panggung buatan, tersenyum ke arah kamera dengan tatapan kosong yang sama sekali tidak mencapai matanya. Senyum itu sempurna, hasil latihan bertahun-tahun di depan cermin, namun bagi Erlan, itu adalah topeng paling transparan yang pernah ia lihat. Wanita yang malam itu bisa berteriak dengan jiwanya di atas panggung kecil, kini adalah patung berlian yang dingin, bergerak sesuai perintah.
Ia mengamati setiap gerak-gerik Ghea. Bagaimana bahunya sedikit terangkat saat seorang kru membetulkan posisi rambutnya, bagaimana tatapannya sesekali menyapu keramaian figuran tanpa benar-benar melihat siapa pun. Erlan merasakan gelombang kemarahan yang familiar. Kemarahan pada dunia ini, dunia yang mengurung Ghea dalam sangkar emas, memaksanya memakai topeng yang justru merampas jiwanya. Ia tidak tahu mengapa ia merasa begitu terganggu, mengapa ia merasa begitu prihatin pada wanita yang bahkan tidak ia kenal secara pribadi itu. Mungkin karena ia melihat refleksi dirinya sendiri dalam tatapan kosong Ghea, bayangan masa lalu yang juga terperangkap dan dipaksa untuk berpura-pura.
“Oke, ready! And… action!” teriak sutradara dengan suara serak, memecah keheningan yang tegang.
Musik rock yang menggelegar kembali diputar. Lampu sorot berkedip-kedip, menciptakan efek konser yang ingar-bingar. Para figuran di sekitar Erlan mulai berteriak, melompat-lompat, dan mengangkat tangan ke udara. Erlan, dengan setengah hati, mencoba mengikuti. Ia melambaikan tangan, mencoba membaur, namun matanya tetap terpaku pada Ghea.
Ghea, di atas panggung, mulai menyanyi lipsync mengikuti lagu yang diputar, tangannya bergerak anggun seolah sedang memegang mikrofon. Senyumnya tetap sama, kaku dan sempurna. Erlan merasa mual. Ini semua palsu. Tidak ada emosi. Tidak ada kejujuran. Hanya sebuah pertunjukan yang telah diatur sedemikian rupa untuk menyenangkan mata.
Tiba-tiba, mata Ghea seolah menangkap sesuatu di antara kerumunan. Pandangannya, yang tadinya kosong, kini sedikit berhenti di barisan belakang, tepat di mana Erlan berdiri. Hanya sepersekian detik, namun Erlan merasa tatapan itu menusuknya. Seolah Ghea melihat menembus topeng figuran yang Erlan kenakan, melihat aura amarah dan kejujuran yang tidak bisa ia sembunyikan. Ada sedikit kerutan di dahi Ghea, seperti ia sedang mencoba mengingat sesuatu. Lalu, tatapan itu kembali kosong, melanjutkan perannya.
“Cut! Cut!” teriak sutradara lagi. “Oke, istirahat dulu lima belas menit! Kru, cek audio! Figuran, jangan terlalu lemas! Kalian penonton konser, bukan penonton ceramah!”
Suara cut itu disambut helaan napas lega dari para figuran dan kru. Musik dimatikan, lampu sorot meredup. Kebisingan yang terorganisir berubah menjadi gumaman dan bisikan obrolan. Erlan segera mundur sedikit, mencoba menjauh dari panggung, mencari sudut paling sepi untuk menyendiri. Ia mengeluarkan botol air mineral dari tasnya dan meneguknya cepat. Ia merasa lelah, bukan karena fisik, melainkan karena energi yang ia habiskan untuk menahan diri agar tidak meledak di tengah semua kepalsuan ini.
Ia bersandar di dinding, memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan Ghea yang tersenyum hampa dari benaknya. Apa yang sebenarnya ia lakukan di sini? Ia membenci tempat ini, membenci semua gemerlap yang terasa begitu kosong.
Beberapa menit berlalu. Erlan masih dengan mata terpejam, ketika ia merasakan bayangan seseorang menutupi cahaya di depannya. Ia membuka mata, dan jantungnya serasa berhenti berdetak. Ghea Giyani berdiri hanya beberapa langkah di depannya.
Wanita itu kini tidak lagi tersenyum. Raut wajahnya terlihat lelah, namun ada kilatan penasaran yang kuat di matanya. Ia tidak memakai gaun panggungnya lagi, melainkan hanya blus sutra sederhana dan celana panjang yang elegan. Rambutnya masih terikat rapi. Ia terlihat… sedikit lebih manusiawi, meskipun masih memancarkan aura kemewahan yang tidak bisa disembunyikan.
“Hai,” Ghea menyapa, suaranya pelan, hampir berbisik, seolah tidak ingin menarik perhatian siapa pun. Ia mendekat, tangannya memegang botol air mineral yang sama dengan milik Erlan. “Boleh aku duduk di sini sebentar?” Ia menunjuk ke lantai di samping Erlan, yang sebenarnya kotor dan berdebu.
Erlan terkejut, tidak menyangka, Ghea Giyani, sang pemeran utama, akan menghampirinya. Ia hanya mengangguk kaku, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Lidahnya terasa kelu. Ghea tersenyum tipis, senyum yang kali ini terasa lebih tulus, lalu duduk bersila di lantai, tidak peduli dengan gaun mahalnya yang kini mungkin akan kotor.
“Panas juga ya di sini,” kata Ghea, mengipasi wajahnya dengan telapak tangan. “Aku nggak nyangka bakal seramai ini untuk adegan figuran.”
Erlan hanya mendengus, “Ini kan memang dunia lo.”
Ghea menoleh, menatap Erlan dengan ekspresi terkejut. “Dunia aku? Kamu tahu aku?”
Erlan menatapnya balik, matanya yang merah dan lelah bertemu dengan mata Ghea yang kini penuh tanya. “Semua orang tahu lo, Ghea Giyani. Bintang film, aktris papan atas. Siapa yang nggak tahu?” Nada suaranya sedikit sinis, namun Ghea tidak tersinggung.
“Oh, iya, tentu saja,” Ghea tersenyum masam. “Aku lupa. Kadang aku berharap tidak ada yang tahu.” Ia menghela napas, lalu menatap Erlan lagi, kali ini dengan tatapan yang lebih intens. “Tapi kamu… kamu siapa?”
Erlan mengerutkan kening. “Gue Erlan. Figuran pengganti Roy.”
“Erlan…” Ghea mengulang nama itu pelan, seolah sedang mencicipi rasanya di lidah. “Aku tahu nama itu. Kamu yang nyanyi di kafe ‘Senja Kala’ beberapa hari lalu, kan? Suara kamu... asik. Enak di dengernya.”
Erlan merasa terkejut untuk kedua kalinya. Ia tidak menyangka Ghea akan mengingatnya, apalagi suaranya. “Lo… lo denger?”
Ghea mengangguk. “Aku denger. Bahkan aku masih ingat.” Ia menunduk, memainkan tutup botol air mineralnya. “Suara kamu… berbeda. Ada sesuatu di dalamnya yang… jujur. Dan amarahnya, terasa nyata.”
Erlan terdiam. Pujian itu, datang dari Ghea, terasa begitu aneh. Ia terbiasa dengan cibiran atau keheningan. Bukan pujian tulus seperti ini.
“Aku nggak tahu kenapa,” Ghea melanjutkan, suaranya kini semakin pelan, seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. “Tapi saat itu, aku merasa… seperti ada yang menusuk jiwaku. Seperti kamu sedang menyanyikan semua yang aku rasakan.”
Erlan menatapnya lekat-lekat. Ia melihat ada kesedihan yang dalam di mata Ghea, di balik semua kemewahan yang melingkupinya. Sebuah kesedihan yang ia kenal betul.
“Kenapa lo ada di sana?” tanya Erlan, suaranya lebih lembut dari yang ia kira. “Maksud gue, kenapa lo dengerin konser murahan kayak gitu? Lo kan bintang besar.”
Ghea tertawa kecil, tawa yang terdengar hampa. “Aku hanya menemani asistenku yang jadi panitia. Sekadar formalitas. Tapi malam itu… malam itu bukan formalitas. Musikmu… itu nyata. Berbeda dengan semua ini.” Ghea mengedikkan dagunya ke arah set syuting yang ramai. “Semua ini… palsu. Aku merasa seperti boneka.””
Ada jeda hening di antara mereka, dipenuhi oleh kebisingan set syuting yang sesekali diselingi tawa dan obrolan kru. Erlan merasakan koneksi yang aneh, yang tidak bisa ia jelaskan. Seorang aktris papan atas, duduk di lantai kotor di samping seorang figuran, dan berbicara tentang perasaan hampa. Itu sungguh di luar dugaan.
“Kenapa lo menolak proyek film yang bagus itu?” Erlan bertanya tiba-tiba, tanpa berpikir. Ia ingat perkataan Roy tentang Ghea yang menolak tawaran film besar.
Ghea terkesiap, matanya membelalak. “Bagaimana kamu bisa tahu soal itu?”
Erlan mengangkat bahu. “Berita ada di mana-mana. Lo kan terkenal.”
Ghea memalingkan wajah, senyum tipis, pahit. “Aku hanya… tidak menemukan gairah lagi. Tidak ada yang terasa nyata. Aku lelah dengan semua kepalsuan ini.” Ia kembali menatap Erlan, matanya berbinar. “Sampai aku dengar suaramu malam itu. Aku tahu kedengarannya konyol, tapi… aku merasa ingin tahu lebih banyak tentang suara itu. Tentang amarah itu. Itu terasa sangat… jujur.”
Erlan merasakan detak jantungnya berpacu. Kejujuran. Kata itu begitu langka di dunianya, dan kini ia mendengarnya dari mulut seorang ‘selebriti’.
“Kamu… kenapa kamu di sini?” Ghea bertanya balik, kini dengan nada yang lebih serius. “Kamu kelihatannya nggak cocok di tempat seperti ini.”
Erlan menghela napas. “Gue kebetulan aja lagi gantiin temen gue. Dia sakit. Dan lo bener. Gue emang nggak suka keramaian kayak gini.”
“Aku tahu,” Ghea berbisik. “Aku bisa melihatnya. Matamu… matamu terlalu jujur untuk tempat ini.”
Tiba-tiba, suara Rika, manajer Ghea, terdengar dari kejauhan. “Nona Ghea! Kita harus kembali ke ruang makeup! Sutradara sedang bersiap untuk mulai syuting sebentar lagi!”
Ghea tersentak, seperti terbangun dari lamunan. Ekspresinya kembali datar, topeng profesionalnya kembali terpasang. Ia bangkit berdiri, membersihkan sedikit debu dari celananya. Erlan juga ikut bangkit.
“Aku harus pergi,” kata Ghea, suaranya kembali formal, namun tatapannya pada Erlan masih menyimpan sesuatu yang lain. “Senang bertemu denganmu, Erlan.”
Erlan hanya mengangguk, masih terkejut dengan interaksi singkat itu. Ia menatap Ghea yang berbalik, melangkah pergi. Namun, ketika Ghea berjalan melewatinya, tangannya tiba-tiba menyentuh lengan Erlan, dengan gerakan yang sangat cepat dan nyaris tak terlihat. Sebuah sentuhan yang lembut, namun meninggalkan sesuatu. Erlan merasakan sesuatu menyelinap ke dalam saku jaketnya.
Ghea tidak menoleh. Ia terus berjalan menuju Rika yang sudah menunggu dengan wajah cemberut. Erlan merasakan jantungnya berdebar kencang. Dengan cepat, ia merogoh saku jaketnya. Jemarinya menyentuh secarik kertas kecil yang terlipat rapi. Ia menariknya keluar, membuka lipatannya.
Di atas kertas itu, dengan tulisan tangan yang indah dan rapi, hanya ada deretan angka. Sebuah nomor telepon. Dan di bawahnya, sebuah inisial: G.
Erlan mengangkat kepalanya, mencari Ghea. Wanita itu kini sudah berada di depan Rika, berbicara dengan manajernya. Namun, sebelum ia menghilang di balik kerumunan kru, Ghea menoleh sedikit ke belakang. Matanya yang indah menatap Erlan, tatapan yang kini bukan lagi kosong, melainkan penuh arti, penuh harapan, dan sebuah… ‘ajakan’.
Seolah berkata, ini ada di tanganmu sekarang. Erlan merasakan tangannya sedikit gemetar, memegang erat kertas itu, dan di tengah semua kekacauan dan kepalsuan ini, ia merasakan sebuah janji yang tak terucap, sebuah kemungkinan yang menggoda, sebuah koneksi yang…
