Raungan dalam nada
Pertanyaan itu menggantung, menggerogoti setiap sudut hatinya, bahkan setelah punggung Roy menghilang di balik pintu. Erlan hanya duduk terpaku, gitar di pangkuannya terasa berat, bukan lagi karena bebannya, melainkan karena janji yang kini terukir di setiap senar barunya. Langit di luar sudah benar-benar gelap, hanya menyisakan semburat jingga tipis di ufuk barat, seperti memar di kulit senja. Malam amal. Kafe 'Senja Kala'. Jam delapan. Janji itu terngiang-ngiang, menuntut untuk dipenuhi.
Erlan menghela napas, merasakan aroma teh hangat yang ditinggalkan Bu Siti, namun kehangatan itu tak sampai ke relung jiwanya yang dingin. Ia bangkit, melangkah gontai menuju kamar mandi, mencuci wajahnya yang sembap, berusaha menghapus jejak air mata dan kemarahan yang baru saja ia luapkan. Ia melihat bayangannya di cermin—mata merah, rambut acak-acakan, kulit pucat—sosok asing yang ia benci.
“Lo harus kuat,” gumamnya pada pantulan dirinya sendiri, suara parau. “Buat Ibu. Buat Roy. Buat diri lo sendiri.”
*
Malam itu, kafe 'Senja Kala' tampak lebih padat dari biasanya. Lampu-lampu temaram dihiasi lentera kertas, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan dinginnya hati Erlan. Bau kopi bercampur asap rokok dan parfum murah mengisi udara, berpadu dengan bisik-bisik obrolan dan tawa renyah.
Erlan melangkah masuk, mengekori Roy yang berjalan di depannya dengan langkah tegap, seolah ia adalah raja panggung itu sendiri. Di punggungnya, gitar akustik pemberian ayahnya terasa seperti beban sekaligus perisai. Setiap pasang mata yang ia lewati terasa menusuk, menghakimi, seolah mereka tahu siapa 'Erlan yang sebenarnya'. Ia menunduk, pandangannya terpaku pada ubin yang kusam, berharap bisa menembus bumi dan menghilang.
“Woy, Lan! Jangan kayak tikus takut kucing begitu!” Roy menepuk pundaknya keras, membuat Erlan tersentak. “Santai aja, Bro. Ini cuma kafe, bukan Istana Negara. Lagian, siapa juga yang peduli sama kita? Mereka cuma peduli sama kopi dan cewek cantik.”
Erlan memaksa diri untuk tersenyum, tapi yang keluar hanyalah ringisan. “Lo emang gampang ngomong begitu, Roy. Lo nggak ngerasain apa yang gue rasain.”
Roy menghela napas, ekspresinya berubah serius. “Gue mungkin nggak ngerasain persis kayak lo, Lan. Tapi gue tahu lo menderita. Dan gue di sini buat lo. Kita udah janji, inget? Lo nggak sendirian.” Ia mengulurkan botol air mineral dingin. “Minum dulu, biar tenggorokan nggak kering kayak knalpot bocor.”
Mereka berjalan menuju area backstage kecil yang disekat tirai beludru merah yang sudah usang. Di sana, beberapa musisi lain sedang menyetem gitar atau melakukan pemanasan vokal. Suara-suara sumbang dari berbagai genre bercampur aduk, menciptakan simfoni kekacauan yang membuat Erlan semakin pening. Ia melihat jadwal penampilan yang ditempel di dinding. Namanya tercetak jelas: 'Erlan (menggantikan Roy)'. Jantungnya berdebar, bukan karena semangat, tapi karena ketakutan.
“Gue… gue nggak tahu gue bisa apa, Roy,” bisik Erlan, pandangannya terpaku pada gitarnya. “Gue udah lama nggak main di depan orang banyak. Udah lama banget.”
“Lo bisa, Lan,” Roy meyakinkan, menepuk punggungnya lagi. “Lo itu Erlan. Vokalis paling gila yang pernah gue kenal. Lirik lo itu nusuk, suara lo itu candu. Cuma lo yang bisa bikin orang merinding dengerin jeritan lo.”
Erlan hanya mengangguk pelan, mencoba menyerap kata-kata Roy. Ia merindukan masa-masa itu, masa di mana musik adalah segalanya, di mana ia bisa berteriak tanpa takut dihakimi. Tapi kini, semua terasa berbeda. Beban di pundaknya terlalu berat.
Seorang panitia menghampiri mereka. “Erlan? Lima menit lagi giliran lo.”
Sekali lagi, Erlan merasakan darahnya berdesir dingin. Lima menit. Lima menit untuk menghadapi semua tatapan, semua bisikan, semua prasangka. Ia menatap Roy, yang memberinya senyum lebar, jempol teracung.
“Hajar, Bro! Ini panggung lo!”
Erlan melangkah maju, kakinya terasa seperti timah. Lampu sorot tunggal di atas panggung terasa seperti laser yang menelanjanginya. Ia mengambil posisi di depan mikrofon, gitar sudah bertengger di pangkuannya. Ia melihat wajah-wajah di depannya—beberapa tersenyum, beberapa acuh tak acuh, beberapa lagi terlihat penasaran. Di salah satu meja di barisan paling depan, ia melihat Roy, tersenyum dan mengacungkan botol birnya.
Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara dingin memenuhi paru-parunya. Jemarinya yang masih sedikit nyeri karena luka senar yang putus, perlahan menyentuh senar gitar. Sebuah melodi lembut mengalun, not-not yang pilu dan sendu, mengiringi lirik yang ia ciptakan beberapa hari lalu, tentang kehilangan dan penyesalan.
“Di bawah langit yang kelabu, aku berdiri sendiri…” Suaranya serak, sedikit bergetar di awal, namun perlahan menemukan ritmenya. Ia memejamkan mata, membiarkan musiknya mengalir, membawa serta semua kesedihan yang selama ini merobek jiwanya. Penonton mendengarkan, beberapa mengangguk-angguk, beberapa lagi terhanyut dalam melodi yang merana. Erlan menyanyikan tentang mimpi yang hancur, tentang janji yang tak terpenuhi, tentang dunia yang terasa begitu kejam.
Setiap kata adalah bisikan dari jiwanya yang terluka, setiap petikan adalah tetesan air mata yang tak sanggup ia tumpahkan. Ia merasakan sedikit kelegaan, seperti beban yang perlahan terangkat. Ini adalah dirinya, Erlan yang dulu, yang selalu bisa menemukan pelarian dalam musik.
Namun, di tengah-tengah lagu, sebuah kilasan ingatan tiba-tiba menyambar otaknya. Wajah ibunya di balik jeruji, pias dan kosong. Tatapan menghakimi dari orang-orang. Bisikan-bisikan 'anak pembunuh'. Sumpah yang ia ucapkan di kamarnya, dengan tangan berdarah dan air mata yang mengalir deras. Kemarahan yang selama ini ia coba redam, kini kembali mendidih.
Jemari Erlan menekan senar gitar dengan kekuatan yang berbeda. Melodi yang tadinya lembut, perlahan berubah. Semakin keras. Semakin cepat. Nada-nada disonann mulai muncul, seperti raungan amarah yang tertahan. Suaranya, yang tadinya sendu, kini mulai bergetar dengan intensitas yang lebih dalam, lebih gelap.
“Mimpi yang kau renggut… masa depan yang kau bunuh…” Ia berteriak, bukan lagi menyanyi, melainkan meratap dengan distorsi emosi yang nyata. Petikan gitarnya menjadi brutal, jari-jarinya menari di atas fretboard dengan kekuatan yang tak wajar. Penonton terdiam, terkejut dengan perubahan mendadak itu. Beberapa orang saling pandang, bingung. Ini bukan lagi lagu mellow yang mereka dengar di awal. Ini adalah sesuatu yang mentah, kasar, dan penuh amarah.
Erlan memejamkan mata, membiarkan amarahnya mengalir. Ia membayangkan setiap not sebagai pukulan, setiap lirik sebagai jeritan. Ia tidak peduli lagi siapa yang menonton, siapa yang menghakimi. Ini adalah panggungnya, dan ini adalah kebenaran yang ia rasakan. Suaranya pecah, melengking, membawa serta rasa sakit, frustrasi, dan dendam yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
“Aku akan bangkit! Dari abu yang kau cipta! Aku akan kembali! Dan kalian semua akan tahu!”
Ia mengakhiri lagu dengan strumming gitar yang keras dan disonan, seolah ingin menghancurkan alat musik itu di tangannya. Suara terakhir menggaung di ruangan, meninggalkan keheningan yang tegang. Nafas Erlan terengah-engah, keringat membasahi dahinya, rambutnya lepek menempel di pelipis. Ia membuka mata, pandangannya liar, mencari Roy. Sahabatnya itu kini berdiri, tangannya mengepal, matanya berkaca-kaca, namun sebuah senyum puas terukir di bibirnya.
Kemudian, tepuk tangan pecah. Dimulai dari Roy, lalu menyebar ke seluruh penjuru kafe. Awalnya ragu, lalu semakin kencang, semakin meriah. Orang-orang berdiri, berteriak, bersiul. Mereka mungkin tidak mengerti sepenuhnya apa yang baru saja mereka dengar, tetapi mereka merasakan emosi mentah yang Erlan tumpahkan. Mereka merasakan kekuatan dari suara yang pecah itu, dari not-not yang berteriak.
Erlan hanya berdiri terpaku, terkejut dengan reaksi itu. Ia tidak menyangka. Ia pikir ia akan dihakimi, ditertawakan, atau diabaikan. Tapi mereka… mereka bertepuk tangan. Mereka bersorak. Sebuah perasaan aneh merayapi dadanya—bukan kelegaan, bukan kebahagiaan, melainkan sebuah pengakuan. Pengakuan bahwa suaranya, musiknya, masih memiliki kekuatan. Kekuatan untuk menyentuh, untuk mengguncang, bahkan untuk membuat orang merinding.
Ia menunduk, mencoba menyembunyikan getaran di bibirnya. Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, melintas di wajahnya. Ini bukan akhir. Ini adalah awal.
Di barisan VIP, sebuah meja terpisah dari keramaian, dengan pencahayaan yang lebih redup. Ghea Giyani, aktris papan atas yang kecantikannya sering menghiasi sampul majalah, duduk dengan elegan. Rambutnya diikat rapi, gaun hitam sederhana membalut tubuh rampingnya, dan wajahnya dipulas make-up tipis yang justru menonjolkan kecantikan alaminya. Ia seharusnya tidak berada di sana. Malam itu ia hanya menemani asistennya yang menjadi panitia kecil konser amal ini, sekadar untuk menunjukkan 'dukungan' pada kegiatan sosial. Pikirannya melayang, memikirkan jadwal syuting besok, kontrak iklan yang harus ditandatangani, dan janji makan malam dengan ayahnya. Ia melihat panggung dengan tatapan acuh tak acuh, hanya sesekali memberikan tepuk tangan sopan untuk para penampil.
Ketika Erlan naik ke panggung, Ghea hanya melirik sekilas. Seorang pemuda biasa, dengan kaos usang dan rambut gondrong yang agak berantakan. Ia sudah melihat ribuan musisi seperti ini. Tidak ada yang istimewa. Lagu pembuka Erlan yang mellow hanya semakin memperkuat prasangkanya. Ia sibuk mengutak-atik ponselnya, memeriksa notifikasi, membalas pesan.
Namun, ketika melodi itu berubah, ketika suara Erlan meledak, ponsel di tangannya mendadak terasa dingin. Ia mengangkat kepalanya, matanya membelalak. Suara itu… suara itu menusuknya hingga ke ulu hati. Ada sesuatu dalam raungan pemuda itu yang berbeda, yang jauh lebih nyata dari semua akting yang pernah ia lakukan di depan kamera. Itu bukan sekadar musik. Itu adalah jeritan. Jeritan yang terasa begitu akrab, begitu menyentuh, seolah itu adalah jeritan jiwanya sendiri yang terperangkap dalam sangkar kemewahan.
Ghea menatap Erlan, terpaku. Ia tidak tahu siapa pemuda itu, tidak tahu latar belakangnya, tetapi ia merasakan setiap kata, setiap not. Ia melihat amarah di mata Erlan, keputusasaan, namun juga sebuah tekad yang membara. Seolah pemuda itu sedang berperang dengan seluruh dunia, dan musik adalah ‘senjatanya’.
Saat Erlan menyelesaikan lagunya, dengan sorak sorai penonton yang menggelegar, Ghea tidak bergerak. Ia masih terpaku pada sosok di atas panggung. Erlan mengangkat wajahnya, pandangannya menyapu kerumunan, dan untuk sepersekian detik… mata mereka bertemu.
Mata Erlan yang merah, penuh amarah yang baru saja ia lepaskan, dan mata Ghea yang kini dipenuhi keterkejutan, terkejut akan dampak yang tak terduga. Sebuah koneksi tak terucapkan terjalin di antara mereka, melintasi keramaian, melintasi perbedaan dunia, melintasi segala ketidakmungkinan. Mata Erlan, seolah melihat menembus jiwanya, melihat sesuatu yang bahkan Ghea sendiri tidak tahu ada di sana. Dan Ghea, untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, merasa… terlihat. Terlihat oleh seseorang yang bukan sekadar penggemar, bukan sekadar penonton, melainkan oleh seorang pemuda yang baru saja menumpahkan seluruh isi hatinya di atas panggung.
Jantung Ghea berdebar kencang, sebuah ‘sensasi asing’ yang membuatnya merinding, bukan karena dingin, melainkan karena…
