Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Gitar tak bersenar

Dari puing-puing gitar yang tak bersenar ini, terangkum segala amarah, frustrasi, dan sumpah yang baru saja Erlan ucapkan. Ia masih berlutut di lantai, napasnya terengah-engah, air mata mengalir. Gitar kesayangannya tergeletak telanjang di sampingnya, senar-senarnya yang putus berserakan seperti potongan-potongan harapan yang hancur. Jari-jarinya yang berdarah bergetar hebat, memantulkan kilatan tekad yang membara di matanya yang sembap. Di luar, mentari masih menyengat, tetapi di dalam kamar Erlan, hanya ada kegelapan pekat yang menggantung.

Ketukan di pintu kamar yang setengah terbuka memecah keheningan yang menyesakkan itu. Erlan tersentak, cepat-cepat menyeka air matanya dengan punggung tangan, berusaha menyembunyikan kerapuhannya. Ia tidak ingin Bu Siti melihatnya dalam keadaan seperti ini.

"Nak Erlan, itu ada Roy," suara Bu Siti terdengar dari luar, lembut dan penuh kehati-hatian. "Dia sudah di ruang tamu."

Erlan menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih bergemuruh. Roy. Sahabatnya. Satu-satunya orang di dunia ini, selain Bu Siti, yang tak pernah menatapnya dengan pandangan menghakimi. Orang yang paling memahami jiwanya yang bergejolak, dan satu-satunya yang masih percaya padanya. Erlan memaksa dirinya bangkit, tubuhnya terasa pegal dan remuk. Ia menatap gitar yang rusak, lalu memungutnya, meletakkannya perlahan di sudut kamar, seolah benda itu adalah cerminan dirinya yang terluka.

Ia melangkah keluar, menuju ruang tamu. Roy sudah duduk di sofa lusuh, mengenakan kaus band metal favorit mereka, Metallica. Rambut gondrongnya diikat asal-asalan, dan di tangannya, ada dua botol bir dingin yang baru saja dikeluarkan dari kantong plastik. Roy mengangkat botol bir itu, tersenyum tipis.

"Buat mendinginkan kepala, Bro," katanya, suaranya renyah, seperti biasa. Tapi matanya, mata Roy tak pernah bisa dibohongi. Ia menatap Erlan, lalu tatapannya beralih ke tangan Erlan yang masih sedikit berdarah, dan akhirnya, ke kamar Erlan yang terbuka, di mana gitar telanjang itu terlihat samar. Senyum di bibirnya memudar.

Erlan hanya mengangguk, lalu duduk di seberang Roy. Ia mengambil sebotol bir, membuka tutupnya dengan ujung meja, lalu meneguknya dalam-dalam. Rasa pahit dan dingin bir itu sedikit melonggarkan cekikan di tenggorokannya.

"Lo kenapa bro?" tanya Roy, suaranya kini lebih serius. Ia meletakkan dua kotak kecil di meja. "Barusan gue denger suara benda jatuh. Terus Bu Siti bilang lo lagi galau berat."

Erlan menatap Roy, lalu menunduk. "Nggak ada apa-apa. Gitar gue putus senarnya," jawabnya, suaranya serak. Ia tidak berbohong, tapi ia juga tidak mengatakan seluruh kebenaran.

Roy menghela napas, lalu mendorong salah satu kotak kecil itu ke arah Erlan. "Makanya, nih. Gue bawa yang baru. Udah firasat gue lo pasti butuh."

Erlan melihat kotak itu. Senar gitar baru. Roy selalu punya firasat aneh tentangnya. Sejak mereka masih bocah ingusan, bertemu di warung kopi dekat sekolah, sama-sama menyukai musik-musik keras yang dianggap aneh oleh teman-teman sebaya mereka.

Saat itu, mereka hanya dua anak SMA yang bermimpi punya band sendiri, bermain di panggung-panggung besar, dan menyuarakan kegelisahan mereka lewat distorsi gitar yang memekakkan telinga. Roy dengan bass-nya yang selalu stabil, Erlan dengan cabikan gitarnya yang melengking dan suaranya yang khas. Mereka berdua adalah duo yang tak terpisahkan, selalu saling mendukung, bahkan ketika dunia menertawakan impian mereka.

Roy, dengan senyum lebarnya dan selera humornya yang receh, adalah jangkar bagi Erlan yang seringkali terlalu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia adalah punggung yang selalu siap untuk disandari, bahkan saat Erlan merasa tak pantas untuk bersandar.

"Senar? Buat apa juga?" Erlan bergumam, tanpa menatap senar baru itu. "Udah nggak ada gunanya, Roy."

Roy meletakkan botol birnya di meja, tatapannya menajam. "Lo ngomong apa sih, Lan? Nggak ada gunanya? Musik itu napas lo, Bro! Lo lupa dulu kita janji apa? Janji mau nguasain panggung dunia, bukan cuma ngumpet di kamar begini."

Erlan tertawa getir. "Panggung dunia apa, Roy? Lo lupa sekarang ini gue siapa? 'Erlan, anak si pembunuh itu'. Siapa yang mau dengerin gue? Siapa yang mau ngajak gue main?" Suaranya meninggi, kemarahan yang ia tahan sejak kunjungan penjara tadi kembali mendidih. "Setiap gue keluar rumah, mereka semua ngeliatin gue kayak gue ini monster! Lo pikir gampang jadi gue, Roy? Lo pikir gampang pura-pura nggak denger bisikan-bisikan itu?"

Roy menggeser duduknya, mendekat ke Erlan. "Gue tahu, Lan. Gue tahu itu berat. Tapi coba lo pikir deh, kalau lo nyerah, apa semuanya bakal beres gitu aja? Ibu lo di sana, mendekam di penjara, lo mau dia bangga sama anaknya yang mutusin untuk nyerah?"

Pernyataan Roy menohok Erlan. Ibunya. Ia sudah bersumpah untuk membersihkan nama ibunya. Tapi bagaimana itu bisa ia lakukan? Dengan mengurung diri?

"Gue nggak nyerah," Erlan membantah, suaranya kini lebih pelan. "Gue cuma... nggak tahu gimana caranya."

"Caranya ya lewat musik lo!" Roy menunjuk Erlan dengan telunjuknya. "Itu satu-satunya cara lo bisa ngomong sama dunia… tanpa harus khawatir di hakimin. Lo bisa teriak, lo bisa marah, tapi orang-orang tetep dengerin lo. Mereka nggak peduli lo anak siapa, mereka cuma peduli sama apa yang lo sampaikan lewat lagu lo."

Roy bangkit, melangkah ke kamar Erlan. Ia kembali dengan gitar Erlan yang tak bersenar. Ia memungut senar-senar yang berserakan, lalu mengeluarkan senar baru dari kotak yang ia bawa. Dengan cekatan, jari-jarinya mulai memasang senar-senar itu ke gitar. Erlan hanya diam, memperhatikannya. Gerakan Roy begitu familiar, begitu menenangkan. Seperti dulu, saat salah satu senar gitar Erlan putus di tengah latihan, Roy selalu ada di sana, siap mengganti.

"Dulu, waktu kita masih SMA, lo inget kan, gue pernah demam tinggi banget pas mau tanding band?" Roy bercerita, tanpa menatap Erlan, fokus pada senar gitar. "Gue udah nggak tahan, malah mau nangis, gue bilang ke lo gue nggak akan bisa tampil. Tapi lo? Lo bilang, 'Roy, ini bukan cuma tentang lo. Ini tentang kita. Kita udah janji. Lo harus kuat.' Dan lo yang nyanyiin semua bagian rap gue, padahal lo nggak pernah latihan lirik itu. Lo bantu gue, Lan. Sekarang giliran gue."

Erlan menelan ludah. Ia ingat kejadian itu. Roy selalu jadi orang yang paling bersemangat, namun juga yang paling mudah panik. Dan Erlan, yang selalu tenang di luar, adalah yang seringkali harus menenangkan Roy. Kini, peran itu terbalik.

"Lagian, lo tahu nggak? Gue punya tawaran manggung," Roy melanjutkan, setelah senar terakhir terpasang. Ia memetiknya perlahan, menyetemnya. Suara gitar yang kembali beresonansi di ruangan itu terasa asing, namun juga begitu dirindukan. "Konser amal kecil, di kafe 'Senja Kala'. Tapi gue nggak bisa, lonl aja yang gantiin gue. Tenang… Gue udah bilang ke panitia, lo yang gantiin gue."

Erlan terbelalak. "Apa? Gantiin lo? Nggak! Roy, lo gila? Gue nggak mau! Gue nggak bisa!"

"Bisa! Kenapa nggak bisa?" Roy mendekati Erlan, menyerahkan gitar itu. "Gue tahu lo bisa. Lo punya suara, lo punya lirik. Ini kesempatan lo, Lan. Acara kecil? iya! Tapi dari yang kecil ini, siapa tahu nanti jadi besar."

Erlan menggelengkan kepala, tangannya menolak gitar itu. "Nggak, Roy. Gue nggak siap. Gue nggak mau nyanyi di depan orang-orang. Gue nggak mau mereka ngeliatin gue, bisik-bisik soal gue."

Roy menarik napas dalam, ia seolah tahu, Erlan selalu menganggap semua orang akan berpikir sama tentang sahabatnya.

"Mereka nggak akan bisik-bisik kalau lo nunjukkin siapa lo sebenarnya!" Roy bersikeras, nadanya kini tegas. "Lo itu musisi, Lan. Jangan biarin mereka nyabut itu dari lo. Kalau lo nggak main, siapa yang bakal percaya sama lo? Kalau lo nggak nyanyi, gimana lo bisa bersihin nama ibu lo? Lo udah janji, kan? Ini bagian dari janji itu."

Erlan memalingkan muka. Hatinya bergejolak. Lagi. Kata-kata Roy menusuk tepat di ulu hatinya. Janji. Sumpah yang baru saja ia ucapkan di depan gitar yang hancur. Bagaimana ia bisa menepati sumpah itu jika ia sendiri bersembunyi?

"Tapi... gue cuma sendiri," lirih Erlan. "Gue nggak punya band lagi. Gue nggak..."

"Gue bakal ada di sana," potong Roy cepat. "Gue nggak bisa main, tapi gue bakal nemenin lo. Gue bakal teriak paling kenceng dari barisan penonton. Gue bakal jadi pendengar pertama lo. Kita mulai dari awal lagi, Lan. Dari sini. Dari kafe kecil itu."

Roy meletakkan gitar di pangkuan Erlan. Kayu dingin itu terasa begitu familiar di paha Erlan. Ia menatap senar-senar baru yang berkilauan, memantulkan cahaya redup dari lampu kamar. Tangannya perlahan menyentuh senar-senar itu, merasakan getaran yang dulu selalu menenangkannya.

"Ini bukan cuma buat lo, Lan," Roy berbisik, suaranya melembut, tapi penuh penekanan. "Ini juga buat gue. Buat janji kita. Lo nggak bakal ngecewain gue, kan?"

Erlan menatap Roy. Di mata sahabatnya, ia melihat kekhawatiran, kesetiaan, dan secercah harapan yang begitu tulus. Harapan yang Erlan sendiri sudah lama lupakan. Bagaimana ia bisa menolak tatapan seperti itu? Bagaimana ia bisa mengecewakan satu-satunya orang yang masih berdiri di sisinya?

Ia ragu, pandangannya beralih dari mata Roy ke senar gitar di pangkuannya, lalu ke jendela kamar yang memperlihatkan langit Jakarta yang mulai meredup. Ia masih takut. Ia masih marah. Tapi janji persahabatan mereka, janji yang terukir di setiap not lagu keras yang pernah mereka mainkan bersama, kini mengikatnya lebih kuat dari belenggu mana pun. Ia membuka mulutnya, ingin menolak lagi, ingin mencari alasan lain, namun tak ada kata yang keluar. Tenggorokannya tercekat, hanya napas berat yang lolos.

Roy hanya tersenyum tipis, senyum penuh pengertian, seolah ia sudah tahu jawaban Erlan. Ia menepuk pundak Erlan, lalu bangkit. "Besok malem, jam delapan. Jangan telat." Ia berbalik, melangkah menuju pintu. "Gue tunggu lo di sana, Lan."

Erlan tidak menjawab. Ia hanya menatap punggung Roy yang menjauh, lalu pandangannya kembali tertuju pada gitar di pangkuannya. Jari-jarinya yang berdarah, bekas luka dari kemarahan yang ia luapkan, kini perlahan menyentuh senar paling rendah. Sebuah not bass yang dalam bergetar, memecah kesunyian. Erlan memejamkan mata, membiarkan not itu meresap ke dalam dirinya, membawa serta keraguan, ketakutan, dan... secercah harapan yang baru saja Roy tanamkan. Namun, saat ia membuka mata, pertanyaan itu masih menggantung di benaknya, menggerogoti setiap sudut hatinya: apakah ia benar-benar bisa melakukannya? Akankah ia mampu menghadapi semua tatapan itu lagi, ataukah ia akan hancur sebelum sempat memainkan not pertama…

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel