Dibalik Jeruji
Erlan menempelkan telapak tangannya ke kaca tebal pembatas, dinginnya merambat hingga ke tulang. Di seberangnya, ibunya duduk diam. Wajahnya yang dulu selalu ceria kini terlihat pias. Keriput samar menghiasi sudut matanya yang kosong, menatap ke kejauhan yang tak terjangkau. Tidak ada senyum, tidak ada air mata, hanya kehampaan yang memilukan. Erlan menelan ludah, tenggorokannya tercekat. Sudah dua tahun. Dua tahun sejak hari neraka itu merenggut tawa dari bibir ibunya, dan masa depan dari tangannya sendiri.
“Bagaimana kabarmu, Nak? Kamu sehat, kan?” Tanya ibunya, suaranya serak dan nyaris tak terdengar, memecah keheningan yang menyesakkan. Erlan hanya bisa mengangguk, mencoba tersenyum, meski tahu senyumnya adalah topeng belaka. Senyum yang sama yang selalu ia kenakan setiap kali melewati kerumunan orang di luar sana, orang-orang yang melihatnya tidak lagi sebagai Erlangga, melainkan sebagai ‘anak seorang pembunuh’.
Kilasan ingatan membanjiri benaknya, secepat kilat, sekeras pukulan. Suara sirene polisi yang memekakkan telinga, lampu berwarna biru dan merah yang menari-nari di dinding rumah mereka yang dulu hangat, jeritan histeris tetangga, dan tuduhan kejam itu. Ayahnya ditemukan tak bernyawa, dan ibunya… ibunya dituduh. Erlan, bocah 20 tahun yang masih hijau, hanya bisa berdiri kaku, menyaksikan dunianya runtuh berkeping-keping di bawah tatapan menghakimi. Tak ada yang percaya padanya.
Tak ada yang percaya pada ibunya. Semua jari menunjuk, menuduh, semua bisikan-bisikan meracuni. Ia tidak pernah bisa melupakan tatapan mata ibunya saat diborgol, tatapan yang memohon pertolongan, namun juga pasrah.
“Apakah… kamu makan teratur?” tanya ibunya lagi, suaranya seperti desiran angin di padang tandus.
Erlan mengangguk lagi, berusaha menahan gelombang emosi yang mendesak. "Iya, Bu. Bu Siti selalu masak makanan enak untuk aku." Ia berbohong. Semua makanan itu seringkali terasa hambar di lidahnya, dan ia lebih sering melewatkannya daripada tidak. Tapi ia tahu, ibunya akan lebih tenang jika mempercayai kebohongan kecil itu.
Ibunya tersenyum tipis, senyum yang tak sampai ke mata. “Bu Siti memang baik. Titipkan salam Ibu untuknya.”
Hanya itu. Hanya basa-basi yang tak benar-benar menyentuh inti dari apa yang mereka berdua rasakan. Ada tembok tak kasat mata yang kini berdiri di antara mereka, lebih kokoh dari jeruji besi ini. Bukan hanya kaca pembatas, melainkan rasa bersalah yang tak terucap, dan keputusasaan yang melumpuhkan. Waktu kunjungan terasa begitu singkat, namun juga begitu panjang. Setiap detik adalah siksaan, menyaksikan orang yang paling ia cintai terkunci, tanpa daya, tanpa harapan.
Setelah kunjungan singkat yang selalu terasa seperti menelan pasir, Erlan berjalan lesu keluar dari gerbang penjara yang kokoh. Udara siang Jakarta terasa menyengat, kontras dengan dinginnya ruang kunjungan tadi. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ia membawa beban ribuan ton di pundaknya. Ia menundukkan kepala, pandangannya terpaku pada aspal yang retak di bawah sepatu kets usangnya. Ia tahu, tatapan-tatapan itu ada. Tatapan dari orang-orang yang kini mengenalinya. Mereka tidak perlu mengatakan apa-apa. Bisikan-bisikan, tatapan sinis, dan sorot mata penuh prasangka sudah cukup.
Dulu, ia adalah Erlan. Seorang mahasiswa biasa dengan impian sederhana, seringkali terlihat memetik gitar di sudut kafe atau perpustakaan. Kini, ia adalah ‘Erlan, anak pembunuh itu’. Label yang menempel lebih erat dari kulitnya sendiri, menggerogoti jiwanya. Ia bisa merasakan tatapan para pedagang kaki lima di pinggir jalan, para pengendara motor yang melintas, bahkan anak-anak kecil yang menunjuk-nunjuk. Ia adalah anomali, noda hitam di kain putih komunitas mereka.
Ia mempercepat langkah. Setiap kali ia keluar rumah, ia merasa seperti telanjang di tengah keramaian, semua orang mengamati setiap gerakannya, mencari tanda-tanda kejahatan yang diwarisi, atau kegilaan yang diturunkan. Rumah, bagi Erlan, adalah satu-satunya benteng. Di sana, di balik pintu kayu yang tertutup rapat, ia bisa menjadi dirinya sendiri, atau setidaknya, potongan-potongan dirinya yang masih tersisa.
Sampai di rumah, aroma masakan Bu Siti langsung menyambutnya. Aroma kari ayam yang gurih, selalu berhasil sedikit meredakan ketegangan di dadanya. Bu Siti, seorang wanita paruh baya dengan senyum teduh dan mata penuh pengertian, adalah satu-satunya orang yang tidak pernah menatapnya dengan pandangan menghakimi. Ia adalah jangkar, pengingat bahwa masih ada kebaikan di dunia ini, masih ada cinta yang tulus.
“Bagaimana kunjunganmu hari ini, Nak Erlan?” tanya Bu Siti lembut, saat Erlan masuk ke dapur. Ia sedang mengaduk sayur kangkung di wajan. Suaranya selalu menenangkan, seperti melodi lama yang menentramkan.
Erlan hanya menggelengkan kepala pelan, tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Lidahnya terasa kelu.
Bu Siti menghela napas, tanpa perlu bertanya lebih jauh. Ia tahu. Ia selalu tahu. “Makan dulu, ya. Nanti keburu dingin.”
Erlan duduk di meja makan, memandangi piring yang mengepulkan asap. Ia mencoba mengambil sesendok nasi, tapi tenggorokannya seperti tertutup. Ia hanya menggeser-geser sendoknya di piring, pikirannya masih melayang pada wajah ibunya yang hampa. menyesakan.
“Tidak ada yang berubah, Bu Siti,” akhirnya ia berujar, suaranya parau. “Ibu… dia tetap sama. Saya nggak tega lihat dia seperti itu.”
Bu Siti meletakkan spatula, lalu mendekati Erlan. Ia mengusap pundak pemuda itu perlahan. “Sabar, Nak. Allah tidak pernah tidur. Pasti ada jalan untuk membuktikan kalau ibumu tidak bersalah."
Erlan tertawa getir. “Jalan apa? jalan yang mana, Bu Siti? Dua tahun. Dua tahun dan tidak ada apa-apa. Tidak ada bukti baru. Tidak ada yang percaya. Mereka semua sudah memutuskan bahwa Ibu lah yang bersalah. Ibu sudah meracuni ayah."
“Jangan bicara begitu,” tegur Bu Siti lembut. “Ibumu orang baik. Kamu tahu itu. Bu Siti juga tahu itu.”
“Tapi dunia tidak tahu itu!” Erlan membentak, suaranya pecah karena frustrasi. Ia segera sadar, menyesali nada suaranya barusan, lalu melihat Bu Siti yang tampak sedikit terkejut. “Maaf, Bu Siti. Saya… saya lelah.”
Bu Siti mengangguk, sorot matanya lembut, penuh pengertian. “Ibu tahu, Nak. Istirahatlah. Nanti kalau sudah lapar, makan ya. Sekarang ibu mau buatkan teh hangat, nanti ibu antar kamarmu.”
Erlan mengangguk, lalu bangkit dari meja makan. Ia berjalan menuju kamarnya, sebuah ruangan sederhana yang kini lebih terasa seperti gua persembunyiannya. Di sana, di sudut kamar, ada gitar akustik kesayangannya, hadiah dari almarhum ayahnya. Gitar itu adalah satu-satunya teman setianya, satu-satunya tempat ia bisa menumpahkan segala emosi yang membuncah di dadanya tanpa harus merasa takut dihakimi.
Ia meraih gitar itu, merasakan kayu licin dan dingin di telapak tangannya. Jari-jarinya bergerak otomatis, memetik senar perlahan, menghasilkan melodi yang pilu, mencerminkan isi hatinya yang berduka. Musik adalah bahasa yang tak membutuhkan kata-kata, tempat ia bisa berteriak tanpa suara. Ia memejamkan mata, membiarkan setiap nada meresap, membawa serta rasa sakit, kemarahan, dan kerinduan yang mendalam.
Dari melodi yang lembut, petikan gitarnya perlahan berubah. Semakin cepat, semakin keras, semakin kacau. Jari-jarinya menari di atas fretboard, menghasilkan suara-suara disonan yang memekakkan, menggambarkan badai yang sedang mengamuk di dalam dirinya. Ia memetik senar dengan kekuatan yang tak wajar, menyalurkan semua amarah yang terpendam.
Amarah pada dunia yang kejam! pada ketidakadilan yang merenggut kebebasan ibunya! juga pada dirinya sendiri yang tak berdaya!
Ia mengingat kembali hari-hari saat ia masih bisa tertawa lepas, bermain musik dengan teman-temannya di kafe, bermimpi tentang panggung-panggung besar. Semua itu kini terasa begitu jauh, seperti kehidupan milik orang lain. Musiknya dulu penuh harapan, kini hanya berisi ratapan dan kebencian.
"Kenapa?! Kenapa harus seperti ini?!" Erlan bergumam di antara petikan kasar gitarnya. "Kenapa semua harus berubah jadi abu?!"
Ia terus memetik, semakin cepat, semakin brutal, hingga senar-senar itu terasa panas di ujung jarinya. Memetik. Mencabik. Setiap nada adalah jeritan batin, setiap akord adalah pukulan ke dinding takdir. Keringat mulai menetes membasahi keningnya, matanya terpejam rapat, seolah ingin menghapus semua bayangan buruk dari pandangannya. Namun, bayangan ibunya di balik jeruji, tatapan menghakimi orang-orang, dan bisikan-bisikan kejam itu terus berputar di kepalanya, seperti kaset rusak yang terus berputar tanpa henti.
Bu Siti masuk ke kamar membawa secangkir teh hangat, meletakkannya di meja samping tempat tidur. Ia memandang Erlan, yang kini terlihat seperti orang kesurupan. Ia tahu, musik adalah cara Erlan bertahan hidup, cara ia melepaskan beban yang tak terucapkan.
“Nak Erlan,” panggil Bu Siti pelan, tidak ingin mengganggu konsentrasi pemuda itu.
Erlan tidak mendengar. Ia terlalu tenggelam dalam pusaran badai emosinya. Petikan gitarnya semakin liar, semakin tak terkendali. Tiba-tiba, sebuah suara keras memecah keheningan.
JRENG!
Senar gitar putus, menghasilkan suara nyaring yang menyakitkan, lalu melesat, mengenai jari Erlan.
Erlan terlonjak kaget, matanya terbuka lebar. Ia menatap senar yang putus itu, seolah senar itu adalah representasi dari semua yang telah hancur dalam hidupnya. Kemarahan yang selama ini ia pendam, yang ia salurkan melalui musik, kini meledak. Ia membuang gitarnya ke lantai dengan keras, menghasilkan bunyi gedebuk yang memekakkan. Kemudian, dengan tangan gemetar, ia meraih senar yang tersisa, satu per satu, dan mulai menariknya dengan sekuat tenaga.
"Cukup!" teriaknya, suaranya serak dan penuh keputusasaan. "Cukup! Aku muak! Muak dengan semua ini!"
Satu senar putus. Lalu yang kedua. Ketiga. Ia menariknya hingga semua senar gitar itu putus, terlepas dari pasaknya, berjatuhan di lantai. Napasnya terengah-engah, dadanya naik turun dengan cepat. Tangannya gemetar, bukan lagi karena kemarahan, tetapi karena kelelahan yang luar biasa. Ia menatap gitar yang kini telanjang tanpa senar, tak mampu lagi mengeluarkan suara.
Bu Siti menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca, tak berani mendekat. Ia belum pernah melihat Erlan semarah ini.
Erlan terhuyung mundur, lalu jatuh berlutut di lantai. Tangannya mengepal, memukul lantai kayu berulang kali, menyalurkan sisa-sisa frustrasinya. Air mata yang selama ini ia tahan, kini mengalir deras, membasahi pipinya. Ia membiarkan dirinya menangis, meraung, mengeluarkan semua kesedihan yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
"Aku akan membuktikannya!" teriaknya di antara isak tangis. "Aku akan membersihkan nama Ibu! Aku bersumpah! Suatu hari nanti, mereka semua akan tahu kebenarannya! Aku bersumpah!!"
Jari-jarinya yang berdarah karena luka bekas senar yang putus mengepal erat. Matanya merah, namun kini ada kilatan tekad yang membara di sana. Bukan lagi tatapan putus asa, melainkan api amarah yang siap membakar. Ia akan membersihkan nama ibunya, apa pun risikonya, apa pun harganya. Bahkan jika ia harus menghancurkan dirinya sendiri dalam prosesnya. Ia akan bangkit, tidak peduli seberapa dalam ia telah jatuh. Ia akan membuat mereka membayar. Semua dari mereka. Tak ada yang terlewat.
Dan semua itu akan dimulai dari sini. Dari puing-puing gitar yang tak bersenar ini.
