Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 2

Gue pikir itu anak cuma bohongan kalo dia bakalan tinggal disini untuk memastikan ikatan apa yang sebenarnya terjadi antara gue dengan dirinya. Tapi gue salah. Anak itu beneran pengen tinggal dirumah gue begitu gue ngebuka pintu restoran dan mendapati sosoknya yang sudah siap dengan dua koper besar yang terletak di kedua sisi samping nya.

"Morning, Kak." sapanya sambil memasang senyum lebar yang sayangnya ngebuat gue ilfeel entah kenapa.

"Morning-morning udel lu bodong! Ngapain lo pagi-pagi kesini? Restoran gue belum buka. Bukanya jam lapan! Mending sekarang lo balik terus mandi, baru sekolah. Dan buat apaan tuh koper?" ujar gue sambil menunjuk koper yang ia bawa.

"Oh ini. Ini baju-baju gue, Kak. Kan mulai hari ini gue bakal tinggal disini, untuk jalanin misi mencari tahu tentang hubungan di antara kita berdua dan juga anak kakak." ucapnya sambil mengangkat koper besar itu dengan mudahnya. Setelah ia berniat untuk melangkah masuk namun segera gue halang dengan kedua tangan gue yang gue rentangan di ambang pintu.

"Nggak ada, nggak ada. Kan udah gue bilang, perasaan kemaren yang kita rasain itu cuma karena kita baru kenal. Makanya deg-degan kayak gitu. Udah, mending lu balik sana. Ntar dicariin bokap nyokap lo lagi." ujar gue sambil menggunakan satu tangan gue untuk mengusirnya.

"Kok gitu sih? Bukannya kemaren lo udah sepakat dan setuju ya kalo gue bakal tinggal disini? Gimana sih!? Udah tua kok labil." balasnya.

Gue pengen marah sebenarnya. Tapi dari apa yang dia ucapin nggak ada salahnya juga. Ditambah dia masih anak sekolahan yang umurnya jauh beda sama gue, jadi gue cuma bisa menahan marah gue sambil menghela napas pendek.

"Kemaren itu gue cuma iyain supaya lo cepet pergi. Gue nggak bermaksud beneran nerima elo disini. Yakali, gue aja baru kenal sama elo kemaren. Identitas, keluarga, bahkan latar belakang lo aja gue nggak tau. Mana mungkin gue dengan mudahnya ijinin lo dengan alasan yang gue sendiri aja nggak yakin." jelas akhirnya. Gue menaruh kedua tangan gue di dada sambil menatapnya yang sudah meletakkan kembali kopernya.

"Justru karena itu. Gue kesini biar bisa ngeyakinin lo, bahkan gue juga. Gue juga belum yakin, tapi kalo kita nggak mencobanya kapan kata yakin itu tercapai? Plis lah. Gue bener-bener penasaran. Gue mohon sama elo, gue merasa ada ikatan besar diantara gue maupun Trina. Seumur hidup gue, gue nggak pernah mohon-mohon kayak gini. Masalah latar belakang lo nggak usah khawatir. Gue termasuk salah satu keluarga terhormat yang bisa dengan mudah masuk ke sekolah yang hanya orang kalangan atas aja." jelasnya, dia mengambil satu tangan gue dan menggenggamnya pelan.

Gue menggeleng pelan, "Latar belakang yang gue maksud bukan soal kekayaan lo. Tapi tentang sikap, sama sifat. Gue belum kenal sama elo. Ya walaupun Dimas kenal. Tapi itu nggak menutup kemungkinan bagi gue untuk menolak disini." ujar gue yang masih kekeh.

"Gimana mau saling kenal kalo lo aja nggak ngijinin gue untuk mengenal lebih dalem sosok elo." ujarnya.

"Plis sadar. Lo masih kecil. Lo juga cowok. Nggak pantes untuk ngomong kayak gitu. Hargain gue sebagai orang dewasa. Ini keputusan gue. Jadi gue mohon supaya lo berhenti meminta tinggal disini dengan alasan yang nggak meyakinkan."

"Apanya sih yang nggak meyakinkan!?" ucapnya nadanya sudah meninggi sambil menghempaskan tangan gue yang sempet di genggam tadi.

"Keingintahuan elo, rasa penasaran lo, perasaan lo, dan semua yang lo sebutkan tadi. Itu nggak meyakinkan dan nggak ngaruh apa-apa sama gue!" balas gue yang ikut terbawa emosi dengan nada tingginya.

Askar terlihat kesal, ia mengacak rambutnya kasar lalu dengan mata yang memerah dia berujar.

"Oke. Biar gue yakinin lo gimana perasaan gue saat ini setelah melihat lo kemarin." ucapnya, lalu maju selangkah mendekat sehingga kini hanya beberapa senti jarak diantara kami berdua.

Gue gelapan, gue menatapnya sambil berkedip beberapa kali.

"L-lo...jangan berani macem-macem s-sama gue ya." ucap gue terbata sambil menyilangkan kedua tangan gue di dada membuat perlindungan yang siapa tau aja dia berbuat yang nggak-nggak.

Dia menundukkan kepalanya. Dengan mata merah yang berair, Askar menaruh satu tangannya untuk menyentuh pipi gue dan mengelusnya pelan.

Gue yang merasakan tangannya di pipi gue pun tersengat. Gue yang tadinya di serang panik, kini perlahan menjadi tenang. Tatapan gue yang penuh tameng pun berubah menjadi teduh dan entah kenapa terasa menyakitkan melihat kedua matanya yang terlihat ingin menangis. Jantung gue berdetak sangat cepat seakan ingin keluar dari tempatnya. Apalagi saat ini jarak wajah gue sama dia kian menipis.

"Apa lo juga merasakan rasa sakit ini?" tanyanya sambil meraih tangan gue yang sudah berubah posisi menjadi berada di dadanya yang bisa gue rasakan detak jantungnya yang berdetak sangat cepat seperti yang gue rasakan saat ini.

Gue mengangguk menjawabnya. Gue memang merasakan sakit yang amat dalam di hati gue, dan gue nggak tau sama sekali kenapa itu bisa terjadi. Yang jelas, saat ini mata gue terpejam setelah merasakan benda kenyal yang menyentuh bibir gue dan melumatnya lembut.

Gue nggak berontak, apalagi mendorongnya menjauh agar ciuman  yang saat ini terjadi segera terlepas. Gue malah membalas ciuman itu 3 detik setelahnya dan membuat satu mata gue mengeluarkan air mata karena rasa sakit yang gue rasakan.

Ciuman itu berlangsung lama. Nggak ada tambahan kecepatan apapun yang kami lakukan selama berciuman. Kami melakukannya dengan perlahan sambil terus menghayati yang kami rasakan masing-masing. Perasaan sedih yang kami rasakan kini perlahan menghilang seiring bertambahnya waktu ciuman kami yang masih terjadi.

Kini gue bisa merasakan asin karena air mata yang gue keluarkan tadi. Namun sepertinya gue salah. Rasa asin itu bukan berasal dari air mata gue aja. Melainkan air mata Askar yang juga mengalir begitu gue membuka mata gue dan melihat kedua pipinya yang basah.

Perasaan canggung pun segera terjadi saat Askar membuka matanya dan menatap gue dengan tatapan sendu yang entah gue sendiri nggak tau itu kenapa. Yang jelas, itu nggak seberapa, di bandingkan dengan suara benda jatuh yang ngebuat gue maupun Askar menoleh ke asal suara yang ternyata disana terdapat sosok Diki yang terdiam di tempatnya dengan satu tangan yang menutupi mulutnya yang terbuka lebar.

Gue panik. Gue langsung aja mendorong tubuh Askar menjauh dan berjalan mendekat ke arah Diki dan berusaha menjelaskan tentang apa yang baru saja dia saksikan.

"Ki...ini..nggak seperti yang kamu pikirkan kok. Kami berdua, ehh..itu..." ucap gue yang sulit untuk menjelaskan bagaimana agar Diki tidak salah paham dan menilai gue jelek di matanya.

"Kami berdua pacaran. Dan kehadiran lo ganggu suasana. Lo bisa pergi?" ujar Askar yang entah kenapa sangat berbeda dari nada saat berbicara sama gue. Tapi gue nggak mementingkan itu. Gue berbalik kepadanya dan melotot galak menatapnya.

Diki terlihat terkejut.

"Maaf, Kak. Maaf saya ganggu. Kalo gitu saya pergi dulu, ntar 20 menit lagi saya balik." ujarnya cepat. Lalu belum sempat gue panggil namanya dia udah ngacir duluan dan meninggalkan gue yang geram dengan ucapan Askar yang bikin suasana tambah kacau.

Gue berjalan ke arahnya dan detik berikutnya gue pun memukulnya kuat di bagian bahunya. Dia mengerang dan menatap nggak terima ke arah gue.

"Apa!?" galak gue saat melihat matanya yang dibuat-buat sedih.

"Udah. Sekarang cepet lo pergi dari sini. Ciuman tadi nggak ngerubah apapun sama keputusan gue." ujar gue dan kembali mengusirnya.

"Jangan gitulah. Gue kan emang niatnya pengen tau aja. Setelah tau gue bakal turutin apa yang lo ucapin kok. Janji." balasnya sambil mengangkat kedua jarinya sebagai sinyal janji yang ia ucapkan.

Gue menggeleng, dan kemudian ingin kembali menjawab.

"Nggak bisa. Rumah gue nggak muat untuk nampung satu orang la--"

"Pap-pah..." ucapan gue terpotong begitu suara Trina bisa gue dengar begitu jelas di gendang telinga gue. Gue menoleh kebelakang gue, dan benar saja, ada Trina di sana dengan piyama dan rambut berantakan sehabis bangun tidur.

Ia mendekat ke arah gue, namun setelah matanya menangkap sosok Askar ia beralih ke arah bocah itu setelah sebelumnya menyebutkan kata Ayah dengan gembira.

"Ayahhh.." ucapnya jelas, lalu berlari kecil ke arah Askar.

Askar yang melihat itu tentu saja seneng. Dia malah berjongkok dan menerima rentangan tangan Trina untuk di gendongnya. Setelah itu dia pun menoleh ke arah gue sambil tersenyum mirip seakan mengejek gue yang gagal mengusirnya.

"Tolong bawain koper gue ya, Kakak." ucapnya ngeselin, lalu kemudian berlalu masuk ke dalam dan meninggalkan gue yang mencak-mencak sendiri sambil menatap kedua koper besar yang sayangnya koper tersebut terlihat mahal.

Haahhhhhh musibah apa lagi ini Tuhan....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel