Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 1

"Trina. Sini, ayo pulang." ucap gue setelah diam cukup lama memandangi wajah siswa itu yang bername-tag Askar.

Trina menoleh, namun setelahnya dia menggeleng kuat dan kembali memeluk erat kaki Askar. Gue yang melihat itu merasa nggak enak tentu saja, gue tersenyum canggung ke arahnya lalu perlahan berjalan mendekat untuk menghampiri Trina.

"Maaf, ya." ujar gue tulus saat sudah berada di hadapannya. Setelah itu gue pun berjongkok untuk meraih Trina dan melepaskan pelukannya walaupun dengan sedikit usaha agar bisa terlepas dari kaki siswa itu.

Trina mulai menangis kencang, ia memberontak di gendongan gue meminta agar gue melepaskannya dan membiarkannya kembali memeluk kaki itu. Tapi kali ini gue nggak bakal menurutinya. Apalagi saat gue melihat ekspresi bingung yang di keluarkan siswa itu, ngebuat gue merasa bersalah karena udah membuat dirinya menjadi pusat perhatian sekarang.

"Sekali lagi maaf, ya." ucap gue membungkuk sedikit ke arahnya, lalu berbalik dan berjalan cepat untuk segera pergi dari sini. Semua mata siswa-siswi yang melihat ke arah gue semuanya menakutkan, seakan-akan gue udah melakukan kesalahan besar yang sulit untuk di maafkan. Tapi apapun itu, gue nggak peduli. Yang penting sekarang gue harus keluar dari sini dan nenangin Trina yang masih menangis kencang sepanjang perjalanan menuju gerbang.

Namun saat gue berhasil keluar dari sekolah itu, Trina dengan hebat langsung diam dan nggak menangis lagi. Matanya yang tadinya mengeluarkan air mata, kini sudah berhenti dan di gantikan dengan dirinya yang sibuk memainkan kedua jari tangannya. Gue yang melihatnya tentu saja bingung. Gue bahkan berhenti melangkah untuk memastikan kalo Trina bener-bener udah tenang dan nggak nangis lagi.

"Pap-pah. Bobok." ucap Trina duluan sebelum gue menanyakannya. Gue yang mendengarnya pun nggak jadi bertanya dan malah memperhatikannya menguap lebar yang berakhir dengan kepalanya yang ia senderkan di bahu gue dan detik berikutnya gue pun bisa merasakan deru napasnya yang tenang dan teratur menandakan kalau dirinya sudah terlelap tidur di bahu gue.

Gue pun hanya bisa menghela napas, menyadari perubahan suasana hati Trina yang sangat drastis. Ini membuat gue bingung namun gue merasa senang juga. Tapi entahlah, gue nggak mau terlalu memusingkan hal itu. Trina masih kecil, sifat dan sikapnya belum terbentuk dan terbaca. Jadi gue akan melupakan hari ini dan memulai memikirkan apa yang akan gue lakukan selanjutnya.

Askar.

Nama itu kembali terngiang di otak gue. Wajahnya yang terlihat bingung sekaligus mata gue dengan dia yang saling menatap tajam berhasil ngebuat gue memikirkannya. Gue nggak tau kenapa, tapi yang pasti gue memiliki perasaan aneh kepadanya, dan gue nggak tau apa itu.

Dia terlihat seperti bocah 16 tahun lainnya dengan wajah polos yang tampan dan terlihat sangat segar, di bandingkan gue yang sudah punya anak 2 tahun. Dia bahkan lebih tinggi dari gue yang notabenenya gue lah yang lebih tua. Heran deh gue sama bocah-bocah jaman sekarang. Kok bisa ya tinggi-tinggi begitu. Apa mereka tiap hari di kasih makan bambu ama emaknya biar bisa tinggi begitu? Entahlah, gue juga tau. Tapi kali itu bener, gue mungkin bakal mencobanya buat Trina.

Gue kembali memasuki restoran dan tersenyum ramah kepada pelanggan yang menatap ke arah gue. Setelahnya gue pun masuk ke dalam, dan membuka pintu yang mana pintu itu menghubungkan langsung ke rumah gue yang nggak terlalu besar itu. Gue cukup kagum sama Ayah, karena dia mendesain restoran ini dengan baik. Bagian belakang adalah rumah pribadinya, sementara bagian belakang adalah restoran tempat sumber penghasilannya.

Tentang Ayah... Gue cuma tau kalau dia adalah lajang tua yang gagal menikah. Dia nggak punya saudara ataupun kerabat yang peduli padanya. Entahlah, beliau nggak mau cerita banyak tentang keluarganya. Jadi gue nggak terlalu tau tentang Ayah selain statusnya yang sampai saat ini gue ketahui sebagai lajang.

Gue meletakkan Trina ke atas kasurnya begitu gue sudah masuk ke dalam kamar. Mengelus rambutnya sebentar lalu mengecup keningnya dalam. Setelah itu gue pun menyelimutinya hingga setengah badan, lalu gue pun tersenyum hangat menatapnya.

Gue bangga memiliki Trina. Dia anak yang manis dengan otak yang cerdas. Ya, walaupun dia kadang rewel dan susah di atur seperti tadi. Tapi bagaimanapun, dia tetaplah satu-satunya orang yang gue cintai di dunia ini. Jadi gue akan akan melindungi dan menjaganya sebisa dan semampu gue untuk Trina.

Suara ketukan pintu membuat gue tersadar dari lamunan gue terhadap sosok Trina yang sedang tertidur pulas. Gue tersenyum hangat menatapnya, setelah itu gue pun beranjak dari sana untuk membuka pintu dan mendapati sosok Fian yang langsung tersenyum ramah begitu berhadapan dengan gue. Gue membalas senyumannya lalu setelahnya gue pun keluar dari kamar dan menutup pintu itu agar Trina nggak terganggu dengan obrolan gue dan Fian.

"Ada apa, Yan?" tanya gue begitu sudah menjaga jarak dengan pintu kamar.

"Itu Kak. Si Dimas nyariin Kakak, dia bareng temennya." jawab Fian. Gue yang mendengarnya mengangkat satu alis gue sambil memikirkan apa yang membawa Dimas ke restoran di jam sekolah seperti ini.

"Oke, yuk ke depan." ujar gue, lalu mendahuluinya untuk masuk ke dalam restoran. Setelah sampai, gue pun melihat kesekitar untuk mencari sosok Dimas yang ternyata duduk nggak jauh dari pintu keluar. Dia menatap gue tersenyum dan gue segera membalasnya. Setelahnya gue pun melirik punggung cowok yang duduk tepat di depan Dimas, posisinya membelakangi gue sehingga gue nggak bisa melihat wajahnya.

Nggak mau membuang waktu lebih lama, gue pun akhirnya melangkahkan kaki gue menuju meja yang di tempati Dimas. Dan nggak butuh waktu lama juga bagi gue untuk menghampirinya karena setelahnya gue udah berdiri di meja tempat Dimas duduk dan tersenyum ramah untuk menyambut dia dan juga temannya yang bernama Askar. Terlihat dari name-tag yang dia kenakan.

Dalam sedetik otak gue langsung sadar. Nama itu belum lama ini ada dalam pikiran gue, dan sekarang sosoknya sudah berada di hadapan gue dengan ekspresi penuh tanya yang menghiasi wajahnya.

"Oke. Gue balik ke sekolah ya, Kar. Orang yang lu cari udah ada di depan lu noh." ucap Dimas yang udah berdiri dari duduknya. Setelah menerima anggukan dari Askar, dia pun langsung keluar setelah sebelumnya menepuk bahu gue sebagai tanda perpisahan.

Sepeninggalan Dimas, suasana jadi terasa canggung dan hening walaupun saat ini restoran sedang dalam pengunjung yang lumayan ramai. Namun itu nggak berlangsung lama, karena gue lebih tua disini, jadi gue tersenyum ramah dan mengambil alih tempat duduk Dimas yang ia duduki barusan. Setelahnya gue menatap ke arah Askar dan bersiap bertanya.

"Jadi, ada apa kamu nyari aku, Dek?" tanya gue berusaha sesopan mungkin.

"Bicara santai aja. Dan jangan panggil gue adek. Lu nggak setua itu kan?" balasnya dan cukup membuat gue speechless untuk beberapa saat.

Gue kira nih anak sifatnya kalem yang gue liat dari mukanya. Eh sekali ngomong, songongnya kelewatan. Dia bilang apa barusan? Gue nggak setua itu buat pantes manggil dia adek? Dia pikir umur gue berapa? 17 tahun? Iya, 2 tahun yang lalu gue umur segitu. Tapi kan sekarang gue udah 19 tahun. Dimas pun umurnya 16 tahun, dan cowok ini temennya Dimas jadi kemungkinan mereka seumuran. Jadi pantes dong kalo gue manggil dia Dek? Tapi...tapi...kenapa diaaa... Argh.

"Oke. Kita ngomong santai. Jadi lo ada urusan apa nyariin gue?" tanya gue yang jadi jutek karena ngerasa orang ini nggak respek sama orang yang lebih tua. Jadi buat apa gue respekin dia juga?

"Gue nyariin lu buat bicarain Adek lo yang meluk kaki gue tadi di sekolah." ujarnya. Gue yang mendengarnya pun langsung terdiam dan teringat kejadian Trina yamg memeluk Askar dan menyebutnya sebagai Ayah.

Gue juga sempet mempertanyakan hal itu, dan mungkin ini saat yang tepat untuk membicarakannya dengan Askar. Tapi... Dia bilang apa tadi? Adek gue!?

"Sorry. Tapi yang meluk lo tadi itu anak gue. Bukan adek gue." ujar gue.

Dia terlihat sedikit membesarkan matanya begitu gue mengucapkan kalimat itu. Setelahnya dia kembali memasang wajah biasa lalu melipat kedua tangannya di dadanya.

"Terserah. Bukan itu inti yang mau gue omongin. Yang mau gue tanyain itu, kenapa dia bisa manggil gue Ayah?" tanyanya.

Mendengar pertanyaan itu, gue segera memutar otak untuk menjawabnya se-masuk akal mungkin agar Trina nggak di salahkan dalam hal ini.

"Mungkin karena muka lo kayak bapak-bapak kali. Makanya dia manggil lo BAPAK." ucap gue dengan nada yang gue buat se-meyakinkan mungkin.

Askar terlihat nggak terima, dia mengerutkan dahinya menatap gue lalu menghembuskan napasnya karena mungkin merasa kalo wajahnya memang kayak amang-amang.

"Gue serius. Pas anak itu manggil gue Ayah, hati gue kayak bergetar dan degdegan. Apalagi pas kita tatapan. Gue kayak ngerasa ada sesuatu ikatan yang gue sendiri nggak tau apa itu. Gue nggak kenal elo, bahkan ini kali pertama kalinya kita ketemu. Tapi kenapa gue bisa ngerasain hal kayak gitu?" ujarnya, dengan mata yang memandang ke arah lain.

Sementara gue sendiri yang mendengar pernyataannya terdiam. Gue nggak menyangka kalo dia merasakan hal yang sama dengan apa yang gue rasakan. Gue juga merasa kalo gue sama dia memiliki ikatan. Tapi itu nggak mungkin kan? Gue nggak kenal dirinya. Bahkan selama gue disini dan sering bolak-balik itu sekolahan, baru kali ini ketemunya. Terus kenapa gue bisa ngerasain hal kayak gitu. Lebih parah lagi si Trina memanggil Askar sebagai Ayah.

Pemikiran itu berhasil membuat gue tersadar. Gue menatap Askar yang masih menatap lantai dan gue memperhatikan wajahnya baik-baik. Gue membanding-bandingkan wajahnya dengan wajah Trina mencari kemungkinan adanya kemiripan di antara keduanya. Namun detik berikutnya gue langsung menggeleng kuat.

Itu nggak mungkin. Wajah mereka nggak ada yang mirip. Apalagi posisinya dia lebih muda dari gue. 3 tahun lagi selisihnya. Nggak mungkin kan gue hamil sama anak sekolahan? Jelas nggak mungkin. Gue udah gila berpikiran kalau dia adalah Ayah dari Trina.

"Gue merasa ada yang nggak bener. Dan gue pengen mencari tau tentang hal itu. Apa gue boleh melakukannya?" tanyanya setelah diam beberapa saat.

"Hah? Maksudnya?" balas gue.

"Gue mau mencari tau maksud dari perasaan gue ini. Sekarang gue bahkan ngerasa deg-degan ngomong dan bertatapan langsung sama lo kayak gini. Dan itu dalam hal yang baik. Gue merasa senang yang gue sendiri nggak tau kenapa. Jadi gue minta izin sama elo untuk mencari tau alasannya. Boleh?" jelasnya. Dan lagi-lagi dia mengucapkan kalimat yang sama dengan apa yang gue rasakan.

"Oke. Gue ijinin. Tapi lo mau ngelakuinnya dengan cara apa?" tanya gue. Gue pun juga penasaran sebenarnya.

"Gue bakal tinggal disini sampai gue tau jawabannya." ujarnya enteng.

"Hah!?"

"Nggak ada, nggak ada! Itu mah namanya lo modus. Cara macam apa itu main pengen tinggal disini segala. Gue kenal lu aja kagak. Ngobrol aja cuma gegara firasat yang nggak jelas. Nggak nggak nggak. Ntar tau-taunya lo orang jahat lagi." balas gue langsung dan menolak gagasannya.

"Udah ah sana. Lo balik sekolah. Ganggu waktu gue aja lo." tambah gue dan bangkit dari duduk gue.

Gue berniat pergi dan beranjak dari sana. Namun gue gagal melakukannya karena Askar menahan tangan gue dan membuat gue berhenti melangkah saat itu juga.

Gue ingin berbalik dan bersiap untuk memarahinya. Namun gue kembali gagal, karena dengan tiba-tiba Askar memeluk gue erat dan menempelkan telinga gue ke dadanya yang berdetak cepat yang sangat jelas gue dengar dan gue rasakan. Gue terdiam mendengar detakan itu yang seirama dengan detak jantung yang gue rasakan. Apalagi saat Askar berkata dengan suara yang lembut yang menyapu gendang telinga gue dengan indahnya.

"Gue bener-bener merasakan hal yang ngebuat gue pengen mencari taunya, Kak. Dan gue mohon sama elo untuk ngijinin gue melakukan hal itu dengan cara yang gue ajukan tadi." ujarnya.

Mendengar dia menyebut nama gue dengan sebutan Kak, apalagi dengan nada yang lembut membuat gue nggak ada pilihan lain selain mengiyakan permintaannya. Gue sendiri nggak tau gue mengiyakan permintaan itu menggunakan logika gue atau perasaan gue. Tapi yang jelas, gue merasakan kenyamanan yang nggak bisa gue jelaskan begitu gue merasakan pelukan hangat yang Askar lakukan terhadap gue.

Dan gue nggak ingin hal ini cepat berakhir. Walaupun itu cuma mimpi.

Trina.... Maafin Mamak Nak, udah gatel begini sama cowok lain. T.T

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel