8
"Pagi-pagi jangan ngelamun, Kak. Ntar kesambet." ujar seseorang yang ngebuat gue langsung noleh ke asal suara.
Gue memasang senyum gue dan menggeleng pelan begitu menyadari kalau suara tersebut berasal dari Fian yang sudah siap dengan seragam yang memperkenalkan restoran ini.
"Liat Diki nggak pas kesini?" tanya gue yang menyadari kalau dirinya datang sendiri tanpa adanya Diki--partner kerjanya.
"Dia ada diluar, Kak. Katanya masih merinding. Kedinginan mungkin." ujar Fian, lalu kemudian berlalu pergi untuk menuju dapur. Sementara gue yang mendengar ucapannya segera berbalik dan berjalan mendekat ke arah pintu keluar untuk memastikan ucapan Fian barusan.
Dan bener aja, di balik pintu bisa gue liat kalo Diki lagi jalan bolak-balik terlihat ragu yang jelas tergambar di wajahnya. Gue yang melihat itu sontak merasa bersalah. Gue segera membuka pintu tersebut dan berjalan mendekat ke arahnya yang saat ini terlihat gugup melihat sosok gue yang mendekat.
"Kenapa belum masuk, Dik?" tanya gue ingin memastikan alasannya yang masih berada di luar restoran.
Ia terlihat ragu untuk menjawab, namun dengan cepat dia menggeleng dan berlalu pergi meninggalkan gue untuk masuk restoran. Gue tau itu nggak sopan, dan gue rasa anak muda jaman sekarang sopan santunnya udah nggak ada. Tapi untuk Diki gue maklumin, mungkin dia masih syok ngeliat adegan yang mungkin baru pertama kali dia liat.
Gue menghembuskan napas gue pelan lalu kemudian berbalik badan berniat untuk masuk kembali ke dalam restoran. Namun gue urungkan begitu satu orang menggunakan pintu itu terlebih dahulu untuk keluar dari sana, dan orang itu adalah Askar yang sudah berganti pakaian menjadi pakaian santai namun terlihat rapi bersama Trina yang juga sudah berganti pakaian yang saat ini tengah di gendongnya.
Gue mengerinyit dan bingung memikirkan tujuan mereka. Namun karena gue lambat dan malah terus berpikir, gue akhirnya ketinggalan mereka berdua yang udah nyetop taksi dan berlalu pergi meninggalkan gue.
Gue panik dong, gue mikir kalo Askar saat ini lagi bawa anak gue kabur. Dia lagi nyulik anak gue si Trina. Jadi gue dengan cepat nyetop taksi yang baru lewat dan nyuruh si sopir ngikutin mobil yang Askar gunakan.
Gue beneran panik, bahkan gue lupa bawa hp untuk menghubungi Askar yang sayangnya gue pun nggak punya nomornya juga. Jadi gue cuma bisa berharap-harap cemas sambil mata mengikuti mobil yang ditumpanginya.
Tapi entah apa yang terjadi. Setelah mobil yang gue ikutin berhenti, yang keluar dari sana bukanlah Askar dan Trina. Melainkan orang lain yang nggak gue tau siapa. Gue makin panik, apalagi gue nggak punya apa-apa tentang Askar. Rasa menyesal, kesal, sedih, marah menjadi satu.
Harusnya gue mengikuti logika gue waktu itu buat nggak ngijinin dia tinggal dirumah gue. Harusnya gue ngusir dia. Harusnya gue sadar kalo dia emang penjahat dan mengincar Trina.
Tanpa sadar gue meneteskan air mata menyadari kebodohan gue yang membawa singa masuk ke dalam rumah. Kini gue udah kehilangan jejaknya. Gue bahkan udah melaporkan penculikan, tapi Pak Polisi nggak percaya setelah memeriksa rumah gue yang ternyata masih ada barang-barang Askar disana. Gue udah ngebantah kalo Askar bisa aja nyulik tanpa memerlukan barangnya. Tapi itu percuma, polisi cuma bisa bilang kalo Trina ataupun Askar belum balik rumah sampai 24 jam. Barulah laporan gue di proses.
