7
Gue menatap heran ke arah Askar yang saat ini asik bermain bersama Trina yang sedari tadi tertawa gembira yang mana hal ini baru kali ini gue liat Trina bisa deket dengan orang yang baru dia kenal.
Gue nggak mau langsung ambil keputusan kalo Askar beneran Ayah Trina. Karena dari logika yang gue punya pun itu nggak ada nyambung-nyambungnya sama sekali. Coba pikir deh. Umur masih tuaan gue, dia masih sekolah. Ya gue tau sih, cowok udah bisa menghasilkan anak walaupun itu masih remaja. Tapi gue nggak sebodoh itu kan ngelakuin hal intim sama anak di bawah umur?
Gue tau gue nggak inget apa-apa. Tapi gue bisa yakin kalo gue nggak pernah ada hubungan apapun sama dia. Kalaupun iya, pasti adalah sedikit-sedikit ingatan gue tentang dirinya. Dan kalaupun emang bener, seenggaknya Askar juga tau dan ngasih bukti kalo kita emang dulu punya ikatan. Maksud gue, dia nggak mungkin lupa ingatan juga kan?
Tau ah. Pusing gue, malah waktunya udah mau buka restoran lagi.
"Oi!" panggil gue ke Askar yang bagusnya langsung noleh ke gue.
"Gue?" tanyanya sambil membawa Trina ke gendongannya, lalu kemudian berjalan mendekat ke arah gue.
"Ada apa?" tanyanya lagi.
"Lo harus tanggung jawab!"
"Hah? Tanggung jawab apa? Lo hamil? Kan kita baru ciuman doang." ujarnya dengan mengeluarkan ekspresi berlebihan. Gue dengan kuat langsung memukul bahunya.
Askar meringis dan pura-pura kesakitan di depan Trina yang mana hal itu membuat Trina dengan lembut mengelus bahu Askar yang baru aja gue tabok tadi.
"Hamil pala lo peyang! Maksud gue lo tanggung jawab sama restoran ini. Liat, Diki belum dateng sampe sekarang gegara perbuatan lo. Restoran masih berantakan dan belum ada persiapan ayam gorengnya. Malah bentar lagi buka lagi. Pokoknya lo harus tanggung jawab!" balas gue yang menjelaskan kemauan gue.
"Pappah marah jangan." balas Trina yang menyahut sambil menggelengkan kepalanya.
"Tuh denger. Jangan marah-marah. Masih pagi. Lagian apa sih yang bisa gue lakuin biar bisa tanggung jawab? Ngasih uang ganti rugi?" ujarnya yang malah bikin gue tambah kesel.
"Lo pikir dengan uang semuanya bisa selesai gitu?" tanya gue padanya. Dia mengangguk.
"Bisa dong. Gue tinggal pakein duit itu buat bayar orang untuk bersihin restoran lo. Gampang kan?" ujarnya enteng. Gue kesel, dan menggeram sambil ingin kembali menaboknya.
"Eits. Ga kena!" ucapnya begitu dirinya berhasil menghindar dari serangan gue.
"Bisa nggak sih lo sopan dikit sama gue? Gue lebih tua disini. Dan seharusnya lo manggil gue Abang!" ucap gue yang masih kesel dengan kelakuannya.
"Nggak mau gue. Lo nggak cocok buat jadi Abang. Lo pendek. Cerewet, dan nggak ada wibawa seorang Abang sama sekali. Jadi, sorry." ujarnya lalu kemudian menjauh dari gue hingga akhirnya sosoknya menghilang di balik tembok tepat ke arah masuk rumah.
Gue emang udah bolehin dia tinggal disini. Dan itu tentu saja karena terpaksa. Trina bakalan teriak dan ujung-ujungnya nangis saat gue ngusir Askar dari sini. Karena gue seorang Papa yang baik dan bertanggung jawab. Jadi gue nggak bisa ngebuat anak gue nangis lama-lama dan akhirnya gue ijinin Askar buat tinggal disini sampai dia dapet apa yang dia mau sebenarnya walaupun gue sendiri bingung gimana ntar dia tidur nantinya, karena kamar di rumah gue pun cuma dua, kamar gue dan satu lagi kamar Ayah angkat gue yang tentu aja nggak bakal gue ijinin Askar tidur disana.
