Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5

Gue pikir itu anak cuma bohongan kalo dia bakalan tinggal disini untuk memastikan ikatan apa yang sebenarnya terjadi antara gue dengan dirinya. Tapi gue salah. Anak itu beneran pengen tinggal dirumah gue begitu gue ngebuka pintu restoran dan mendapati sosoknya yang sudah siap dengan dua koper besar yang terletak di kedua sisi samping nya.

"Morning, Kak." sapanya sambil memasang senyum lebar yang sayangnya ngebuat gue ilfeel entah kenapa.

"Morning-morning udel lu bodong! Ngapain lo pagi-pagi kesini? Restoran gue belum buka. Bukanya jam lapan! Mending sekarang lo balik terus mandi, baru sekolah. Dan buat apaan tuh koper?" ujar gue sambil menunjuk koper yang ia bawa.

"Oh ini. Ini baju-baju gue, Kak. Kan mulai hari ini gue bakal tinggal disini, untuk jalanin misi mencari tahu tentang hubungan di antara kita berdua dan juga anak kakak." ucapnya sambil mengangkat koper besar itu dengan mudahnya. Setelah ia berniat untuk melangkah masuk namun segera gue halang dengan kedua tangan gue yang gue rentangan di ambang pintu.

"Nggak ada, nggak ada. Kan udah gue bilang, perasaan kemaren yang kita rasain itu cuma karena kita baru kenal. Makanya deg-degan kayak gitu. Udah, mending lu balik sana. Ntar dicariin bokap nyokap lo lagi." ujar gue sambil menggunakan satu tangan gue untuk mengusirnya.

"Kok gitu sih? Bukannya kemaren lo udah sepakat dan setuju ya kalo gue bakal tinggal disini? Gimana sih!? Udah tua kok labil." balasnya.

Gue pengen marah sebenarnya. Tapi dari apa yang dia ucapin nggak ada salahnya juga. Ditambah dia masih anak sekolahan yang umurnya jauh beda sama gue, jadi gue cuma bisa menahan marah gue sambil menghela napas pendek.

"Kemaren itu gue cuma iyain supaya lo cepet pergi. Gue nggak bermaksud beneran nerima elo disini. Yakali, gue aja baru kenal sama elo kemaren. Identitas, keluarga, bahkan latar belakang lo aja gue nggak tau. Mana mungkin gue dengan mudahnya ijinin lo dengan alasan yang gue sendiri aja nggak yakin." jelas akhirnya. Gue menaruh kedua tangan gue di dada sambil menatapnya yang sudah meletakkan kembali kopernya.

"Justru karena itu. Gue kesini biar bisa ngeyakinin lo, bahkan gue juga. Gue juga belum yakin, tapi kalo kita nggak mencobanya kapan kata yakin itu tercapai? Plis lah. Gue bener-bener penasaran. Gue mohon sama elo, gue merasa ada ikatan besar diantara gue maupun Trina. Seumur hidup gue, gue nggak pernah mohon-mohon kayak gini. Masalah latar belakang lo nggak usah khawatir. Gue termasuk salah satu keluarga terhormat yang bisa dengan mudah masuk ke sekolah yang hanya orang kalangan atas aja." jelasnya, dia mengambil satu tangan gue dan menggenggamnya pelan.

Gue menggeleng pelan, "Latar belakang yang gue maksud bukan soal kekayaan lo. Tapi tentang sikap, sama sifat. Gue belum kenal sama elo. Ya walaupun Dimas kenal. Tapi itu nggak menutup kemungkinan bagi gue untuk menolak disini." ujar gue yang masih kekeh.

"Gimana mau saling kenal kalo lo aja nggak ngijinin gue untuk mengenal lebih dalem sosok elo." ujarnya.

"Plis sadar. Lo masih kecil. Lo juga cowok. Nggak pantes untuk ngomong kayak gitu. Hargain gue sebagai orang dewasa. Ini keputusan gue. Jadi gue mohon supaya lo berhenti meminta tinggal disini dengan alasan yang nggak meyakinkan."

"Apanya sih yang nggak meyakinkan!?" ucapnya nadanya sudah meninggi sambil menghempaskan tangan gue yang sempet di genggam tadi.

"Keingintahuan elo, rasa penasaran lo, perasaan lo, dan semua yang lo sebutkan tadi. Itu nggak meyakinkan dan nggak ngaruh apa-apa sama gue!" balas gue yang ikut terbawa emosi dengan nada tingginya.

Askar terlihat kesal, ia mengacak rambutnya kasar lalu dengan mata yang memerah dia berujar.

"Oke. Biar gue yakinin lo gimana perasaan gue saat ini setelah melihat lo kemarin." ucapnya, lalu maju selangkah mendekat sehingga kini hanya beberapa senti jarak diantara kami berdua.

Gue gelapan, gue menatapnya sambil berkedip beberapa kali.

"L-lo...jangan berani macem-macem s-sama gue ya." ucap gue terbata sambil menyilangkan kedua tangan gue di dada membuat perlindungan yang siapa tau aja dia berbuat yang nggak-nggak.

Dia menundukkan kepalanya. Dengan mata merah yang berair, Askar menaruh satu tangannya untuk menyentuh pipi gue dan mengelusnya pelan.

Gue yang merasakan tangannya di pipi gue pun tersengat. Gue yang tadinya di serang panik, kini perlahan menjadi tenang. Tatapan gue yang penuh tameng pun berubah menjadi teduh dan entah kenapa terasa menyakitkan melihat kedua matanya yang terlihat ingin menangis. Jantung gue berdetak sangat cepat seakan ingin keluar dari tempatnya. Apalagi saat ini jarak wajah gue sama dia kian menipis.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel