Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2

"Trina. Sini, ayo pulang." ucap gue setelah diam cukup lama memandangi wajah siswa itu yang bername-tag Askar.

Trina menoleh, namun setelahnya dia menggeleng kuat dan kembali memeluk erat kaki Askar. Gue yang melihat itu merasa nggak enak tentu saja, gue tersenyum canggung ke arahnya lalu perlahan berjalan mendekat untuk menghampiri Trina.

"Maaf, ya." ujar gue tulus saat sudah berada di hadapannya. Setelah itu gue pun berjongkok untuk meraih Trina dan melepaskan pelukannya walaupun dengan sedikit usaha agar bisa terlepas dari kaki siswa itu.

Trina mulai menangis kencang, ia memberontak di gendongan gue meminta agar gue melepaskannya dan membiarkannya kembali memeluk kaki itu. Tapi kali ini gue nggak bakal menurutinya. Apalagi saat gue melihat ekspresi bingung yang di keluarkan siswa itu, ngebuat gue merasa bersalah karena udah membuat dirinya menjadi pusat perhatian sekarang.

"Sekali lagi maaf, ya." ucap gue membungkuk sedikit ke arahnya, lalu berbalik dan berjalan cepat untuk segera pergi dari sini. Semua mata siswa-siswi yang melihat ke arah gue semuanya menakutkan, seakan-akan gue udah melakukan kesalahan besar yang sulit untuk di maafkan. Tapi apapun itu, gue nggak peduli. Yang penting sekarang gue harus keluar dari sini dan nenangin Trina yang masih menangis kencang sepanjang perjalanan menuju gerbang.

Namun saat gue berhasil keluar dari sekolah itu, Trina dengan hebat langsung diam dan nggak menangis lagi. Matanya yang tadinya mengeluarkan air mata, kini sudah berhenti dan di gantikan dengan dirinya yang sibuk memainkan kedua jari tangannya. Gue yang melihatnya tentu saja bingung. Gue bahkan berhenti melangkah untuk memastikan kalo Trina bener-bener udah tenang dan nggak nangis lagi.

"Pap-pah. Bobok." ucap Trina duluan sebelum gue menanyakannya. Gue yang mendengarnya pun nggak jadi bertanya dan malah memperhatikannya menguap lebar yang berakhir dengan kepalanya yang ia senderkan di bahu gue dan detik berikutnya gue pun bisa merasakan deru napasnya yang tenang dan teratur menandakan kalau dirinya sudah terlelap tidur di bahu gue.

Gue pun hanya bisa menghela napas, menyadari perubahan suasana hati Trina yang sangat drastis. Ini membuat gue bingung namun gue merasa senang juga. Tapi entahlah, gue nggak mau terlalu memusingkan hal itu. Trina masih kecil, sifat dan sikapnya belum terbentuk dan terbaca. Jadi gue akan melupakan hari ini dan memulai memikirkan apa yang akan gue lakukan selanjutnya.

Askar.

Nama itu kembali terngiang di otak gue. Wajahnya yang terlihat bingung sekaligus mata gue dengan dia yang saling menatap tajam berhasil ngebuat gue memikirkannya. Gue nggak tau kenapa, tapi yang pasti gue memiliki perasaan aneh kepadanya, dan gue nggak tau apa itu.

Dia terlihat seperti bocah 16 tahun lainnya dengan wajah polos yang tampan dan terlihat sangat segar, di bandingkan gue yang sudah punya anak 2 tahun. Dia bahkan lebih tinggi dari gue yang notabenenya gue lah yang lebih tua. Heran deh gue sama bocah-bocah jaman sekarang. Kok bisa ya tinggi-tinggi begitu. Apa mereka tiap hari di kasih makan bambu ama emaknya biar bisa tinggi begitu? Entahlah, gue juga tau. Tapi kali itu bener, gue mungkin bakal mencobanya buat Trina.

Gue kembali memasuki restoran dan tersenyum ramah kepada pelanggan yang menatap ke arah gue. Setelahnya gue pun masuk ke dalam, dan membuka pintu yang mana pintu itu menghubungkan langsung ke rumah gue yang nggak terlalu besar itu. Gue cukup kagum sama Ayah, karena dia mendesain restoran ini dengan baik. Bagian belakang adalah rumah pribadinya, sementara bagian belakang adalah restoran tempat sumber penghasilannya.

Tentang Ayah... Gue cuma tau kalau dia adalah lajang tua yang gagal menikah. Dia nggak punya saudara ataupun kerabat yang peduli padanya. Entahlah, beliau nggak mau cerita banyak tentang keluarganya. Jadi gue nggak terlalu tau tentang Ayah selain statusnya yang sampai saat ini gue ketahui sebagai lajang.

Gue meletakkan Trina ke atas kasurnya begitu gue sudah masuk ke dalam kamar. Mengelus rambutnya sebentar lalu mengecup keningnya dalam. Setelah itu gue pun menyelimutinya hingga setengah badan, lalu gue pun tersenyum hangat menatapnya.

Gue bangga memiliki Trina. Dia anak yang manis dengan otak yang cerdas. Ya, walaupun dia kadang rewel dan susah di atur seperti tadi. Tapi bagaimanapun, dia tetaplah satu-satunya orang yang gue cintai di dunia ini. Jadi gue akan akan melindungi dan menjaganya sebisa dan semampu gue untuk Trina.

Suara ketukan pintu membuat gue tersadar dari lamunan gue terhadap sosok Trina yang sedang tertidur pulas. Gue tersenyum hangat menatapnya, setelah itu gue pun beranjak dari sana untuk membuka pintu dan mendapati sosok Fian yang langsung tersenyum ramah begitu berhadapan dengan gue. Gue membalas senyumannya lalu setelahnya gue pun keluar dari kamar dan menutup pintu itu agar Trina nggak terganggu dengan obrolan gue dan Fian.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel