1
"Papah. Sekolah Ooh?" ucap Trina dan menyadarkan gue dari lamunan gue yang mengingat kilas balik keberadaan sosok Ayah.
Gue menoleh ke arahnya dan tersenyum lembut sambil mengecup pipinya singkat.
"Iya, kita bakal kesekolahnya Om Dimas. Trina seneng?" balas gue. Dia mengangguk lalu tersenyum lebar dan menampilkan gigi kecilnya yang terlihat menggemaskan di mata gue.
Gue mengusap kepalanya pelan lalu menggendongnya begitu suara Fian terdengar dan menyerukan nama gue. Gue menghampirinya lalu mengambil plastik yang di taruh di atas meja kasir tersebut.
"Pesanannya kaya biasa atau beda?" tanya gue ke Fian.
"Yang biasa kok kak." jawabnya, gue pun mengangguk mengerti.
"Oke deh. Aku berangkat dulu ya." pamit gue, lalu setelahnya gue pun berjalan keluar restoran untuk mengantarkan pesanan ayam dari sekolah mewah yang terletak di seberang jalan.
Sebenarnya gue nggak terlalu suka saat harus masuk ke dalam ke sekolahan itu. Murid-murid yang belajar disana selalu memandang gue rendah seakan gue nggak pantas berada di sana. Namun berbeda sama Trina, dia sangat antusias setiap kali ada pesanan dari sekolah itu. Dia pasti akan tersenyum sumringah dengan mata yang berbinar menatap seisi sekolah seperti saat ini dia lakukan.
Apalagi kalo dia udah ketemu sama Dimas. Pelanggan yang nggak pernah absen pesen di tempat gue, pasti Trina bakalan manja dan terus minta gendong sama tuh orang. Gue sih nggak masalah, tapi pandangan murid-murid disitu yang bikin gue nggak betah dan pengen cepet-cepet balik.
"Kak Wisnu!" suara teriakan Dimas mulai terdengar saat gue memasuki wilayah kantin dan menajamkan penglihatan gue untuk mencari sosok Dimas.
"Disini, Kak!" teriaknya lagi, dan kali ini gue berhasil menemukannya. Gue mulai berjalan mendekatinya dengan kedua sudut bibir yang gue tarik ke atas untuk tersenyum ramah menatap Dimas.
Namun belum juga gue sampai ke tempat Dimas duduk. Trina tiba-tiba berontak dan minta turun dari gendongan gue. Gerakannya cukup cepat sehingga membuat gue nggak ada pilihan selain menurunkan dia dari gendongan gue yang bermaksud agar dirinya berjalan sendiri menuju Dimas.
Tapi perkiraan gue melesat jauh dari apa yang gue pikirkan. Trina malah berlari ke arah lain dengan cepat hingga ngebuat gue panik dan tentu saja langsung mengejarnya. Begitu pula dengan Dimas, dia juga berdiri dari duduknya dan ikut berlari kecil untuk mengejar Trina yang berlarian dan mengganggu murid lain yang sedang istirahat.
Gue yang takut terjadi sesuatu yang buruk pun segera sigap mempercepat larian gue untuk mengejar Trina. Tapi sepertinya itu nggak di perlukan lagi. Karena kini Trina sudah berhenti di depan seorang siswa yang tubuhnya lebih tinggi dari gue dan memeluk kaki siswa itu erat.
Gue langsung berhenti melangkah saat itu juga, begitupun dengan Dimas yang kini sudah berada di samping gue. Gue mengatur nafas yang lumayan menguras tenaga tadi, lalu setelahnya gue pun mendongak untuk melihat siswa itu yang kakinya masih di peluk erat oleh Trina.
Dan gue terdiam. Gue merasakan getaran aneh saat melihat wajah dan mata siswa itu di dalam hati gue. Gue merasakan sakit dan sedih secara bersamaan, gue bahkan ingin menangis saat ini juga hanya dengan bertatapan olehnya. Gue nggak tau kenapa, gue bingung kenapa gue merasakan hal ini. Jantung berdebar, dan perasaan sedih yang amat dalam. Di tambah lagi dengan ucapan Trina yang kencang memanggil siswa itu dengan sebutan yang berbeda dengan gue, yaitu...
"Ayah!" ucap Trina.
