Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 8: Sex In Forest

Zach

Lara Lea Stevenson memang ditakdirkan untukku, aku bertemu dengannya, mencari tentangnya kemana saja sampai kebetulan demi kebetulan mempertemukan kami. Ayahku bukan tak sengaja atau kebetulan. Dia telah merencankan perjodohan dengan keluarga Stevenson sejak lama. Itu sebab dia merasa hutang budi atas sesuatu, selain itu dia tak ingin permusuhan dengan Stevenson. Dia ingin mengakhiri semuanya dengan syarat Lara harus menikah denganku agar Stevenson dapat dibantu oleh kami dalam menyelesaikan masalah mereka.

Penolakan Lara jelas terlihat semalam, aku tidak akan membuat dia pergi dari hidupku sebab akupun sudah menaruh hati kepadanya. Dia merupakan satu-satunya yang ku cintai semenjak kepergiannya. Aku tak menyangka dapat jatuh cinta lagi setelah sekian lama. Meskipun begitu, aku tak bisa menghapus semua kenangan bersama si biru, semua kenangannya masih tersimpan baik di suatu tempat. Sedikit masih ada rasa tersisa di dalam hati ini yang sulit untuk ku ungkapkan hanya saja aku tidak menampakannya. Masa lalu itu sudah berlalu kian 3 tahun yang lalu.

Pernikahanku dengan Lara dipersiapkan dengan baik walau jangka waktunya hanya 2 minggu. Waktu yang begitu singkat bagi Lara untuk mengenalku, bahkan dia tak mencoba untuk mengenalku lebih dalam. Kala aku melihat tatapan matanya aku melihat ada kesedihan yang masih tersimpan, mungkin saja dia masih mengingat tentang masa lalunya. Dia sendiri mengatakan bahwa dia tak siap untuk berkomitmen namun, apa daya pernikahan ini sudah terlanjur direncanakan.

Undangan, dekorasi, venue, gaun pernikahan, katering semuanya sudah dipesan, undangan telah disebarkan. Aku bahkan tak melihat bentuk undangannya seperti apa sebab semuanya serba dadakan. Aku masih tidak mengerti apa alasan ayahku menikahkan aku secepat ini, hanya dalam dua minggu tepat sore kemarin ketika dia memberitauku akan menjodohkan aku dengan salah seorang putri dari Harry Stevenson.

Persiapan pernikahan telah diatur oleh ayahku, aku bekerja di kantor seperti biasanya. Aku mengirim pesan kepada Lara untuk mengajaknya makan malam hari ini akan tetapi, sepertinya ponselnya mati. Aku mengernyitkan dahiku heran melihat tampilan informasi pada kontaknya, terakhir dia melihat aplikasinya terhitung semalam, sampai pagi ini dia bahkan belum membukanya. Hanya satu centang abu-abu yang menandai pesan yang ku kirim. Aku ingin mengabaikan hal itu akan tetapi, firasatku mengatakan khawatir terhadapnya sehingga, aku memutuskan untuk menelponnya.

Hanya terdengar nada dering, tanpa tersambung. Aku sudah mencoba segala cara namun, tidak tersambung semuanya.

"Tuan, Nona Lara sedang dalam bahaya. Dia mengirim sinyal melalui kepada code red." Aku mengernyitkan dahiku heran sekaligus terkejut mendengar hal itu.

Aku segera bergegas mengikuti Can karena dia tau dimana keberadaan Lara. Can menjelaskan bahwa dia mendapatkan sinyal itu baru saja. Ponsel Lara memang sengaja tidak diaktifkan agar dia tidak di cari.

"Mengapa dia tidak meminta bantuan ayahnya?" tanyaku kepada Can.

"Nona Stevenson sepertinya kabur dari rumah, Tuan. Itulah alasan mengapa dia menghubungi red." Aku mengernyitkan dahiku heran, "Lara merupakan anggota Red?" Can mengangkat kedua bahunya sembari memutar setirnya menuju sebuah vila yang berada di tengah hutan.

"Nona Stevenson tidak mengkonfirmasi secara detail apakah dia anggota atau hanya semacam pembantu saja. Namun, dia memiliki akses untuk meminta bantuan tentara para pengawal atau tentara dari red secara penuh."

Aku tersenyum menyeringai, "Dia sepertinya membayar mahal untuk ini."

Can membuka pintu mobil, aku berjalan diikuti oleh Can dan beberapa pengawal red lainnya yang baru sampai. Aku masuk ke dalam, pintu vilanya tidak terkunci. Bangunan ini tidak asing, sepertinya aku pernah datang kesini sebelumnya hanya saja aku lupa tepatnya kapan. Lara duduk dengan wajah yang tenang di sofa, aku tidak mengerti mengapa dia hanya duduk tenang padahal dia dalam bahaya. Ketika aku masuk, dia langsung menghampiriku, detak jantungnya terasa berdegup begitu kencang.

"Zach, mengapa kau ada di sini?" Dia justru bertanya kepadaku, "Lara Stevenson, aku sudah mengatakan untuk tidak membawa siapapun, kau justru menghadirkan mereka." Lara menutup matanya ketika seorang pria datang bersama dengan seorang wanita yang hidupnya sedang terancam sebab pria itu melingkarkan tangannya dengan memegang pisau tepat di lehernya.

"Kau salah paham, aku adalah teman Lara." Tanganku menyentuh Can sebagai tanda untuk memberi sinyal agar anggota red lainnya bersembunyi terlebih dulu. "Kami datang untuk mengantarkan sesuatu, Can tolong ambilkan hadiahnya di mobil. Aku lupa membawanya." ucapku tenang, Can berkesempatan untuk keluar agar anggota red lainnya tidak masuk secara terburu-buru.

Pria ini tidak mungkin sendirian, "Apa kau baik-baik saja?" Lara mengangguk tenang, dia bersikap untuk tidak tegang sedikitpun meskipun sesaat dia sempat takut ketika menghampiriku.

"Aku tidak menemukan apapun di tempat ini, Nona Lara Lea Stevenson. Jadi, sebaiknya aku pergi." Dia melepaskan wanita itu lalu, menyembunyikan pisaunya. Dia turun dari tangga dan hendak keluar akan tetapi, salah seorang anggota red yang masuk melalui belakang pintu berhasil menembak kedua kakinya yang menyebabkan dia tidak dapat berlari. Anggota yang lain termasuk Can menangkap pria itu untuk diinterogasi di tempat khusus.

"Dia mencari dokumen itu." Lara menggigit jarinya panik, "Dia hampir saja memperkosaku, kau tau." keluh salah seorang wanita yang sempat ditawan oleh pria tadi.

"Tiffany, kau sebaiknya pulang dulu. Aku khawatir kau butuh istirahat, Ben bisa mengantarmu pulang."

"Aku bisa pulang sendiri, Lara. Tapi, terima kasih Tuan Foster kau datang tepat waktu." Dia menjabat tanganku lalu pergi setelah pamitan kepada Lara.

"Zach, terima kasih. Aku pasti akan dibunuh jika kau tidak datang-"

"Siapa mereka, Lara?" Aku memotong kalimatnya dan bertanya. "Aku rasa mereka orang suruhan Almond. Kau pasti tidak asing dengan Almond, mereka selalu menggunakan gelang besi warna silver dengan tanda huruf A dan S di dalam sebuah lingkaran. Mereka adalah orang Almonds." jelasnya terbata-bata.

"Apa tujuan mereka memburumu?"

"Ceritanya panjang, Zach. Aku tidak bisa menahan-" Dia mendekat, mencium bibirku, melumatkan lidahnya ke dalam dengan begitu cepat. Aku tak menyangka dia akan bergerak begitu gesit. "Maafkan aku, aku sangat panik. Aku butuh sedikit-"

"Tidak apa-apa, akupun senang dapat melayanimu, calon istriku." Ku pijat kedua pinggulnya.

Kami berciuman, bertukar ludah di dalam mulut. Aku memijat pinggulnya, membelainya dengan halus sembari dia mencium bibirku dengan cepat. Aku dapat mendengar deru napasnya yang terburu-buru. Dia benar-benar panik, ketakutan, dia hanya menahannya saja.

"Aku tau dimana tempat yang lebih aman untuk kita." Aku mengangkat tubuhnya, kedua pahanya melekat di pinggulku dengan erat. Dia memegang belakang kepalaku, masih menciumku tanpa henti.

Aku berjalan membawanya ke suatu tempat, tempat yang masih bersih ternyata. Sepertinya tempat ini terawat, aku berhenti sejenak untuk menghirup udara segar ketika sudah sampai di tempat yang berbentuk seperti pendopo, tidak ada dinding dan berada di tengah hutan. Lara membuka matanya dan terkejut melihat tempa ini.

"Kau pasti bercanda?" tanyanya kepadaku, aku menggelengkan kepala.

"Aku ingin memberikan sentuhan kepadamu di tempat terbuka ini, kau sangat panik, sayang. Kau butuh waktu sejenak untuk istirahat dan relaksasi. Aku akan membantumu, biarkan aku menjadi pelayanmu, Nyonya Foster."

"Zach, kita belum menikah."

"Kita akan menikah dua minggu lagi, Lara. Kau sebaiknya ingat itu." Aku menurunkan tubuhnya lalu, pergi untuk mengambil kain dan alas serta beberapa peralatan lainnya yang ku butuhkan.

Aku kembali kepada Lara yang sedang berdiri menghadap ke arah taman yang penuh dengan bunga segar. "Aku sengaja membeli tempat ini darimu agar kau tidak arogan karena memiliki tempat sebagus ini." Dia berbalik menatapku.

Aku tersenyum tipis, "Sepertinya kau masuk salah satu daftar dari pembenciku."

"Ya, aku sangat menghindari dirimu. Aku bahkan tak suka melihat wajahmu akan tetapi, malam ini kita justru dipertemukan." Dia mendengus kesal.

Aku meletakkan alasnya lalu, melucuti seluruh bajunya.

"Kau tidak keberatan bukan?" Dia menggelengkan kepalanya. "Can dan Ben tidak akan datang ke tempat ini, mereka tau tempat ini untuk apa." Dia menurunkan jas kerjaku lalu, perlahan membuka kancing kemejaku satu per satu. "Aku sangat membencimu atas segala hal yang kau lakukan kepadaku. Namun, aku tidak bisa lari bahkan sedetikpun darimu. Sepertinya kau akan selalu ada di setiap detik aku menghembuskan napas." ucapnya sedikit kesal.

"Oh jadi, Tiffany itu yang mengurus semuanya, hmm?"

"Iya, dia yang mengurus semua pembelian terhadap bangunan ini. Aku tidak punya waktu untuk menghadiri lelang." Dia melepaskan jas serta kemejaku, sekarang aku jadi setengah telanjang menampakkan dada bidangku kepadanya.

Aku menurunkan risleting dressnya, melucuti bra-nya dengan gentle lalu, menurunkan celana dalamnya pelan. Dia telanjang bulat tanpa sehelai kain sekarang. Kami tidak khawatir apabila ada yang mengintip sebab bangunan ini berada di dalam sebuah benteng. Yang dapat melihat adalah siapapun yang masuk ke area ini namun, tak akan ada sebab Can sudah berjaga di depan.

"Berbaringlah, Lara. Aku ingin menghilangkan seluruh rasa penat di dalam tubuhmu."

"Baiklah, Tuan." jawabnya berbisik tepat di telingaku.

Dia tengkurap di atas alas warna putih yang cukup lebar untuk dua orang. Aku mendekatinya, mengoleskan minyak ke atas punggungnya dengan lembut, aku menyentuhnya perlahan kemudian, memijat bagian belakang lehernya, pinggulnya kemudian bagian belakang tubuhnya mulai dari atas ke bawah sampai pantatnya yang ku olesi minyak pijat aroma lavender. Dia menutup matanya, menikmati setiap sentuhan tanganku yang memijat punggungnya.

Jari-jariku menyelinap di antara kedua pahanya yang menutupi kewanitaanya. Aku membelainya dengan lembut, menyentuhnya pelan naik turun sampai menemukan clit-nya yang kemudian ku mainkan dengan dua jariku yang menyelinap. Tangan kiriku menepuk bokongnya terus menerus sampai dia merasakan kenikmatan ditandai dengan suara desahannya yang mulai menggema. Aku suka mendengar suaranya yang membuatku seketika memasukkan kedua jariku ke dalam kewanitaanya yang sudah basah.

"Ahhh-Ahhh ahhh-" Dia terus mendesah sepanjang aku memainkan kedua jariku dengan tempo cepat. Dia sedikit keluar kemudian dengan cepat aku mengeluarkan batangku dari dalam celana yang sudah mengeras, sejenak ku olesi batangku dengan minyak pelumas lalu, ku tusukkan batangku ke dalam liang kewanitaan miliknya. Rasanya sangat nyaman berada di dalam dekapan antara kedua pahanya dan bokongnya yang lumayan besar. Aku mendorongnya dengan tempo pelan lalu, cepat. Lara sampai kewalahan mendesah, napasnya mulai terengah seiring dengan tempo gerakanku yang semakin cepat.

"Ahhhhh-ahhhhhhhh." Semakin kencang dia mendesah semakin kencang pula ku mainkan batangku keluar masuk di kewanitaanya. Aku memiringkan tubuhnya kemudian, sejenak menurunkan celanaku lalu, meletakannya di samping alas kami.

Aku tidur miring di sampingnya, menusukkan batangku ke dalam yang membuatnya menjerit merasakan nikmat tiada tara. Dia terus mendesah, aku memainkan putingnya dengan tangan kananku, putingnya bahkan terasa menegang. Aku memegang pinggulnya, mencium leher belakangnya, sesekali aku meremas payudara kanannya yang membuat dia semakin menggeliat merasakan kenikmatan. Aku terus mendorongnya sampai keringat membasahi tubuh kami berdua.

Napasnya terengah-engah karena tempo gerakanku yang cepat, dia terlentang. Sepertinya dia sudah keluar akan tetapi, aku melebarkan kedua pahanya, menaruh kedua kakinya di pundakku kemudian, menusukkan batangku memenuhi liang kewanitaanya. Dia memegang kedua tanganku yang menyangga tubuhku di kanan dan kiri tubuhnya. Dia menutup matanya, pasrah dengan napas yang terengah, keringat yang bercucuran akan tetapi, dia masih cukup kuat untuk menahan kekuatan batangku yang terus memenuhi liang kewanitaanya.

"Ahhhhh-ahhhh-ahhhhhh." Dia menjerit berteriak kesakitan dibalut dengan kenikmatan ketika cairan putih kental masuk memenuhi rahimnya. Sekaligus dia mengeluarkan cairannya sebagai tanda bahwa dia pun telah terpuaskan. Dia sedikit bergetar sesaat setelah aku mengeluarkan batangku dari liang kewanitaannya.

Kami berdua terlentang di atas kain yang menjadi alas tubuh kami. Angin terasa semilir menusuk melalui kulit kami yang tidak tertutup oleh sehelai kainpun. Tak terasa kini sudah sore menjelang malam. Aku membangunkan Lara yang larut dalam tidurnya, dia bergegas memakai handuk yang telah disediakan oleh pelayan lalu, mandi di tempat pemandian kiri pendopo ini. Aku menyusulnya, dia terlihat sedang mengetik sesuatu pada ponselnya. Dia terlihat begitu serius sampai tak menyadari kehadiranku.

"Lara, jika kau masih belum puas maka,-"

"Zach, maaf aku tidak melihat kau menyusulku kemari." ucapnya memotong kalimatku yang belum selesai. Dia spontan meletakkan ponselnya yang dimatikan, sekilas masih terpampang barisan chat yang belum dia balas sebelum dia menekan tombol power.

"Kau masih belum menjawab pertanyaanku tentang apa yang orang Almonds lakukan kemari?"

"Ya, itu cerita panjang. Bisa kita membersihkan tubuh kita dulu sebelum kita membahas topik itu?" Aku mengangguk lalu, mempersilahkan dia berendam di bathtub.

Aku masuk ke dalam bathtub, memeluknya. Dia menyenderkan kepalanya di pundakku karena merasa nyaman. Aku harap dengan semua ini dapat merubah hatinya untuk menikah denganku.

"Lara, kau tidak perlu menyembunyikan semua itu. Sebentar lagi kita akan menikah dan pernikahan kita berfungsi agar kau dibantu."

"Lebih tepatnya perusahaan keluargaku. Aku sebetulnya tak perlu dibantu, aku bisa melakukan semuanya sendiri." protesnya spontan.

"Kecuali seks." Aku tertawa kecil diikuti olehnya yang tersenyum nakal.

"Kau sepertinya bisa membaca kemauanku, Zach." ucapnya.

Dia berhenti sejenak melihat ke arah jendela dengan pemandangan gunung yang indah. "Kau tau, aku tidak bisa lari dari pernikahan ini jadi, ku pikir tak ada salahnya untuk mencoba denganmu. Atau jika kau tidak suka-"

"Mana mungkin aku tidak suka. Aku sangat mengharapkan ini terjadi, aku ingin kau menjadi istriku sebab aku telah jatuh cinta kepadamu." Aku menatap kedua matanya dalam, aku harap dia merasakan apa yang aku rasakan.

Kami berendam cukup lama, aku membersihkan tubuhnya begitupun dia sebaliknya. Kami sempat bermain bahkan bercanda. Senang sekali melihat dia tertawa sampai dia mendengar dering ponselnya yang membuat moment ini berhenti seketika.

To be continued...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel