Chapter 7: Escape Plan
Lara
Aku tidak percaya Papa akan bersikap seperti ini kepadaku. Tanpa sebuah pemberitahuan dia menjodohkanku dengan pria yang tidak pernah ku kenal. Egoisnya dia menggunakan aku sebagai jaminan atas kontrak kerja samanya dengan Foster. Aku tidak percaya dia tega melakukan semua ini di tengah-tengah kondisi hatiku yang masih belum membaik. Dia meninggalkan ruangan tanpa pamit tanpa sebuah negoisasi. Dia memutuskan sepihak, aku tak pernah menduga dia akan bersikap yang menyakiti perasaanku. Aku mungkin tak bisa membantah keputusannya sebab itu tidak bisa dipertanyakan.
"Aku akan meninggalkan kalian berdua untuk saling mengenal." Carl Foster beranjak dari tempat duduknya, melemparkan senyum tipis lalu meninggalkan kami berdua.
Aku tak suka kebetulan ini, sungguh. Aku tak pernah menyangka hal seperti ini akan terjadi kepadaku. Zach dan aku hanya sebatas orang asing yang bertemu melalui sebuah ketidaksengajaan sehingga, kami bermalam bersama di hotel. Dia hanya terdiam menatapku, kedua matanya seolah mengatakan dia merasa bersalah. Entah mengapa aku melihatnya berbeda. Aku butuh penjelasan namun, aku sangat malas untuk bertanya mengapa kita berakhir seperti ini. Aku sama sekali tak pernah menduga hal ini akan terjadi kepadaku.
"Aku pikir kau tau hal ini? Kau tampak terkejut." Aku menatapnya sinis, "Papa tak pernah memberitauku hal ini. Dia memutuskan hal itu secara sepihak, kau dapat melihatnya sendiri." Ucapku kesal.
"Aku mengerti perasaanmu, Lara. Namun, apa kita bisa lari dari semua ini?" Aku menatapnya serius, "Aku akan lari jika perlu, aku tidak mungkin menikah denganmu. Catatan kriminalmu__"
"Bagaimana kau tau semua itu?"
"Aku tidak ingin menikah hanya karena politik, aku tidak ingin menikah hanya karena harus menyelamatkanmu dari tindakan yang kau perbuat sendiri, Zach!" tegasku, aku beranjak dan hendak meninggalkannya akan tetapi, dia meraih pergelangan tanganku dan mencegahku untuk pergi.
"Aku akan melakukan apa saja asal kau menikah denganku, Lara. Akupun tak punya pilihan selain ini. Lagipula kau sudah icip-icip burungku di ranjang, apa itu tidak cukup untuk menyakinkanmu, hmm?" Dia terdengar menggoda, suaranya berbisik tepat di telingaku. Aku tak tau mengapa dia merendahkan diri untuk merayu seperti pria yang tak laku.
"Aku tidak ingin kau menolakku, akupun jatuh cinta denganmu jadi, ku pikir kebetulan ini sangat menyenangkan, bukankah begitu, Lara Lea Foster?" Aku menyipitkan mataku mendengarnya mengucapkan nama lengkapku yang salah, "Aku bahkan belum menjadi istrimu, Zach. Kau tidak bisa memanggilku dengan nama itu!" ucapku.
Aku berlalu meninggalkannya tanpa mengucapkan selamat tinggal, setidaknya aku dapat kabur sementara dari pria acak dan asing yang tak sengaja ku temui di hotel. Malam itu menyisakan sedikit kenangan yang masih tersimpan di ingatanku. Dia memang menciptakan sebuah kenangan di atas ranjang yang tak akan aku temui dengan Piers. Kenangan yang masih tersisa, kenangan berada di museumnya selama berjam-jam. Dia ternyata pengoleksi sejati, ada rasa misteri ketika memasuki museumnya. Aku masih merasakannya, setiap sentuhannya, suaranya yang baru saja ku dengar bahkan menggema di telingaku saat ini.
Kesendirian, kesepian tak pernah begitu membunuhku, sebagai anak terakhir di keluarga Stevenson aku tak pernah menuntut kedua orangtuaku untuk memberikan kasih sayang lebih. Aku bersyukur setidaknya hidup di dalam keluarga dimana setiap kebutuhanku terpenuhi. Meskipun saat ini ketika aku pulang, aku berada dalam kesendirian yang nyata. Tak pernah ada yang menyambutku ketika aku pulang ke rumah. Althea sibuk dengan pekerjaanya atau Hank yang sudah menikah dan tak pernah lagi berkunjung.
Aku sudah terbiasa dengan hal ini selama bertahun-tahun, meskipun memiliki saudara. Kehidupanku dengan mereka begitu berbeda, Althea lebih suka menyempatkan waktu untuk ngobrol dan bermain bersama teman-temannya sementara, aku sangat mencintai perpustakaan. Aku sangat mencintai buku-buku dan segala isinya yang begitu menarik dan misterius. Aku menyukai lukisan sejak aku kecil, aku suka menggambar. Menemukan Piers dalam hidupku sejenak membuat aku merasa aku berjalan bersama seseorang tanpa merasakan sepi lagi.
Bahkan setelah putus, kami masih berhubungan baik. Dia masih menelponku, menanyakan bagaimana kabarku, bagaimana hari-hariku. Komunikasi kami berjalan dengan baik setiap harinya, kami masih bertemu untuk makan siang sesekali. Setelah putus sekalipun, dia tak pernah benar-benar pergi dari hidupku. Ketika mendengar kabar kematiannya, semuanya seolah sirna termasuk harapanku untuk kembali dengannya, memulai semuanya dari awal hingga kami berjalan menuju pelaminan. Aku tak pernah bisa mengingat itu tanpa meneteskan air mata.
Tidur bersanding dengan air mata merupakan hal yang biasa bagiku, setelah kehadiran Piers hidupku terisi dan berwarna. Namun, semenjak kepergiannya hidupku mulai hampa, tak terasa bahkan sesekali aku mengingat kenangan dulu ketika aku berada di dalam kesendirian. Aku selalu melupakannya lewat pekerjaan yang aku kerjakan. Namun, setelah bertemu dengan Zach, aku seolah kehilangan segalanya bahkan nafsu untuk makan meskipun terasa lapar akan tetapi, aku kehilangan nafsu untuk makan. Aku memberesi bajuku dengan harapan dapat kabur malam ini.
Aku rasa Papa akan berada di Melbourne besok pagi bersama Mama, Hank dan istrinya. Althea akan bekerja di kantor sementara, aku akan melarikan diri di tempat yang mereka tidak ketahui. Aku tak siap untuk berhubungan apalagi membangun bahtera rumah tangga bersama pria yang baru saja ku kenal, semua itu terdengar gila dipikiranku. Aku tak dapat berpikir hal lain selain melarikan diri dari rumah ini sejauh mungkin. Meskipun mereka memberikan waktu untuk mengenal akan tetapi, aku tak yakin dengan dirinya. Tampangnya seperti lelaki yang senang mempermainkan wanita. Aku tak tau sebenarnya, aku hanya merasa seperti itu.
Dalam waktu yang singkat, mustahil untuk mengenalnya secepat itu. Aku hanya mengetahui jejak digital yang di post oleh badan intel sebab salah satu orang ayahku bekerja disana sehingga, aku dapat melacak sedikit tentang latar belakang kriminalnya. Aku tau dia melakukan hal yang sama, dia bahkan mencari tau tentang aku setelah ku tinggalkan dia di kamar tempo hari. Dia begitu penasaran dengan pesan yang ku tinggalkan, dia merasa ada misteri tentang diriku yang harus dipecahkan. Namun, sekarang aku bukan teka-teki untuknya, sepertinya hidup kami begitu dekat.
Memikirkan semua itu membuat mataku tak bisa tidur. Aku tertidur setelah membaca salah satu buku yang ku letakkan di meja kemaren. Untungnya, aku terbangun agak siang, sudah ku kirimkan surat izin palsu ke kantor untuk hari ini karena aku berencana untuk pergi meninggalkan semuanya. Terdengar sedih memang namun, aku harus melakukannya sebab tak ingin menikah dengan pria asing. Aku mempersiapkan diri untuk pergi, semuanya sudah siap dan tinggal beberapa barang yang belum ku masukkan ke dalam tas kecilku.
"Kau mau pergi kemana, Lara?" Suara ibuku, dia membuka pintu tetiba menanyakan aku.
Aku tidak menjawab dan tetap beberes dengan semua barang-barangku, aku harap dia tidak memperdulikan aku seperti selama ini dia yang tak pernah peduli dengan anak-anaknya.
"Jika kau ingin menghindar setelah keputusan ayahmu semalam, aku rasa kau perlu mempertimbangkannya lagi. Pernikahannya sudah disiapkan, undangannya telah disebar. Aku yakin kau tidak ingin mempermalukan keluarga kita, bukan?" Aku berhenti membereskan barangku, apa yang dia ucapkan sangat mengejutkan aku.
"Apa? Pernikahannya sudah disiapkan? Bagaimana mungkin?" tanyaku sedikit panik, aku tak mengharapkan itu sama sekali.
"Pernikahannya dua minggu lagi, Lara. Aku tau kau sangat terkejut akan tetapi, itulah keputusan ayahmu." Dia duduk di atas sofa, menghela napasnya sejenak, "Bukan tempatku untuk mempertanyakan keputusan ayahmu. Aku hanya berharap kau tidak mengecewakan kami. Itu saja."
"Kau sudah dewasa untuk memikirkan semua ini dan mengambil keputusan yang tepat." Dia membelai rambutku lalu, keluar dari kamarku.
Apa yang dia katakan benar, jika pernikahannya sudah dipersiapkan, undangan sudah disebarkan aku tidak bisa kabur jika ingin nama baik keluargaku tetap terjaga. Kecuali aku tak punya tanggung jawab untuk itu, aku bisa kabur kapan saja yang aku mau. Aku ingin berteriak karena pikiranku penuh dengan frustasi, aku merasa terpenjara, rasanya begitu sesak. Aku ingin menangis akan tetapi, tak ada hal yang berat yang membuatku harus menangis tersedu-sedu. Aku hanya merasa hal-hal ini akan berlalu, semuanya memiliki waktu untuk dilalui. Aku tetap membereskan bajuku tanpa menghiraukan perkataan ibuku. Bahkan jika aku tak membawa baju setidaknya kartuku masih berfungsi untuk transaksi.
Aku memiliki kartu kredit sendiri, murni hasil kerja kerasku selama menyabang di kantor orangtuaku. Mereka masih memberiku fasilitas termasuk mobil, rumah, dan pengawal pribadi yang siap mengantarkanku kemana saja, aku bahkan tak bisa memecatnya tanpa persetujuan ayahku sebab tugas pengawal adalah untuk melindungi hidupku yang tidak begitu berharga ini. Aku sangat jarang berbelanja, bukan pelit dengan diri sendiri hanya saja aku tak pernah punya waktu untuk sekedar berbelanja. Aku mendapatkan banyak hadiah ketika ulang tahun, baju yang sering ku pakai adalah pemberian dari mereka.
Aku mengeluarkan uang untuk pesta di club, mabuk, membayar hotel, terkadang menyewa pria jika tak ada yang menggoda di club. Hanya saja selalu ada yang menarik meskipun mereka hanya ku jadikan hiburan sementara.
"Apa anda yakin ingin pergi?" Tanya Deon ketika membuka pintu mobil belakang.
"Aku rasa mereka hanya bercanda, mana mungkin mereka memaksaku menikah dan memberikan waktu 2 minggu untuk mengenal. Itu semua terdengar gila dan tidak masuk akal. Kau tidak perlu ikut jika tidak berkenan-"
"Tidak, aku akan menjaga anda, nona. Itu adalah tugasku, aku tidak akan memberi tau siapapun mengenai kepergianmu, aku sudah menaruh kesetiaan terhadap anda sejak-"
"Piers mati." ucapku singkat, memotong kalimatnya.
Aku masuk ke dalam mobil, menikmati sepanjang perjalanan, menyenderkan kepalaku di kaca. Kepalaku terdengar berisik, mendebat segala keputusanku yang menjerumuskanku ke ambang bencana. Di sisi aku merasa bahwa mereka hanya bercanda juga aku berfirasat bahwa ayahku serius, jika tidak mana mungkin ibuku sampai memperingatkanku. Di kala pikiranku yang sedang berkecamuk, dering ponsel berbunyi yang seketika membangunkan lamunanku.
Ku lihat layar sekilas sebelum mengangkatnya, terdapat nama Sherlien.
"Lara apakah kau bercanda?" Dia terdengar girang di telpon, "Apa maksudmu?" tanyaku sebab aku tak mengerti apa yang dia tanyakan.
"Kau akan menikah, kan? Aku baru saja mendapatkan undangannya. Ternyata kau akan menikahi pewaris tampak anak milyuner itu. Aku tidak menyangkanya, keluarganya sangat kaya raya di Perth." Seketika jantungku seolah berhenti berdetak, baru semalam ayahku memintaku untuk menikah dengan Zach dan pagi ini ketika aku ingin melarikan diri, undangannya benar-benar sudah disebar.
"Kau hanya diam saja, apa yang terjadi denganmu? Apa kau baik-baik saja?" Tanyanya sedikit menaikkan nada suaranya, "Aku baik-baik saja, itu kejutan untuk semua orang. Aku dan Zach sengaja menyembunyikan semua ini____"
"Kau tau, kau tidak bisa berbohong denganku, Lara. Kau bahkan belum selesai dengan Piers. Mana mungkin kau menikah dengan orang lain. Zach sepertinya orang baru bagimu sebab selama ini keluarga kalian bermusuhan." ucapnya memotong kalimatku yang terbata-bata.
"Jika sudah tau mengapa harus bertanya, Sher? Akupun tak bisa lari dari belenggu itu. Aku tidak tau harus berbuat apa sekarang, semua ini ingin membuatku menyerah akan semuanya." ucapku pasrah.
"Lara, seharusnya tidak begitu. Aku mengerti kau lelah hanya saja kau bisa mencoba. Jika pernikahannya gagal, kau tau harus pergi kemana dan aku selalu bisa merekomendasikan obat terbaik untuk itu." ucapnya membujuk, aku sama sekali tak bergairah mendengar nasehatnya.
"Aku bahkan tak ingin mencoba meski hanya pacaran. Sebab pernikahan bukanlah permainan, Sher. Itu semua adalah janji di hadapan Tuhan meskipun aku dapat datang ke pengadilan kapan saja jika perlu namun, kau tau aku tak bisa menganggap hal ini sepele."
"Lalu, mengapa kau kabur, Lara?" Aku rasanya ingin mematikan ponselnya. Aku bosan mendengar dia mengoceh saja tanpa memberikan solusi justru dia mendukung keputusan ayahku agar aku mencoba untuk menjalani pernikahannya.
"Aku tidak kabur, aku hanya sedang ingin menghirup udara segar."
"Kau berbohong-" Dia terdengar ingin mengoceh lagi sehingga, aku mematikan ponselnya tanpa pamit.
Meskipun Sherlien teman baikku, dia juga sahabatku akan tetapi, seringkali nasehatnya tidak mendukung keputusanku sepenuhnya. Aku tau sebenarnya tak ada solusi untuk melarikan diri dari pernikahan itu akan tetapi, aku harap tinggal di tempat ini menjadi solusi sementara untuk ketenanganku. Aku ingin menghilang walaupun tak sepenuhnya akan tetapi, aku harap kedua orangtuaku menganggap aku mati agar mereka tak perlu susah-susah menikahkan aku dengan Zach.
Tempat yang jauh dari rumah, dekat dengan alama dan perlu waktu yang cukup lama untuk menempuh perjalanan kemari. Tempat ini bersih, asri dan suasanya sangat adem meskipun tak dipasangi air conditioner untuk ruang tamu. Aku sejenak merebahkan tubuhku di atas kursi sofa panjang sembari menon-aktifkan semua hal yang ada di ponselku sehingga, mereka tidak menemukan aku.
"Selamat datang, Nona. Apakah anda ingin cemilan?" tanya salah seorang pelayan, aku masih menutup mataku sembari menghirup udara segar seperti kebebasanku dulu.
"Ya, bawakan saja kesukaanku." perintahku tanpa membuka mata.
Aku ingin tiduran sejenak setelah perjalanan yang cukup panjang, siang perlahan berganti malam. Aku tak sadarkan diri sampai ketiduran di sofa dengan ponselku yang masih menyala, terdapat panggilan yang tak terangkat.
"Selamat Malam, Lara. Kau pasti terkejut mengapa aku ada disini?" Dia datang membawa cemilan yang ku minta tepat ketika aku sudah sampai. Pertanyaannya adalah bagaimana dia dapat datang ke tempat ini?
To be continued...
