Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 9: Wedding

Lara

Zach sepertinya pria berbahaya. Namun, dia calon suamiku itulah yang menghantui pikiranku. Aku terlena dengan semua sentuhan, gerakan yang dia berikan kepadaku. Setiap sentuhan tangannya memberikan rasa reda pada setiap nyeri yang ku rasakan. Aku merasa senang dengan semua hal yang telah dia lakukan kepadaku. Aku tidak menemukan pria lain selain dia yang dapat melakukan hal ini kepadaku. Setidaknya itu, hal yang membuat aku sejenak melupakan kenangan bersama Piers yang telah lewat.

Ku pikir dia tak akan mengikuti aku di tempat pemandian namun, dia diam-diam mengikutiku disaat aku sedang fokus membaca sebuah pesan. Aku harus menyembunyikan dokumennya, jika perlu aku harus memendamnya. Pesan gila, menyusahkan aku saja. Semenjak bekerja membantu Hank, aku sering direpotkan bahkan aku yang tadinya dapat damai dengan pekerjaanku sekarang teror orang Almonds terus mendatangiku dan hampir menyerang nyawaku.

Untunglah, Zach datang tepat waktu. Untung saja, jika tidak ada dia dan Red kemungkinan Tiffany dan aku sudah mati di tempat ini. Astaga! Mengapa hidupku menjadi tidak tenang begini belum lagi aku harus berdamai dan menerima kenyataan bahwa aku harus menikah dengan Zach. Aku mengalihkannya dari setiap pembicaraan mengenai mengapa Almond menerorku bahkan sampai masuk ke dalam vila yang jauh dari hiruk pikuk keramaian. Dia pasti bertanya-tanya apa pekerjaan pengawalku sampai aku dalam bahaya.

Namun, aku mengalihkan pembicaraan itu sebab Zach tak perlu tau menau urusan pribadiku. Jika menyangkut pekerjaan dan perusahaan aku pasti akan berbicara dengannya. Hal ini berbeda dengan masalah perusahaan. Kami bercanda di bathtub, bermain air, dia menciumku, memijatku, mendengarkan seluruh keluh kesahku yang tidak penting ini. Dia menikmatinya sampai berhenti menanyakan apa yang baru saja terjadi kepadaku sampai perhatian kami teralihkan karena ponselku berdering. Astaga! siapa lagi yang menelponku sekarang. Aku mengenakan handukku segera kemudian, mengangkat telponnya di luar ruang pemandian.

"Ku dengar Foster menangkap Almonds?"

"Jangan bicarakan itu sekarang, Zach ada di sini. Aku mencoba sekuat tenaga untuk mengalihkan pembicaraan ini namun, kau justru menelponku. Aku akan menceritakan semuanya nanti." ucapku terburu-buru. Aku berjalan semakin jauh menuju vila karena khawatir Zach akan mendengar percakapan kami.

"Aku hanya khawatir mereka justru berurusan dengan Almond. Tapi, ini semua salahku, Lara. Seharusnya aku tidak membiarkanmu dalam bahaya, semua ini karena hasrat balas dendamku." ucapnya merasa bersalah.

"Aku akan melakukan hal yang kau minta tapi, kau tidak boleh mengangguku. Aku harus mengalihkan perhatian Zach agar dia tidak menaruh curiga kepadaku."

"Baiklah, kalau begitu. Aku juga harus pergi." ucapnya pamit kemudian, telponnya ku tutup. Merepotkan saja, aku hampir mati karena hal itu.

"Lara, kau tampak panik." Zach masuk menghampiriku yang terlihat sedikit panik.

"Tidak, oh ya jika kau ingin ganti baju. Ada beberapa kemeja pria dan kaos santai di wardrobe sebelah kamarku. Itu jika kau tidak keberatan memakainya."

Dia tersenyum tipis, "Mengapa kau menyediakan pakaian pria di vila yang kau sendiri penghuni satu-satunya."

"Meskipun begitu tidak dipungkiri bahwa aku membutuhkan lelaki untuk seks."

Dia tertawa kecil, "Dugaanku ternyata benar," Dia mencium keningku lalu, menuju lift untuk berganti pakaian. Aku merasa lega karena dia tidak mempertanyakan hal yang sempat terjadi. Aku harap dia berhenti bertanya, bertanya tentang apapun mengenai hubunganku dengan Red maupun kejadian yang sempat menimpaku tadi pagi.

"Makan malam sudah disiapkan, kita bisa pergi untuk makan." ucapku menawarkan ketika dia baru datang. "Kau terlihat sangat cantik malam ini." Dia mencium leherku. Aku dapat merasakan ciumannya yang sedikit merangsangku akan tetapi, dia tidak melanjutkan gerakannya. Akupun tak mau memancingnya sebab tadi siang sudah lebih dari cukup.

Kami menuju meja makan, berbincang dan menyantap makan malam yang sudah disediakan. Dia terlihat tampan mengenakan kaos berwarna putih bertuliskan "I wonder if you love me?" Aku memang sengaja membelinya sebab terkadang aku sering mempertanyakan apakah aku pantas dicintai atau tidak terlepas dari aku yang belum sepenuhnya selesai dengan masa laluku.

Sejak malam itu, kita sering berbincang melalui telpon, sesekali bertemu untuk membahas progres persiapan pernikahan yang sudah hampir semuanya siap. Dia mengantarkanku mencoba gaun pernikahan yang telah ibuku persiapkan. Sedikit rasa senang ketika mengenakan gaun pilihan ibuku, sejenak memikirkan tentang mimpi pernikahan bersama Piers akan tetapi, sepertinya pernikahan ini akan lebih indah dari mimpi-mimpi yang sering ku bicarakan dengan Piers.

Setelah hari-hari itu berjalan dengan Zach yang sepenuhnya melupakan kejadian tempo hari. Hari pernikahan pun tiba, meskipun aku meragukan Zach yang baru ku kenal dan akan menjadi suamiku akan tetapi, di depan ratusan tamu yang hadir di pernikahan kami aku harus terlihat bahagia walau semuanya pura-pura saja. Pelaksanaan pernikahan dilakukan secara terbuka di hadapan ratusan tamu yang sudah duduk, banyak dari tamu yang hadir merupakan keluarga besar Foster dan Stevenson. Setelah pernikahan selesai, acara pernikahan dilanjutkan dengan pesta minum bersama dengan alunan musik dari salah seorang penyanyi terkenal yang menghibur di acara kami.

Zach mengajakku berdansa di tengah para kerumunan yang memberi kita kesempatan untuk berdansa berdua dilingkari oleh segerombolan orang yang menikmati lagu dan alunan musiknya. Alunan musik romantis diputar sepanjang Zach memutar tubuhku, memegang erat telapak tanganku, dia menatapku dalam sepanjang dansa berlangsung. Sesekali dia tersenyum dan berbisik ke telingaku bahwa dia mencintaiku.

Aku hanya mempertanyakan satu hal di dalam hatiku bahwa apakah dia dapat jatuh cinta secepat itu? Hanya dalam satu bulan kebetulan demi kebetulan mempertemukan kami. Semua itu singkat menurutku. Untuk jatuh cinta dengan Piers, aku membutuhkan waktu lebih dari sebulan. Namun, tatapan Zach seolah dia benar-benar tulus mencintaiku.

Dia membuatku terlena dalam tariannya, musik romantis terus diputar, lampu utama dimatikan diganti dengan lampu-lampu kecil yang bergantungan membuat nuansanya terasa sangat menyenangkan dan lebih romantis. Aku tersenyum menatapnya, aku harap dia tidak berharap lebih kepadaku terutama ketika aku masih belum benar-benar selesai dengan masa laluku.

Semua orang tepuk tangan ketika dansa kami selesai, lampu kembali dinyalakan. Dia menggandengku untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Beberapa tamu sudah pamit dan banyak yang lain datang berlalu lalang menghadiri pernikahan kami. Pesta pernikahan rencananya dilaksanakan dua kali. Pesta besar ini untuk undangan tamu keluarga sementara, pesta kedua hanya untuk teman dekat kami saja.

"Walaupun hanya mengucapkan janji pernikahan, berdansa dan menyambut tamu. Rasanya seharian duduk saja di tempat ini pun cukup melelahkan." protesku pada Zach yang matanya fokus tertuju kepada seorang wanita. Wanita itu mengenakan gaun merah cerah dengan bibirnya yang berwarna merah cetar, rambutnya berwarna hitam kecoklatan, memiliki mata biru yang indah. Aku sepertinya pernah mengenalnya.

"Zach, aku bicara padamu? Apa yang sedang kau lakukan? Kau tampak melamun saja?" Aku menyentuh keningnya yang sedikit berkeringat padahal ruangannya full ber-AC. Dia sedikit terkejut ketika aku menyentuh keningnya, "Apa yang baru saja kau tanyakan?" Aku mengangkat bahuku merasa kesal karena dia tak menghiraukan pertanyaanku.

"Aku ingin acara ini cepat selesai," ucapku ngambek.

"Lara, aku benar-benar tidak mendengarnya. Suara musiknya terlalu berisik, bisakah kau ulangi sekali lagi, sayangku?" bisiknya di telingaku, wajahnya memelas kepadaku. "Aku hanya lelah, aku ingin acara ini cepat selesai." ucapku secara langsung tanpa ada kata tersirat.

"Sebentar lagi selesai, jangan khawatir. Jika kau sudah terlalu lelah, aku bisa mengantarmu ke kamar untuk istirahat." Aku masih ngambek dan tak merespon tawarannya. Aku merasa begitu lelah sebab minggu ini aku bekerja keras untuk mengurus pekerjaan dan kegaduhan yang timbul tempo hari.

"Oh ya membicarakan masalah Almond. Mereka itu pencuri dan pembuat ulah bukan? Ku dengar ayahmu jutaan dollar karena Almond mencuri barang milik ayahmu lalu, menjualnya. Mereka juga merompak uang yang kalian simpan di kapal, bukan?" Aku mengernyitkan dahiku, bagaimana dia bisa mengetahui semua informasi ini?

"Jangan tanya bagaimana aku tau, aku hanya tak ingin apabila istriku terluka hanya karena musuh-musuh kita. Aku tak pernah tau nama asli mereka sebab mereka selalu menggunakan nama samaran." Dia mengimbuhkan.

"Almond adalah nama belakang keluarga mereka. Ku pikir awalnya Foster adalah musuh terbesar kami ternyata selama ini Almond yang telah menganggu kestabilan uang perusahaan. Mereka memperkaya diri dengan cara yang instant." ucapku di tengah-tengah teriakan orang mabuk, terlena bersama musik.

Malam sudah mulai larut, banyak yang sudah mulai mabuk dan sempoyongan. Aku dan Zach memutuskan untuk menutup acaranya karena sudah pukul 1 pagi. Aku perlu istirahat sebab besok ada pekerjaan yang harus aku kerjakan. Meskipun terasa lelah, aku tak bisa meninggalkan pekerjaanku begitu saja.

Zach membawaku ke mansion miliknya, dia tinggal di sebuah mansion mewah dekat dengan resort miliknya yang berada di sebelah laut. Tempat ini sangat dekat dengan laut, hanya saja tempatnya lebih tinggi, perlu waktu dan usaha untuk menuju tempat ini meskipun jalannya sudah beraspal dengan baik hanya saja ada beberapa tanjakan yang tak bisa di lewati begitu saja. Mansion milih Zach dia namai sebagai Biru sebab dekat dengan lauh dan terlebih dia menyukai warna langit cerah berwarna biru yang menandakan kesuksesan untuknya.

Aku tak peduli dengan semua definisi yang dia berikan kepadaku. Aku hanya mengakui bahwa mansion ini luar biasa bagus dibalut pemandangan yang indah di setiap sisi rumah ini. Dia membawaku ke kamar utama dimana sudah didekorasi dengan bunga selamat datang dan lilin aroma di setiap sisi ruangan yang membuat kamar ini harum seperti wangi bunga-bunga. Aku mencium bibir Zach karena aku menyukai tempat yang indah ini. Aku bisa saja membelinya namun, di dekat pantai seperti ini sepertinya dia perlu izin dan uang lebih untuk membangun akses menuju ke mansionnya.

Kami tidur berdua di satu ranjang, aku dan Zach tidak asing dengan ranjang asing yang kita jadikan tempat untuk bertukar energi melalui persetubuhan. Malam pertamaku ku lalui dengan tidur sebab aku begitu lelah, Zach sempat meremas kedua payudaraku akan tetapi, aku tak kuat untuk melayaninya sehingga, aku lebih memilih untuk tidur sebab pagi hari aku harus bekerja. Ketika aku bangun dari tidurku, Zach masih berada di sampingku dengan suara napasnya yang dapat ku ingat ketika berada di hotel tempo hari.

Aku mencium bibirnya sejenak lalu, melanjutkan untuk aktivitas pagi sekali. Aku membangunkan Zach setelah selesai mandi. Zach terkejut bahwa dia sudah terlambat untuk bekerja. Dia bergegas untuk mempersiapkan dirinya lalu, pamit pergi tanpa sarapan untuk mengisi perutnya. Aku meminta supirnya untuk membawakan makanan kotak milik Zach agar dia tak perlu repot-repot untuk membeli sarapan.

Hari-hari kami berlanjut seperti biasanya, aku masih sering konsultasi dengan Sherlien dan Tiffany. Kedua sahabatku yang sangat peduli terhadap apapun cerita yang ku keluhkan kepada mereka. Mereka yang selalu ada untukku bahkan setelah kami menikah, kami masih ada satu sama lain untuk menghibur dan menguatkan. Zach dan aku sering makan malam bersama di rumah, dia merasa nyaman untuk makan di rumah terutama memakan masakanku yang terasa sangat enak untuknya. Dia menghargai segala hal kecil yang ku lakukan. Dia mengatakan bahwa dia bangga memiliki aku sebagai istrinya yang dapat memasak, dapat melakukan apa saja termasuk bekerja seharian penuh.

Sampai pada pesta kedua yang sudah kami nantikan sejak sebulan terakhir ini karena aku dan Zach tak ingin terburu-buru untuk menjalani pesta pernikahan yang tergolong pribadi. Hanya orang terdekat yang hadir di pesta ini. Tempatnya di vila tengah hutan yang terasa lebih dingin karena sudah memasuki musim hujan. Bahkan sore ini setelah hujan, beberapa tamu baru saja sampai di tempat. Kami mengadakan makan malam sebelum pesta dimulai. Kami bersenang-senang dengan cara yang cukup tenang tanpa ada musik yang begitu keras, kami berbincang ria dengan meminum minuman yang telah disediakan.

"Aku akan mengirim obatnya minggu depan, kau sebaiknya tidak melakukan hal itu dulu." Sherlien berbisik kepadaku di tengah-tengah para tamu yang sedang ngobrol.

"Aku masih punya stoknya, Sher. Kau tidak perlu khawatir, pastikan semuanya baik." Dia mengangguk paham atas permintaanku.

Tetiba di tengah gurauan kami, listrik tetiba padam yang menyebabkan lampu dan musiknya mati. Sesaat setelahnya terdengar suara tembakan di antara keheningan, semua tamu panik seketika. Zach meminta Can untuk memeriksa darimana sumber suara tembakan, Zach terus berada di depanku untuk melindungiku.

"Kau jangan khawatir, aku tidak akan membiarkanmu terluka."

Semuanya berteriak lebih heboh ketika lampunya sudah nyala dengan baik. Musik sepenuhnya berhenti berputar karena keadaannya sangat kacau. Tiffany tergeletak dengan darah mengalir dari perutnya, semuanya berteriak kecuali Sherlien yang tenang membungkus luka Tiffany.

"Cepat bawa dia! Dia harus segera diselamatkan!" perintah Sherlien setelah selesai membungkus luka Tiffany. Aku tak bisa berkata-kata melihat seluruh kejadian itu. Mengapa mereka menembak Tiffany yang tidak tau apapun?

Dadaku terasa sesak, nyaring telingaku, kepalaku berputar terasa sangat pusing. Aku tak tahan lagi membayangkan darah yang mengalir dari tubuh Tiffany, aku merasa sedikit bersalah atas semua yang terjadi. Tak sadarkan diri, aku jatuh di pelukan suamiku. Aku tak tau apa yang terjadi setelahnya. Namun, Hank sudah menunggu di sampingku ketika aku tersadar.

To be continued...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel