Senyuman Asmara
Ziva melempar tasnya begitu saja, lalu berlari menghambur dan melempar tubuhnya ke atas ranjang.
“Thank you, God!” jeritnya sambil tersenyum lebar dengan mata terpejam.
“Apa ada yang kamu butuhkan untuk melengkapi kamar ini?”
Ziva membuka mata dan membelalak menatap Ammar yang sudah berdiri di
hadapannya. Ia sampai lupa masih ada Ammar di sana. Cepat-cepat ia bangun dan duduk.
Bibirnya tersenyum rancu lalu berdiri sambil garuk-garuk caruk leher yang tidak gatal.
“Tidak ada. Semuanya komplit,” jawab Ziva cengar-cengir.
“Ini kunci kamarmu.” Ammar meletakkan kunci ke telapak tangan Ziva.
“Terimakasih, Tuan Muda.” Ziva membungkukkan tubuhnya tanda hormat seperti yang diajarkan pak Dalman.
Ammar balik badan lalu pergi dan menutup pintu kamar. Ia melangkah memasuki
mobil yang sudah terparkir di halaman luas rumahnya.
Zico yang bertugas sebagai supir Ammar dan sejak tadi sudah stand by di dekat mobil pun langsung membukakan pintu belakang.
“Aku menyetir sendiri saja,” kata Ammar, menolak pintu yang dibukakan oleh Zico.
Zico pun menutup kembali pintu yang sudah dia buka, lalu berinisiatif membukakan pintu bagian depan.
Dugh!
“Argh..” Ammar memegang lengan yang baru saja terantuk pintu mobil.
“Maaf, Tuan Muda. Saya tidak sengaja!” Zico membungkukkan badan serta
menundukkan kepala dengan raut cemas. Dia siap menerima makian dari bosnya yang sudah menjadi makanan sehari-hari.
Ammar adalah pria yang paling benci dengan pekerjaan yang tidak beres. Termasuk keteledoran, seperti yang dilakukan Zico barusan. Zico tidak melihat gerakan tubuh Ammar yang mendekati pintu mobil sehingga membuat kecelakaan itu terjadi.
“Bisakah kau lebih berhati-hati saat bekerja?” geram Ammar dengan tatapan tajam.
Matanya yang gelap pun menyipit. Tangannya mengelus singkat lengan yang sakit.
“Gunakan penglihatan dengan sempurna, jangan ceroboh!”
“Baik, maafkan saya, Tuan Muda.” Zico menjawab dengan kepala yang masih
menunduk.
Ammar masuk ke mobil dan memilih duduk di bagian kemudi.
Zico sedikit megangkat kepala dan melirik wajah Tuan Mudanya, dia sempat heran
melihat Tuan Mudanya yang baru saja marah-marah itu tiba-tiba senyum-senyum sendiri.
Senyum Ammar masih mengembang saat mobil berlalu meninggalkan halaman
rumah. Dia mengenang pertemuannya dengan Ziva. Detik berikutnya, senyum itu lenyap
seketika saat dia menyadari satu hal, apa yang menyebabkannya tersenyum senang saat mengenang Ziva?
