Bintang silk fabric, 6
Utamakan komen ya!
"Heee, dia bodoh tapi bisa ikut Olimpiade. Hebat kan!" bela Leon kepada temannya. Hanif menatapnya murka.
"Dan lo, gue tahu kejadiannya kayak gimana? Tapi Ven kalau lo pintar di sekolah lo juga harus lebih pintar sama diri lo sendiri! Asttt, gak pernah berubah lo!" ujar Riki pasrah.
"Pokoknya Kak Hanif harus ganti rugi!" Ven memaksa.
"Lo ngapain panggil dia kak emang dia kakak lo, bukan kan? Udah di kasarin masih aja manggil kak," Leon tidak terima Ven memanggil Hanif dengan sebutan kak.
"Karena dia kan kakak kelasku jadi aku harus menghormatinya kan!?" jawaban Ven membuat Leon geleng-geleng kepala.
"Ampun dehh, " Leon menepuk dahinya pelan, "Trus lo ngapain panggil dia kak juga?" tanya Leon beralih ke Keizya.
Gadis itu diam tidak bicara mendengar perkataan Leon. Berfikir. Hanif yang mendengar itu langsung angkat suara.
"Dia adek gue, napa lo?" ujar Hanif membuat Leon terkejut.
"What... OMG... dia kakak lo?" ujar Leon syok mengetahui Hanif adalah kakak Keizya yang naksir dengan temannya.
Leon jadi berfikir dua kali untuk menjodohkan mereka kembali dan Riki menatap Ven dengan tatapan belas kasihan karena di cintai oleh Keizya yang mempunyai kakak segalak beruang Australia.
Seorang guru datang dan mulai menginterogasi mereka ketika berkerumun di tengah koridor.
"Ada apa ini, kenapa pada ngumpul disini?" tanya Pak Rosman guru matematika yang terkenal tegas saat mengajar.
Mereka pun terkejut~bingung harus menjawab apa tentang pertanyaan tersebut.
"Gak ada apa-apa kok pak. Cuma ngumpul aja," kata Keizya bohong.
Pak Rosman pun langsung melihat ke arah Ven dan Hanif bergantian.
"Nah gitu dong akur, kalian sama-sama juara Olimpiade jadi harus akur gak boleh musuhan. Paham!" ujar Pak Rosman memperingati dan di balas senyum kepalsuan dari mereka.
"Oh iya Ven, bapak mau ngomong sesuatu sama kamu soal Olimpiade berikutnya. Nanti pulang sekolah datang ke ruangan saya, bapak tunggu!" ujar pak Rosman langsung meninggalkan tempat tersebut.
Dan membuat suasana kembali mencekam. Hanif menatap muka Ven dengan benci dan ketidaksukaan. Hanif telah menyimpan nama Ven di dalam catatan hitamnya.
"Kamu kerja gak kasih tahu kakak ya!" tanya Bintang sehabis pulang kuliah dan langsung menghampiri Ven yang sedang duduk di kursi belajar.
"Kerja?" Ven berhenti menulis, terkejut karena Bintang sudah mengetahuinya. "Ven gak kerja kok. Kakak gak usah ngarang cerita deh!" Ven mencoba untuk tenang dan tidak menatap mata kakaknya~takut salah ucap.
Bintang tahu kalau adeknya sedang berbohong dan tanpa basa-basi menunjukkan bukti surat lamaran kerja Ven.
"Kalau engga ini apa? Jangan kamu bilang orang lain yang ngisi surat lamaran ini atas nama kamu gitu dhek?" ucap Bintang to the point.
Ven melihat surat lamaran dengan teliti, bingung kenapa Bintang bisa mendapatkan surat tersebut~menatap Bintang.
"Emmm, anu, kakak dapet ini dari mana. Ini bukan punya Ven kok. Lagian nama Ven gak cuma satu kan Kak?" tanya Ven ngeles.
"Coba liat baik-baik nama lengkapnya. Lee VenHyung bukan nama kamu, trus nama kamu siapa Ven poniman gitu?!"
"Ihhh kakak kok gitu nama bagus-bagus juga di bikin jelek, lagian kan,,,"
"Jawab kakak kamu kerja kan, jawab!!!?" ucap Bintang sedikit keras kepada Ven.
Ven mulai takut ketika Bintang sedang marah dan ini pertama kali Bintang marah pada dirinya.
"Iya Ven kerja, jangan di bentak dong Kak, maaf!" ujar Ven menunduk.
Bintang lalu memberikan hukuman kepada Ven agar dia tidak berbohong padanya.
∆∆∆
Di gerbang sekolah nampak seorang cowok turun dari mobil dan langsung bergegas pergi menuju kelas sambil menutup mulut dengan buku di tangannya. Tapi saat dia berlari, tidak sengaja menabrak dan membuat buku tersebut jatuh ke lantai.
"Lo punya mata gak, mata lo di mana?!" bentak Hanif kepada cowok yang telah menabraknya.
Saat Hanif melihat cowok tersebut tawanya langsung menggelegar di ikuti oleh siswa yang lain. Ven lalu mengambil buku yang terjatuh tapi buku itu berhasil di rebut Hanif.
"Ntar, ntar lo itu? Apa gue pernah liat lo sebelumnya?" Hanif menatap cowok itu ketika berusaha mengambil bukunya kembali.
"Itu Ven liat aja name tag di seragamnya!" ujar teman Hanif.
Saat Ven berangkat sekolah pagi ini. Bintang memberikan hukuman kepada Ven dengan menutup mulutnya menggunakan kain sutra halus dan itu membuat Ven di bully oleh Hanif dan siswa yang lain.
"Lo mau buku ini?" ujar Hanif memberikan buku tersebut di sertai anggukan oleh Ven. Saat Ven mau mengambilnya, buku itu di robek oleh Hanif dengan kasar.
Ven cuma bisa berbicara tidak jelas dan langsung mengambil buku miliknya. Dia langsung pergi ke kelas tapi Hanif berhasil mengcegal kakinya dan membuat Ven terjatuh ke lantai.
"Kalau jalan tuh liat-liat, apa perlu gue nutup mata lo sekalian!?" ucap Hanif~sinis.
"Kak Hanif? Jangan bersikap begitu ke Ven. Keizya gak terima?!" Keizya datang membela Ven dan membantunya berdiri.
Hanif menatap Keizya curiga karena terlalu perduli terhadap Ven.
Ven menghiraukan perkataan Keizya dan bergegas pergi dari tempat tersebut.
∆∆∆
Sesampainya Ven di kelas dia langsung menutupi wajah pakai tas lalu tiduran di meja.
"Ini apa?" tanya Leon yang baru datang dan langsung memegang kain di belakang kepala milik Ven. Penasaran.
Ven dengan cepat bangun dan mencegah Leon memegang kain tersebut. Dan kejadian lucu pun terjadi.
"Mulut lo kenapa di gituin, belum sikat gigi atau nafas lo bau?" tanya Leon yang sedang tertawa terpingkal-pingkal. Ven hanya menatapnya~pasrah.
"Itu ulah Bintang, sebagai hadiah untuk adeknya tersayang?!" ucap Riki memasuki kelas sambil cekikikan.
"Emang hadiah apa Ven?" Leon menatap Ven yang memelas sambil menutup mulut menggunakan tas.
"Hadiah kemarin soal kerja diam-diam, lagian gue tahu kalau Bintang itu paling benci tentang kebohongan. Apalagi kalau Ven yang nglakuin itu, keren dah Bintang. Salut gue!?" ujar Riki antusias dan mendapat tatapan elang dari Ven.
Bel pelajaran pertama pun berbunyi. Mau tidak mau Ven harus aktif di kelas walaupun mendapat hukuman dari Bintang. Dan Leon maupun Riki yang tidak berhenti cekikikan membuat mereka tidak fokus untuk belajar. Bahkan siswa yang lain juga seperti itu.
"Kenapa kalian semua cekikikan?" tanya guru yang mengajar di kelas tersebut.
Dan saat melihat bangku di sebelah Riki guru itu penasaran dan mulai bertanya-tanya.
"Kamu siapa dan kenapa mulut kamu di gituin?" tanya guru baru menyadarinya.
Ven yang sedang mencoret-coret buku langsung mendongak ketika guru itu bertanya padanya.
"Dia Ven pak, lagi mendapat hukuman dari kakaknya. Jadi kalau bapak mau nanya ke Ven lewat saya aja pak!?" ujar Riki cepat sambil menatap Ven dan itu membuatnya tidak bisa berhenti tertawa. Bahkan guru tersebut juga mulai menertawakan Ven.
"Udah, udah. Jangan di tertawakan, gak baik?!" ucap pak guru.
"Tapi tadi bapak juga ikut ketawa kok?" ucap salah satu siswa di kelas tersebut.
"Bapak khilaf, maaf ya Ven. Ternyata bukan cuma guru saja yang menghukum muridnya. Kakaknya sendiri juga bisa ya?" ujar guru itu menahan tawa dan kembali ke aktivitas sebelumnya, mencatat di papan tulis. Tawa di kelas pun akhirnya pecah walaupun cuma sesaat.
Ven hanya bisa duduk diam. Karena tahu jika dia sedang bersalah, sambil memainkan bolpoin di tangan.
∆∆∆
"Ven lo di suruh ke perpus sama bu Lidya!" ujar salah satu siswa kelas lain.
Ven yang sendirian di kelas langsung menuju perpustakaan setelah mendapat perintah dan segera meninggalkan kelas. Walaupun tadi Riki menyuruhnya agar tetap di kelas.
Sesampainya di depan perpustakaan, ada seorang cowok yang menunggu kedatangan Ven.
"Ikut gue...!" ajak cowok tersebut saat Ven mendekat padanya. Ven menurut, tanpa tahu apa yang akan terjadi.
Saat Ven memasuki sebuah ruangan gelap ada bermacam-macam pertanyaan yang timbul di benaknya. Tiba-tiba Ven tersungkur ke lantai setelah ada yang memukul bahunya dari belakang .
"Berdiri, kenapa lo diam hah. Gue pernah bilang ke lo kan, jangan macem-macem sama gue kalau lo masih pengin hidup. Gue nyuruh lo agar nolak buat ikut olimpiade, tapi apa. Lo gak nuruti perkataan gue. Sekarang lo terima akibatnya!" bentak cowok tersebut yang tak lain adalah Hanif dan tanpa basi-basi langsung memukuli Ven tanpa belas kasihan.
Ven mau teriak tapi tidak bisa dan hanya benar-benar pasrah dengan keadaannya.
Flasback on...
Ven memasuki ruang guru setelah pulang sekolah. Guru itu sedang duduk sambil mengoreksi pekerjaan murid dan langsung menyuruh Ven untuk duduk di kursi depan ketika mengetahui kedatangannya.
"Pak guru ingin membicarakan apa?" tanya Ven setelah duduk dan mulai menanyakan perihal kenapa guru itu memanggil dirinya.
"Bapak nyuruh kamu ke sini untuk ikut Olimpiade matematika seminggu dari sekarang, jadi kamu harus mempersiapkan metal dan fisik kamu lagi. Jangan sampai sakit dan bapak yakin kamu bakal menang?!" ujar guru itu memberitahu perihal yang akan di sampaikan.
"Kenapa harus Ven, gak kak Hanif aja?"
"Hanif biar fokus sama pelajaran, sebentar lagi dia ujian kelulusan. Dan bapak tidak mau menggangunya. Lagipula Hanif sudah banyak memenangkan penghargaan dan membuat sekolah bangga dan sekarang giliran kamu Ven!?" ujar guru menatap Ven yang sedang berfikir tentang perihal Olimpiade itu.
"Yaudah pak, Ven bersedia untuk ikut lomba, " ucap Ven mantap setelah di pikirkan.
Guru pun langsung memberikan arahan dan materi yang akan di pelajari sekaligus di pahami oleh Ven.
Tanpa sepengetahuan Ven, Hanif diam-diam menguping pembicaraan mereka yang hanya setengah percakapan dengan tangan yang sudah mengepal kuat.
∆∆∆
RSU Nasional Chonbuk tempat Ven di rawat. Berbaring tak berdaya di tempat tidur dengan infus menempel di tangan. Sudah ada Bintang dan kedua temannya yang sedang menunggu kesadarannya.
"Lo berdua pulang aja, udah malam. Udah ada gue di sini!" suruh Bintang kepada Riki dan Leon agar pulang.
"Gue harus ninggalin lo disini sendirian gitu?" Riki menjawab dengan cemas.
"Ki, Bintang benar, pagi-pagi sekali besok kita kesini. Lagian udah ada keluarganya kan. Nanti juga bokapnya bakalan datang!" ajak Leon menyuruh Riki untuk pulang bersamanya.
Riki menatap Leon dan Bintang bergantian. Di lihatnya Ven yang berbaring lalu berpamitan pulang ke rumah.
Setelah kepergian mereka. Bintang menelpon seseorang agar mau datang ke rumah sakit.
∆∆∆
"Suster, awwww..." Ven bangun memanggil suster yang sedang memeriksa alat perawatan miliknya. Merasakan sakit di sekujur tubuh.
"Jangan banyak bergerak dulu kondisi mas masih lemah. Istirahat aja dulu!" Suster meminta Ven untuk istirahat penuh.
Kreeek...
Pintu pasien rawat milik Ven terbuka, menampilkan sosok pria paruh baya dan wanita di sampingnya. Senyum Ven mengembang melihat ke arah pintu itu. Suster pun pergi setelah selesai memeriksa tugasnya.
"Ayah datang?" ujar Ven bahagia melihat Leeno menjenguknya di rumah sakit.
"Kenapa? Kamu senang? Sekali bikin masalah selamanya kamu tidak akan hidup dengan tenang. Mengerti!?" ujar Dina kepada Ven.
Ven menatap ayah-nya penuh arti. Tidak memasukkan omongan Dina ke dalam hati. Dia sudah terbiasa.
"Ayah? Ven senang ayah datang. Ayah mau nemenin Ven di sini kan?" Ven ingin Leeno menemaninya di rumah sakit.
"Kalau bukan Bintang yang nyuruh saya tidak akan datang kesini. Mana Bintang?" Leeno bahkan tidak memperdulikan Ven sedikit pun. Ven menatap Leeno sendu.
"Ven gak tahu Kak Bintang di mana, apa ayah tidak mau nanya soal keadaan Ven?" Ven melihat Leeno lekat agar mau menanyakan tentang kondisinya. Itu sangat berarti bagi Ven.
"Jangan harap!" ucap Leeno sangat menyakiti Ven sedangkan Dina tersenyum licik di tempatnya.
"Dan pembayaran rumah sakit kamu saya anggap utang, jadi kamu harus menggantinya. Secepat mungkin!" lanjut Leeno meminta Ven untuk mengganti pembayaran rumah sakit.
Ngilu, Ven mengangguk menyetujui permintaan papanya. Tidak ada gunanya juga Ven berdebat karena bagaimana pun Leeno tidak akan mendengarkannya.
Anak kandung, itu yang selalu Ven harapkan dari pria paruh baya itu. Soal uang itu tidak berarti apa-apa bagi Ven hanya kasih sayang Leeno yang Ven mau. Bertahun-tahun Leeno jauh darinya, Leeno tidak pernah berbicara atau menyapa Ven sedikitpun. Pria itu selalu menjauh ketika Ven hendak mendekatinya.
Bahkan air mata kerinduan selalu datang di malam hari. Sebelum tidur, berharap papanya datang dan mengucapkan kalimat 'selamat tidur anakkku' tapi kenyataannya berbeda. Ven punya papa tapi seperti anak yatim.
Ven berharap Leeno selalu bersikap lembut tapi justru malah sebaliknya. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa bahkan di saat dirinya sedang sakit dan berbaring lemah di tempat tidur Leeno tidak perduli sama sekali. Hanya lontaran kata-kata menyakitkan yang menusuk hatinya.
See you
