Bab 7 Kesal
Pria itu menawarkan Arin untuk menginap bukan tanpa alasan. Ia memang sedang tidak bisa menyetir. Tangannya yang terluka sekarang sedikit mati rasa dan ia tidak mungkin membiarkan wanita di sampingnya ini pulang sendiri. Ia juga masih memiliki rasa empati.
"Tidak. Tidak apa-apa. Aku ingin pulang saja. Hmm.. b-boleh pinjam uangmu, tidak? Akan aku ganti. Besok aku kesini lagi." Masa bodo dengan harga diri. Meskipun memang belum saling mengenal Arin terpaksa melakukan itu agar ia bisa pulang.
"Dompetku tertinggal di kantor. Tidur saja di kamar itu, aku sudah mengantuk." Pria itu bangkit dan menunjuk salah satu kamar yang tidak jauh dari ruang tengah tempat mereka berada.
"T-tapi-" Arin tidak melanjutkan kata-katanya saat melihat pria itu melangkah santai tanpa menoleh menuju tangga dan menghilang dibalik pintu yang Arin tebak merupakan kamar pribadinya.
Arin pasrah. Setelah membereskan dan mengembalikan beberapa benda yang ia gunakan untuk mengobati luka tadi ke tempat semula, Ia langsung menuju kamar yang pria tadi maksud dan membuka pintunya.
Sekali lagi Arin menganga takjub. Kamar itu juga memiliki desain mewah namun tidak berlebihan. Dindingnya berwarna biru muda yang memberikan kesan nyaman dengan tempat tidur ukuran sedang di tengahnya.
Arin menyimpan tas nya di atas kasur setelah mengunci pintu dari dalam, lalu melangkah ke arah sebuah pintu yang ternyata merupakan kamar mandi yang lumayan luas. Arin lalu masuk dan menyelesaikan urusannya yang sempat ia tahan sedari tadi.
Setelah keluar, ia segera menuju tempat tidur dan merebahkan tubuhnya.
Ranjang yang empuk dengan selimut yang hangat itu membuatnya lelap dengan cepat dan menuju alam mimpi.
****
"Hei! bangun!"
Dengan mata yang masih terpejam Arin mengerutkan keningnya kala mendengar suara berat mengganggu tidurnya.
Apa ia sedang berhalusinasi?
"Hhh.. kau akan terkurung di dalam rumahku jika tidak segera bangun!"
Dengan perasaan terkejut Arin membuka matanya lebar-lebar lalu bangun dari posisi tidurnya. Ia tidak sedang berhalusinasi! Suara itu memang dekat dengannya. Tidak, tepat dibelakangnya!
Arin membalikkan tubuhnya dan lebih terkejut lagi ketika melihat sosok pria bertubuh tinggi tengah berdiri di sisi lain ranjang. Pria itu melipat tangannya didepan dada dan menatapnya datar.
"B-bagaimana... k-kau bisa masuk?" Ya, bagaimana pria itu bisa masuk ke kamar itu sementara semalam Arin mengingat dengan baik bahwa ia telah mengunci pintunya dari dalam.
"Ini rumahku."
"T-tapi bukankah tidak sopan memasukinya ketika ada wanita yang tengah tertidur di dalam?" Cicit Arin. Ia sedikit marah dan malu secara bersamaan.
"Cepat bangun! Kau tidak ingin pulang?" Pria itu mengangkat sebelah alisnya. Terkesan angkuh. Arin yang tidak menyukai tatapan itu kemudian beranjak bangun dan merapikan ranjang tempat ia tidur dengan cepat. Pria itu masih berdiri disana. Mengawasi gerak gerik Arin dengan tatapan yang sulit diartikan.
Setelah selesai, Arin meraih tasnya dan mendekati pria itu.
"Terima kasih sudah mengijinkanku menginap disini. Permisi." Arin lalu melangkah ke arah pintu. Bersiap menarik gagangnya namun gerakannya terhenti saat pria itu bersuara.
"Kau bahkan tidak mencuci wajahmu terlebih dahulu?"
Oh! Arin juga baru sadar bahwa ia memang belum mencuci wajahnya.
Apa kotoran mataku terlihat olehnya?
Wajah Arin memberengut. Tanpa berbalik, ia mencoba menjawab dengan lantang, "Kau kan menyuruhku cepat bangun!"
"Bukan melarangmu menggunakan kamar mandiku, kan?"
"Tidak. Aku ingin cepat pulang." Arin menarik gagang pintu lalu keluar dan menghilang dari pandangan pria yang masih belum beranjak dari tempatnya.
Samar-samar, pria itu menyeringai.
***
Seorang wanita muda bertubuh semampai yang tengah menenteng beberapa map ditangannya melangkah kedalam sebuah ruangan luas nan rapi. Bunyi high heelsnya menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar.
"Ini hasil rapat kemarin dan tadi pagi, pak! Dan ini laporan dari divisi keuangan yang tadi bapak minta." Ucap wanita itu sambil meletakkan map yang tadi ia bawa keatas meja besar dihadapannya.
Diatas meja tersebut juga terdapat papan nama bertuliskan nama sang CEO.
DANIEL KIM
Jangan tanya mengapa tidak ada gelar di sebelah namanya. Itu adalah keinginannya sendiri. Tidak ingin terlalu berlebihan. Padahal, ia memiliki lebih dari empat gelar yang luar biasa. Bisa dibayangkan bukan, betapa pintarnya seorang Daniel Kim?
Daniel kini tengah duduk membelakangi sekertarisnya dan menghadap ke jendela kaca yang langsung menyuguhkan pemandangan kota Jakarta.
Kursi itu berbalik. Menampakkan wajah seorang Daniel yang bisa dikatakan mendekati sempurna. Ekspresinya datar dan terkesan angkuh, namun tegas. Membuat siapapun tahu bahwa ia adalah pemimpin disini.
Daniel meraih dokumen diatas meja dan melihat-lihat isinya sekilas.
Ia mengangguk pelan, "Kau boleh kembali." Ucapnya dengan suara rendah.
Sekertarisnya itu sedikit menundukkan wajah dan tubuhnya lalu segera berbalik meninggalkan ruangan itu.
Tak sampai tiga menit, pintu dengan ukuran lebar itu kembali terbuka.
"Hei bro!" Seru seorang pria sambil melangkah memasuki ruangan itu.
Daniel menoleh singkat lalu kembali fokus pada dokumen ditangannya. Hal itu membuat pria yang baru datang tadi terkekeh.
"Kau masih saja seperti dulu ya? Dingin dan cuek. Bisa-bisanya para wanita itu masih bersikeras mengejar patung sepertimu."
"Dan kau masih saja tidak tahu malu." Balas Daniel malas tanpa mengalihkan pandangannya.
Pria bernama Adam itu kembali tertawa dan mendudukkan dirinya di atas sofa di sisi ruangan.
"Kau kan tahu, dari dulu aku memang tidak punya urat malu. Hahaha."
"Ngomong-ngomong, bagaimana kabar orang tuamu?" Lanjut Adam.
"Baik."
"Kau akan memegang perusahaan ini selamanya?"
"Mungkin."
"Kau ingin aku kenalkan pada seorang wanita? Dia cantik, berpendidikan tinggi. Dan... seperti wanita-wanitamu sebelumnya,
...Seksi."
"Tidak tertarik."
Adam mendengus mendengar jawaban Daniel yang serba singkat. Jika saja Daniel bukan sahabatnya, pasti sudah ia lemparkan vas bunga didepannya ke arah pria es itu.
Tidak! Tidak! Itu terlalu kejam! Adam bersyukur masih memiliki hati.
"Nanti malam aku akan ke klub milik Tedi. Sudah lama juga aku tidak bertemu dengannya. Ingin ikut?"
Daniel mengangkat sebelah alisnya. Tawaran Adam bagus juga. Sudah lama ia tidak menginjakkan kaki di surganya dunia itu. Terutama pada sahabatnya yang bernama Tedi. Mereka tidak pernah bertemu lagi sejak Daniel pindah sekolah ke luar negeri belasan tahun lalu.
"Hmm."
Mendengar itu, Adam langsung tersenyum lebar.
Daniel memang belum berubah!
***
Ckiiittttt....
Arin mundur dua langkah. Tangannya yang tadinya siap menahan taksi kembali ia turunkan karena sebuah mobil hitam mewah berhenti tepat didepannya. Membuat taksi yang akan ia tahan lewat begitu saja.
Sempat memandang kesal kearah mobil itu, akhirnya Arin memilih membawa tubuhnya menjauh.
Baru saja hendak berbalik, Arin dikejutkan oleh suara yang berasal dari dalam mobil.
"Naiklah!"
Arin menoleh dan langsung terkejut ketika melihat kaca mobil didepannya telah terbuka dan menampakkan pria yang menolongnya kemarin sedang duduk manis dibalik kemudi. Pria aneh itu lagi.
Yang tak lain adalah Daniel.
Arin mengangkat kedua alisnya bingung.
"Hhh.. kau mau pulang kan?"
Arin mengangguk.
"Naiklah!" Ulang Daniel lagi.
Arin mengerjap, ia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia memang sedang ingin pulang. Tapi untuk menerima bantuan dari Daniel sepertinya ia merasa enggan.
Bukan apa-apa. Arin hanya masih kesal ketika mengingat kembali kejadian tadi pagi saat Daniel mengusirnya.
"Tidak, terima kasih. Aku akan pulang dengan taksi." Tolak Arin.
Dapat Arin lihat Daniel mengangkat bahunya samar. Lalu kaca mobil itupun kembali tertutup bersamaan dengan mobil yang segera melaju meninggalkan Arin.
Pria itu benar-benar aneh! Tiba-tiba muncul, lalu pergi sesuka hati. Batin Arin.
Arin memilih mengabaikan kejadian aneh barusan dan segera menahan kembali taksi yang lewat.
To be continued...
