Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Berdua Dengannya

Arin mencoba mengatur napasnya. Namun dalam sekejap, ia kembali panik saat menyadari bahwa mobil melaju ke arah yang salah. "T-tempat tinggalku, bukan ke arah sini!" Lanjutnya.

"Kau punya uang?" Tanya nya datar tanpa menoleh.

"U-uang? Untuk apa?"

"Hotel. Aku akan menurunkanmu disana. Aku tidak akan berbalik arah."

Dengan gerakan cepat, Arin membuka sling bag nya yang baru ia sadari masih setia melekat di bahunya. Arin panik saat hanya menemukan uang sejumlah sepuluh ribu saja. Ia baru ingat, tadi ia memberikan uangnya pada Mia. Dan uang terakhir itu memang ia sisakan untuk membayar kendaraan ketika pulang.

Ia kemudian meraih ponselnya, dan ternyata benda pipih itu telah dalam keadaan mati. Ah tidak! Arin meyakinkan diri bahwa ponselnya itu setidaknya masih bisa digunakan untuk menelpon temannya. Segera ia menekan tombol daya hingga ponsel itu menampilkan nama merek untuk beberapa detik. Arin menunggu dengan cemas. Dan saat ia akan mengucap syukur setelah layar kuncinya terlihat, ponsel itu kembali mati bahkan sebelum Arin menyentuh layarnya.

Sial!

"Apa kau tidak bisa menghentikan mobilnya dulu?! Ini malah semakin jauh!" Bentak Arin. Yang oleh pria disampingnya malah terdengar seperti rengekan. Ia diam-diam tersenyum miring saat melihat wanita itu frustasi. Ia pun menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah toko buku.

"Apa kau berniat menculikku? Kau sengaja ya, menyelamatkanku dari sana agar aku bisa kau culik?" Sosor Arin tanpa jeda. Wanita itu sedikit emosi ketika melihat daerah di sekitarnya yang masih tampak asing.

"Ck.. kau itu mudah menuduh orang sembarangan ya?" Pria itu berbicara tanpa menoleh pada Arin sambil menggosok bibir bawahnya pelan.

"Lalu apa? Kenapa kau suka datang tiba-tiba? Kemarin, dan hari ini. Pria dengan ciri sepertimu tidak mungkin ada ditempat kumuh seperti itu." Arin menatap kesal pria itu. Rasanya ia ingin mencekiknya sekuat tenaga. Bagaimana dia bisa sesantai itu dengan kondisi yang bisa disebut 'aneh' ini?

"Tidak tahu cara berterima kasih?"

Arin mengerjapkan matanya. Ah benar, ia memang lupa akan hal itu sebab terlalu panik.

"E-ehm.. terima kasih!" Ucap arin sedikit ketus. Membuat pria tadi menaikkan salah satu sudut bibirnya samar.

"Terima kasih saja?"

"Memangnya apa lagi?" Tanya Arin kesal.

"Tadi aku mempertaruhkan nyawaku untuk menyelamatkanmu, jadi kau harus memberikan timbal balik." Jawab pria itu sambil melirik Arin dengan tatapan yang sulit diartikan. Jika tidak sedang kesal, Arin pasti sudah sesak napas karena dilirik oleh pria setampan dia.

"Jadi?" Tanya Arin tidak mengerti.

"Hhhh... obati lukaku!"

***

Arin berdiri dengan gugup sambil menatap rumah besar dan mewah didepannya ini. Rumah bertingkat dua itu berwarna cream dengan pilar-pilar kokoh yang memiliki ukiran indah. Berkali-kali ia mencubit punggung tangannya untuk meyakinkan diri bahwa ia tidak sedang bermimpi.

Ah norak sekali!

"Apa yang kau lakukan disitu?" Tegur pria yang hingga kini belum Arin ketahui namanya. Pria itu ternyata telah berdiri beberapa meter didepan Arin.

Arin berdehem lalu memperbaiki ekspresinya. Ia melangkah ragu mengikuti pria itu ke dalam rumah.

Wow!

Tiga huruf itu yang selalu Arin ucapkan ketika matanya menyusuri bagian dalam rumah yang berwarna putih bersih. Sangat mewah dengan banyak barang yang Arin taksir memiliki harga fantastis.

Satu yang membuat Arin penasaran. Dari ruang tamu hingga ruang tengah, wanita itu tak melihat satupun bingkai foto yang terpajang. Ah, itu bukan urusannya.

"Emm, apa kau punya kotak P3K? Aku ingin segera mengobati lukamu lalu pergi dari sini." Tanya Arin saat melihat pria itu duduk di salah satu sofa di ruang tengah.

"Itu." Meskipun sedang memejamkan mata, pria itu menunjuk sebuah kotak yang terpasang di dinding tak jauh dari tempatnya duduk dengan benar.

Arin segera melangkah cepat menuju kotak tersebut dan mengeluarkan beberapa obat dan benda yang biasa dipakai untuk mengobati luka. Ia lalu menaruhnya di atas meja tepat didepan pria tadi duduk bersandar.

"Dapurmu dimana? Aku perlu air."

Pria itu tidak menjawab. Dengan mata yang masih terpejam ia menunjuk sebuah arah dengan mengangkat dagunya singkat. Arin langsung bergegas menuju arah yang ditunjuk dan tak sampai satu menit ia telah kembali dengan sebaskom air bersih.

Seketika Arin merasa gugup. Ia berdiri mematung menyaksikan tubuh pria itu dengan seksama.

Ternyata begini ya wajahnya kalau dia sedang tertidur? Dia cocok dengan kemeja putih itu. Dan wow! Tangannya berurat. Arin segera menggeleng mengusir pikiran kotor yang sempat terlintas dikepalanya barusan, lalu memutuskan untuk duduk dengan menumpukan kedua lututnya di lantai.

Pada saat yang sama, mata pria itu terbuka dan langsung beradu pandang dengan Arin, membuat wanita itu gugup setengah mati.

"A-aku... tidak tahu dimana letak handuk bersih. Pakai kapas saja, ya?"

"Duduk disini!" Ucapan pria itu membuat gerakan Arin yang sedang mengambil kapas terhenti. Ia mendongak, dan lagi-lagi pria itu menatapnya tajam.

"A-aku d-dibawah saja." Tolak Arin lalu memutus kontak mata yang benar-benar membuat jantungnya hampir copot itu.

Pria itu menghela napas kasar lalu menepuk-nepuk bagian sofa di sampingnya, menginstruksikan agar Arin duduk disana. Setelah itu ia kembali memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya di sofa.

Arin terpaksa menurut. Ia berpindah perlahan ke atas sofa lalu memiringkan tubuhnya menghadap pria itu.

Sekali lagi wanita itu meringis melihat luka di pergelangan tangan kanan pria didepannya yang masih sedikit mengeluarkan darah. Lengan kemeja putihnya yang ia tekuk sampai sikupun sampai berubah warna menjadi merah. Bagian kanan kemejanya pun juga terdapat bercak-bercak darah.

Arin sama sekali tidak mengira bahwa pria ini mendapat luka goresan benda tajam saat berkelahi tadi. Luka nya memang tidak terlau dalam. Namun sebagai tanda terima kasih, Arin menyetujui ajakan pria ini ke rumahnya untuk mengobati luka.

Takut dan curiga tentu ada, namun rasa panik ketika melihat luka itu membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Padahal ekspresi pria itu biasa saja.

Atau ia memang tidak ingin terlihat kesakitan? Entahlah.

Dan sekarang, pria itu seperti memang berniat untuk membuat pikirannya tidak waras. Bagaimana tidak, ia tiba-tiba menegakkan tubuhnya dan membuka satu persatu kancing kemeja yang tengah ia kenakan dengan sebelah tangannya yang tidak terluka.

Mata Arin membulat. Ia segera memalingkan wajahnya dan refleks mundur dengan gerakan spontan setelah indra penglihatannya tak sengaja menangkap bentuk tubuh polos pria itu yang sungguh.... menggoda.

Dadanya bidang dengan perut yang memiliki enam kotak tanda pemiliknya rutin berolahraga.

"Ada apa denganmu?" Tanya pria itu heran.

"K-kenapa harus membuka baju? Kan bisa diganti nanti saja?"

Pria itu terkekeh, "Ini kan rumahku. Terserah padaku." Ia melempar kemejanya keatas meja sehingga kini tubuh bagian atasnya benar-benar tak tertutup apapun.

"Kenapa masih diam disitu?"

"Kau tidak akan berbuat macam-macam kan?" Tanya Arin masih dengan wajah tertunduk.

"Kau bisa merobek lenganku ini jika aku melakukan hal buruk padamu." Ucap pria itu sambil kembali bersandar pada sofa.

Dengan canggung Arin kembali mendekat dengan mata yang ia usahakan tetap fokus menatap luka di pergelangan tangan pria itu. Arin lalu mulai membersihkan dan mengobati luka tersebut dengan telaten. Ia tak menyadari, bahwa sepasang mata milik sosok di depannya kini tengah menatapnya intens. Memperhatikan bagaimana teduhnya wajah wanita itu saat fokus seperti ini. Setelah Arin selesai melilitkan perban, ia kembali berpura-pura menutup matanya.

"Nahhh.. Sudah selesai." Ucap Arin sambil tersenyum melihat hasil kerjanya.

Pria itu membuka matanya dan menoleh ke arah jam besar yang terpajang di dinding. "Sudah jam 9. Aku tidak bisa mengantarmu pulang."

Arin mengangguk cepat. "Bukan masalah, aku bisa pulang sendiri."

"Yakin? Di depan sana jarang kendaraan dan banyak preman-preman berkeliaran."

Ucapan pria itu membuat Arin termenung. Benar. Bagaimana cara dia pulang jika keadaan di depan sana mengancam keselamatannya? Apalagi ia masih trauma dengan kejadian tadi. Tapi, tidak mungkin ia terus disini. Pria itu orang asing. Siapa tahu, dia memang memiliki niat buruk pada Arin.

"Menginap saja disini. Kau bisa pulang besok pagi."

To be continued...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel