Pustaka
Bahasa Indonesia

MUST LOVE ME

74.0K · Tamat
Ariandini
64
Bab
60.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Peristiwa mengerikan malam itu membuat Arin mau tidak mau harus menerima bahwa pria yang begitu ia hindari, memanglah ditakdirkan untuk menjadi pendamping hidupnya. Karena sejauh apapun kau pergi, sebenci apapun kau padanya, kau akan tetap dikalahkan oleh oleh skenario Tuhan yang ingin kau bersamanya.

RomansaBillionaireIstriDewasaLove after MarriageCinta Pada Pandangan PertamaPernikahanMenyedihkanMengandung Diluar NikahSalah Paham

Bab 1 Bertaruh nyawa

"Kapan kamu akan mencari pasangan? Mama ingin kamu segera menikah."

"Arin sudah bilang, ma. Arin tidak ingin menikah. Tidak akan. Sampai kapanpun."

"Hhhhhh sebenarnya ada apa denganmu? Teman-temanmu bahkan ada yang sudah memiliki tiga anak. Mama juga ingin menggendong cucu."

"Maaf, ma. Jangan paksa Arin! Dan Arin tidak ingin kita membicarakan masalah ini lagi. Arin tutup ya telfonnya?"

"Hmmm.."

Ya, aku hanya akan fokus untuk memenuhi semua kebutuhan mama dan Alya. Itulah cita-citaku.

Bukan menikah!

***

Arin melangkah gontai diatas trotoar setelah keluar dari kantor tempatnya bekerja selama tiga tahun terakhir.

Pembicaraan dengan ibunya semalam membuatnya kesal namun sedih juga. Pasalnya sejak ia menginjakkan kaki di kota metropolitan ini, ibunya itu selalu mengatakan hal yang sama. Seperti :

"Sayang, apa kamu sudah makan, nak? Kalau pacar, sudah punya belum?"

Atau

"Barusan mama ke minimarket dengan Alya. Apa kamu disana tidak pernah bertemu dengan lelaki tampan?"

Ya. Apapun yang sedang ibunya bicarakan, tidak pernah sekalipun ia lupa menanyakan hal itu. Dan Arin pun hanya bisa menjawab malas atau mencoba mengalihkan pembicaraan.

Ia benar-benar tidak tertarik untuk membicarakan hal semacam itu.

BRRRAAAAKKKKKKKK

"Aaaaaaaaaaaaa!"

Tubuh Arin mengejang. Bunyi dentuman yang begitu memekakkan telinga itu membuat jantung Arin berpacu lebih cepat.

Dengan cepat Arin membalikkan tubuhnya kearah jalan raya yang juga sedang menjadi fokus semua orang yang berada disana.

Seketika tubuhnya membeku ditempat.

Dilihatnya 2 mobil sedan berwarna hitam telah dalam keadaan terbalik tak jauh dari tempatnya berdiri. Trotoar berubah ramai oleh orang-orang yang semakin berdesak-desakan, saling berebut ingin melihat. Suara teriakan orang-orang bersahut-sahutan kala salah satu mobil mengeluarkan asap. Dan teriakan semakin ramai lagi saat ada sosok yang merangkak keluar dari mobil yang lain.

Tak ada yang berani mendekat apalagi memberi pertolongan. Orang-orang hanya mampu melihat bagaimana sosok yang berlumuran darah itu bersusah payah menyeret tubuhnya menjauh dari mobil.

Arin kembali dari kebekuannya. Dengan histeris ia mengguncang tubuh beberapa kaum adam yang berada disekitarnya; meminta agar mereka mau membantu sosok yang tengah berjuang menghindari maut disana.

"Apa yang bisa kami lakukan? Salah satu mobil itu pasti akan meledak sebentar lagi."

"Tidak ada gunanya menolong!"

"Kau ingin aku ikut mati dengan orang itu? Kau gila!"

Tentu saja. Mereka pasti menolak. Tidak ada yang mau mendatangi tempat persinggahan malaikat maut. Namun Arin tak lantas berdiam diri. Ia mengalihkan pandangan ke seluruh arah mencari para petugas pelindung masyarakat. Namun petugas-petugas itu tidak tampak memperdulikan sosok disana. Mereka hanya sibuk memerintahkan agar orang-orang menjauh dari tempat kejadian.

Tiba-tiba....

"Aaaaaaaaa!!!"

"Heiii!!! Kembali!!"

"Heii!! Kau ingin mati?"

Tempat itu kembali ramai. Kali ini semua orang, bahkan sampai petugas kepolisian sama-sama meneriaki seorang wanita muda dengan seragam kantoran yang berlari kencang ke arah mobil-mobil yang tadi mengalami kecelakaan.

Siapa lagi kalau bukan Arin. Wanita itu kini mendapat celaan sekaligus doa dari para masyarakat yang sama-sama bergidik ngeri.

Tanpa buang waktu, Arin segera menyambar tubuh berlumuran darah yang mulai tak bergerak itu dan menyeretnya sekuat tenaga. Dari jarak sedekat ini Arin baru menyadari bahwa sosok yang tengah ia seret merupakan seorang pria yang memiliki postur tinggi dan besar. Wajahnya tidak terlihat jelas karna sebagian besar tertutup darah. Tapi yang pasti, tubuh orang ini benar-benar berat sehingga menyulitkan langkahnya.

Ya tuhan.. sepertinya alasanku tidak menikah bukan lagi karena hal itu, tapi karena aku akan mati!

Arin menangis. Tentu saja.

Ia menangis karena ia akan mati sebelum melihat wajah ibu dan adiknya, juga menangis karena ia merasa pertolongannya akan sia-sia.

Sekali ia menarik, tubuh orang ini hanya bergeser sedikit saja. Pergelangan tangannya seperti akan terpisah dari lengan saking beratnya.

Sesekali Arin mengangkat pandangannya pada mobil yang tadi mengeluarkan asap. Air matanya semakin deras ketika melihat percikan api yang muncul diantara asap yang semakin mengepul. Tanpa berhenti sedetikpun, Arin makin menguatkan cengkramannya pada kedua bahu sosok tersebut. Teriakan orang-orang semakin riuh saja, membuat Arin melangkah dan menyeret dengan lebih cepat.

Hingga...

BBBBOOOOOOMMMMMMMMM

"AAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!"

***

Di sebuah ruangan, terdapat sesosok wanita yang tengah terbaring lemah tak sadarkan diri. Jari- jarinya bergerak perlahan seiring matanya yang mulai terbuka.

Saat sudah sadar sepenuhnya, ia pun melirik ke seluruh penjuru ruangan yang bercat putih itu.

Rumah sakit?

Wanita itu berusaha bangkit namun mendadak pandangannya buram. Ia meraba bagian belakang kepala lalu turun ke bahu kirinya yang sama-sama terasa sakit. Dan dua bagian tubuhnya itu bersama pergelangan tangan kirinya sama-sama di lilit perban.

Sementara pergelangan tangan kanan telah tertancap jarum infus.

"Ahhh... aku masih hidup?" Gumamnya.

Perlahan, ingatan demi ingatan muncul. Ia berusaha untuk kembali bangun namun harus gagal lagi karena kepalanya kembali berdenyut sakit sehingga ia harus merebahkan tubuhnya lagi.

Pada saat yang sama, pintu terbuka dan menampakkan wajah seorang pria muda ber jas putih. Wajahnya tampan dengan alis tebal dan bibir merah yang menggoda sambil tersenyum ramah. Terlihat di nametag yang menempel di dada kirinya tertulis; dr. Zaki Resmawan. Ya, pria itu adalah seorang dokter. Tentu saja.

"Nona Arinda? sudah siuman rupanya."

Wanita yang ternyata adalah Arin itu kembali berusaha bangun namun dokter muda tadi segera menahannya.

"Lebih baik anda jangan dulu banyak bergerak." Sarannya dengan senyum yang belum juga pudar.

"Apa ada kerusakan dalam tubuh saya? Saya pingsan berapa lama? Orang itu.. orang yang saya tolong... yang.... yang-"

Zaki terkekeh mendengar pertanyaan beruntun dari Arin. "Anda tenang dulu. Jangan panik."

"Dokter tau tidak kronologis kejadian itu? Saya tidak mengingat apa-apa lagi setelah mobil didekat saya meledak."

"Iya. Saya tau. Tapi, sebelum itu anda harus minum dulu. Mari, saya bantu."

Melangkah lebih dekat, Zaki membantu Arin meminum air dari gelas yang entah sudah sejak kapan ada di atas nakas disamping ranjangnya.

"Jadii... bagaimana dok?" Tanya Arin tidak sabar saat ia sudah kembali membenarkan posisinya.

Dokter itu pun menarik kursi dan duduk di sebelah kanan ranjang tempat Arin terbaring.

"Anda tidak sadarkan diri selama 3 jam..." Ucapnya. Memberi sedikit jeda sebelum melanjutkan,

"... saat kejadian, anda berada dalam jarak 14 meter saat mobil meledak. Sehingga anda terlempar sejauh 2 meter dan mendarat dalam keadaan menyamping ke arah kiri. Itu sebabnya, kepala bagian belakang, pundak dan pergelangan tangan kiri anda terluka sehingga butuh beberapa jahitan. Sebuah keajaiban sebenarnya. Karena anda tidak mengalami luka serius. Mungkin tuhan masih ingin anda hidup lebih lama."

"O-orang yang saya tolong.... a-apa dokter tau bagaimana keadaannya?" Arin bertanya dengan mimik wajah cemas yang sangat kentara. Berbagai macam dugaan-dugaan buruk muncul satu persatu dalam otaknya. Membuat kepalanya semakin pusing.

"Beliau mendapatkan banyak luka akibat kecelakaan yang ia alami. Terutama di bagian kepala. Apalagi beliau juga terkena dampak ledakan seperti anda. Jadi, sekarang... beliau dalam keadaan kritis."

Arin memekik tertahan.

Orang itu, sedang kritis?

"Apa ada kemungkinan beliau bisa kembali sembuh?" Tanya Arin harap-harap cemas.

"Kami sudah mengusahakan yang terbaik sebisa kami. Selebihnya kita hanya bisa berdoa. Semoga tuhan memberi keajaiban bagi beliau."

Pandangan Arin beralih menuju langit-langit kamar. Mengingat kembali kejadian paling mengerikan dan menakutkan pertama dalam hidupnya.

"Saya permisi dulu. Ada pasien lain yang harus saya periksa. Jika ada apa-apa, tekan saja tombol ini." Ucapnya sambil menunjuk tombol yang berfungsi untuk memanggil dokter atau perawat. Tak lupa ia tersenyum pada Arin sebelum berbalik dan melangkah keluar ruangan.

To be continued...