Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Pria Itu Muncul Lagi

"Rumahmu disini?" Tanya Arin. Wanita itu sedikit takut sekaligus sedih ketika memasuki sebuah pemukiman kumuh di pinggiran kota Jakarta yang terkenal glamour ini.

Mia sebenarnya tidak mengizinkan Arin untuk bertandang ke rumahnya. Bukan karena ia malu, melainkan karena anak kecil itu menghawatirkan keselamatan Arin.

"Kakak perempuan yang cantik. Mia takut kakak diganggu." Kata Mia saat mereka di restoran kemarin.

Setelah Arin meyakinkannya, barulah Mia mengizinkan dengan terpaksa. Dan disinilah Arin, sepulang kerja ia langsung bertemu dengan Mia di tempat yang sudah mereka tentukan.

Di daerah itu, banyak rumah-rumah kecil yang saling berdempetan. Pakaian yang dijemur menghiasi bagian depan dari masing-masing rumah.

Lingkungan itu begitu ramai. Banyak anak-anak kecil yang berlari kesana kemari dan bermain berbagai macam permainan. Yang miris adalah, pakaian mereka banyak bekas tambalan. Wajah mereka kumal dan banyak yang tidak beralas kaki.

Seperti Mia.

"Iya kak, rumahku yang itu." Mia menunjuk rumah kecil berdinding seng tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

"Ayo kak!" Mia menarik tangan Arin mendekati rumahnya. Arin menengok bagian dalam rumah tersebut dengan hati teriris, bagaimana tidak, bagian dalam rumah itu begitu sempit. Lantainya tanah yang tidak rata dan hanya ada sebuah tikar kecil dengan satu buah bantal.

"Maaf kak, di dalam tidak ada tempat duduk." Kata Mia dengan kepala tertunduk. Arin pun berjongkok menghadap Mia sambil mengelus lembut rambut anak perempuan itu.

"Tidak apa-apa. Kakak kamu ada dimana?"

"Kak Yudi sedang bekerja. Ia akan pulang nanti malam."

***

Hari semakin gelap, Arin pun bergegas meninggalkan tempat tinggal Mia. Arin merasa lega karena Mia menemaninya keluar dari pemukiman yang semakin sore terasa makin menakutkan. Arin tidak bisa membayangkan bagaimana anak-anak kecil seperti Mia bisa dengan berani melewati jalanan di pemukiman ini.

Untuk keluar dari pemukiman itu, mereka harus kembali melewati jalan sempit diantara rumah-rumah kumuh yang tidak berpenghuni seperti saat mereka datang tadi. Arin dan Mia semakin mempercepat langkahnya saat mendengar siulan-siulan yang Arin duga berasal dari para preman yang berkumpul di lorong sempit dan gelap diantara rumah-rumah disana.

"Eitsss.. jalannya pelan-pelan saja. Nanti tersandung!"

Langkah Arin dan Mia terhenti ketika seorang pria berambut gondrong menahan mereka di depan. Disusul oleh tiga pria berbadan kekar lainnya.

Genggaman tangan Arin dan Mia makin mengerat. Mereka sama-sama takut.

"Permisi pak, kami ingin lewat!" Ucap Arin berusaha tegas.

Para preman itu tertawa mengejek. "Lewat? Lewat mana? Depan apa belakang? Saya inginnya semua. Hahahaha"

"Bang Tono, biarkan kakakku pergi!" Suara Mia terdengar bergetar namun sedikit membuat Arin salut karena anak itu berani mengeluarkan suaranya.

"Eh.. Mia? Bang Jul!! Ini anakmu! Huh.. mengganggu saja!" Kata seorang preman yang berdiri paling kanan.

"Kak..." Mia merapatkan tubuhnya pada Arin. Dan Arin berusaha untuk tidak lengah sedikitpun. Meskipun ia juga takut.

Tapi Arin salah. Ia lengah. Ia tidak memperhatikan seorang pria yang berjalan mendekat kearahnya dari belakang dan menarik dengan keras tubuh Mia. Hal itu menyebabkan tubuh Arin juga ikut tertarik kebelakang karena genggaman tangannya dan Mia yang sangat erat sebelum akhirnya terlepas juga.

"Mia!!!!"

"Kakakkk!!" Mia berteriak dan berontak, berusaha melepaskan genggaman seorang pria pada lengan atasnya yang kurus. Tentu saja tenaga Mia tak mampu membuatnya terbebas. Pria itu terlalu kuat.

"Lepaskan Mia!" Bentak Arin. Pria itu tertawa keras.

"Saya ayahnya! Mau apa kamu?" Pria itu balas membentak Arin dengan suara yang mampu membuat sekujur tubuh wanita itu membeku.

Pada saat yang sama, kedua pegelangan tangannya ditarik kebelakang dengan keras membuat Arin memberontak sekuat tenaga. Ia tahu, ia tak mampu melepaskan diri, tapi setidaknya ia tak membiarkan preman-preman itu menyentuh bagian lain tubuhnya.

Arin ditarik paksa ke arah lorong gelap. Ia tak berhenti berteriak, pun sama dengan Mia. Anak kecil itu menangis meraung memanggil Arin sambil memohon pada ayahnya untuk melepaskan Arin.

Tiba-tiba,

"Akkkhhh"

Arin berhenti berontak. Para preman itu juga berhenti melangkah. Mereka semua tampak kaget saat melihat salah satu temannya jatuh tersungkur diatas tanah sambil mengerang memegang pinggulnya.

Setelah itu, pandangan mereka beralih pada seorang pria berkemeja putih yang berdiri tak jauh dari mereka. Preman yang tadi terjatuh kembali bangkit, meskipun sedikit tertatih.

Arin membulatkan matanya.

Apa ia tak salah lihat?

'Pria itu... bukannya dia adalah pria aneh di restoran kemarin? Bagaimana dia bisa ada disini?' Batin Arin.

"Apa maumu, hah?" Salah satu preman maju dan berdiri menantang di hadapan pria itu. Kemudian di susul oleh pria yang tadinya memegang tangan kiri Arin. Sementara yang satunya masih setia memegang tangan Arin yang lain.

Ayah Mia juga melangkah maju dan meninggalkan Mia yang tengah berdiri mematung sambil sesekali memandang Arin sedih.

Pria berkemeja putih dengan celana bahan hitam serta dasi berwarna senada itu berdiri tegap dengan tatapan dinginnya yang mengarah pada Arin.

"Dia!" Ucapnya datar dengan suara rendah yang membuat jantung Arin berdegup kencang.

Arin takut pria itu juga punya maksud jahat padanya. Arin sudah menerka-nerka apa yang akan dilakukan pria itu jika memang ia berhasil membuatnya lepas dari sini.

"Jangan harap! Wanita itu telah memasuki wilayahku! Jadi, ia harus membayar dengan tubuhnya! Hahaha" suara tawa para preman itu terdengar menggelegar disaat hari sudah benar-benar hampir gelap.

"Hhh.. berapa uang yang kalian inginkan? Akan saya berikan. Tapi lepaskan dia!" Pria itu memandang para preman satu persatu dengan tatapan tajamnya yang terkesan merendahkan. Membuat preman-preman itu menggeram marah.

"Sial! Berani-beraninya kau menatapku sepertu itu! Rasakan ini!"

Semua preman berbadan besar dan kekar itu―kecuali yang tengah memegang Arin―maju dan saling mengadu kekuatan dengan pria asing tadi dengan perbandingan 4:1. Mereka menyerang dari berbagai arah dengan brutal namun hebatnya pria itu mampu menghindar serta menangkis dengan lihainya. Seperti memang sudah terlatih bela diri.

Dua menit berikutnya pria asing tadi telah melumpuhkan dua orang preman sampai mereka jatuh dan mengerang sambil memegang bagian tubuh masing-masing yang terluka akibat serangan pria itu.

Melihat dua orang kawannya tumbang, preman yang tengah memegang Arin ikut maju secara tiba-tiba dan langsung melayangkan tendangan ke arah punggung pria asing itu sehingga pria itu sempat jatuh dengan bertumpu pada lutut. Ayah Mia memanfaatkan kesempatan itu untuk ikut menendang tubuh pria itu, namun dengan sigap, pria itu menghindar dan bangkit.

Gelap. Hari telah benar-benar gelap. Lorong sempit itu hanya diterangi oleh 1 lampu disalah satu rumah dengan sinar temaram. Baik Arin maupun Mia sama-sama bersembunyi di tempat yang berbeda. Menyaksikan perkelahian yang seperti tidak ada akhirnya.

Dua preman yang sebelumnya telah ambruk, kembali bangkit. Kali ini mereka berlima sama-sama mengeluarkan senjata tajam. Arin memandang Mia dari kejauhan kemudian memberikan isyarat pada Mia untuk lari dari sana. Meskipun sempat enggan, akhirnya Mia menurut dan lari secepat mungkin kembali ke arah rumahnya.

Arin memandang ke enam orang itu dengan cemas. Dia ingin lari, namun posisinya sedang berada di dalam lorong buntu dan perkelahian sengit itu terjadi tepat didepannya.

Entah kekuatan darimana, pria asing tadi mampu kembali menumbangkan preman-preman itu satu persatu. Tanpa menunggu sampai para preman itu bangkit, pria itu berlari menghampiri Arin dengan gerakan cepat tak terduga lalu menarik kuat tangan wanita itu agar berlari bersamanya.

Arin masih belum bisa memproses kejadian spontan itu seratus persen. Ia merasa seperti berlari tanpa menapak tanah. Kakinya mati rasa. Pergelangan tangannya kebas karena digenggam terlalu erat. Kepalanya terasa sakit, dan ia hampir tidak bisa mendengar suara apapun selain detak jantungnya sendiri. Ia benar-benar seperti orang yang kehilangan akal.

Arin dan pria itu sama sekali tak mempedulikan banyak pasang mata yang melihat mereka berlarian dimalam hari.

"Cepat masuk!" Arin menurut. Ia masuk ke dalam mobil yang terparkir di pinggir jalan raya dan duduk dengan napas tersengal-sengal. Arin tak tahu kapan pria itu ikut masuk kedalam mobil, yang jelas, sekarang mobil itu tengah melaju dengan kecepatan tinggi.

"K-kita a-akan kemana???"

To be continued...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel