Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Pria Aneh

Hari minggu ini Arin merasa bosan. Setelah tadi ia selesai mencuci dan menjemur pakaiannya sendiri, ia menelpon beberapa sahabatnya di kantor untuk diajak jalan-jalan. Namun tak ada satupun yang menerima ajakan itu karena berbagai macam alasan.

Sempat terlintas di benak Arin untuk menjenguk William di rumah sakit, tapi ia kembali merasa tak enak hati. Baru seminggu yang lalu ia menjenguk William saat baru siuman. Ia berpikir, hanya karena ia menyelamatkan William dan dianggap anak, bukan berarti ia harus terus-terusan berada disana seperti keluarga sungguhan. Ia tak ingin merusak kebersamaan mereka dengan kehadirannya.

Akhirnya Arin memutuskan untuk keluar sendiri. Ia juga lapar dan memang sedang ingin makan diluar.

Saat Arin tiba di depan sebuah restoran―yang memang biasa ia datangi―, ia melihat seorang anak perempuan kecil yang sedang berjongkok sambil menunduk dibelakang sebuah mobil yang terparkir di depan restoran itu. Arin mendatangi anak tersebut lalu ikut berjongkok dihadapannya.

"Hai adik manis! Sedang apa disini?" Tanya Arin lembut.

Anak itu mengangkat wajahnya. Dapat Arin lihat ekspresi anak itu yang sedikit meringis seperti tengah menahan sakit.

"Ada apa denganmu?" Tanya Arin lagi. "Kamu sakit?"

Anak itu menggeleng lalu kembali menenggelamkan wajahnya diantara kedua lutut kecilnya.

"Katakan pada kakak, kamu kenapa? Jangan takut! Kakak tidak akan menyakitimu." Desak Arin sembari mengelus lembut rambut pendek kusut anak itu. Anak itu sepertinya pengemis atau pemulung, Arin tidak bisa memastikan.

Perlahan anak itu mengangkat wajahnya lagi. Kali ini ia menatapi Arin yang masih tersenyum manis itu dari atas sampai bawah hingga membuat Arin mengernyitkan dahinya bingung.

"Mia lapar, kak!" Anak bernama Mia itu menatap Arin sayu. Baru Arin sadari bahwa sedari tadi Mia memang memegangi perutnya.

"Wah kebetulan! Saat ini kakak memang sedang butuh teman makan. Ayo kita makan bersama! Jangan menolak!" Seru Arin antusias.

Wajah Mia seketika berubah senang, namun kemudian ia murung lagi.

"Tapi kakak adalah orang asing. Ibuku berkata, aku tidak boleh menerima tawaran orang asing!" Kata Mia dengan wajah polosnya.

Arin terkekeh. "Kalau begitu, kita harus berkenalan, biar tidak jadi orang asing lagi. Nama kakak, Arin." Arin mengulurkan tangannya kepada Mia.

Awalnya Mia ragu, namun ia akhirnya membalas uluran tangan Arin sambil tersenyum. Semakin lebar. Sehingga barisan giginya yang rapi dan cukup bersih terlihat.

"Sekarang, anggap saja aku adalah kakakmu sendiri, okey?" Arin beranjak dari posisinya dan diikuti oleh Mia. Ia pun menggandeng tangan Mia sambil berjalan masuk ke dalam restoran sederhana itu.

Didalam sana mereka segera menuju meja persegi dengan satu kursi di setiap sisinya yang masih kosong didekat jendela. Setelah memesan makanan untuknya dan Mia, akhirnya Arin pun memanfaatkan waktu itu untuk berbicara dengan Mia yang masih tampak canggung dengannya.

"Mia, sekarang umurmu berapa?" Tanya Arin.

"8 tahun, kak."

"Kamu tinggal dimana?"

Belum sempat Mia menjawab, tiba-tiba datang seorang pria dengan perawakan tinggi dan memakai jas hitam lengkap dengan dasi berwarna senada duduk di salah satu kursi di meja yang sama dengan yang Arin juga Mia duduki.

Dalam sekali lihat, ia tahu bahwa pria itu pastilah bukan orang biasa.

Selama 5 detik Arin membeku melihat pria itu. Ekspresinya datar. Begitu dingin sehingga terkesan angkuh. Namun tetap saja, ketampanannya benar-benar diluar batas manusia normal!

Atau dia bukan manusia?

"Kenapa memandangku seperti itu?"

Suara rendah dan tatapan tajam yang sedikit menyeramkan itu menyadarkan Arin dari kebekuannya. Ia mengerjap lalu memperbaiki ekspresi.

"Eh..ehm.. aku hanya kaget, anda tiba-tiba duduk di meja kami." Ucap Arin berusaha sopan.

Pria itu terkekeh. "Mejamu? Meja ini sudah ku pesan, kalau kau mau tau." pria itu berbicara sambil menatap ka arah jendela.

"Oh ya?" Arin segera mengedarkan pandangannya. Mencari tempat duduk yang kosong agar ia dan Mia bisa segera pindah. Namun nihil. Ia tidak menemukannya. Semua tempat sudah terisi.

"Maaf, tapi, tidak ada lagi tempat yang kosong. Apa... anda akan bertemu dengan banyak orang disini?"

"Tidak." Jawabnya. Hanya itu saja. Dan Arin menjadi bingung, maksudnya orang yang datang tidak banyak atau tidak akan ada yang datang sama sekali?

Arin tidak bertanya lagi. Pria itu juga begitu fokus pada benda pipih besar di tangannya dan menunjukkan gestur seperti tidak ingin diajak bicara. Sampai seorang pelayan wanita datang membawa makanan pesanan Arin dan Mia.

"Maaf, apa anda ingin memesan sesuatu?" Tanya pelayan itu dengan senyum semanis mungkin setelah selesai menaruh makanan diatas meja.

"Aku bahkan tidak memegang buku menu." Jawabnya dingin sambil tetap fokus pada tabletnya. Pelayan yang tadinya terlihat gugup karena mungkin terpesona dengan wajah pria itu kini malah gugup karena mendapat jawaban tak terkira. Arin yang mendengar jawabannya pun ikut kesal.

Apa begitu sulit mengatakan; 'tidak, saya tidak memesan apapun'?

Pelayan itu pun pamit lalu berlalu dengan wajah menunduk. Arin memutuskan untuk mengabaikannya dan berbicara dengan Mia.

"Makanannya dihabiskan, ya?" Ucap Arin sambil tersenyum lalu mulai memegang sendok bersiap makan.

"Mari, kami makan dulu." Ucap Arin. Sebenarnya ia tak ingin berbicara pada pria itu lagi, hanya saja, menegur orang ketika akan makan sudah menjadi kebiasaannya.

Pria itu diam. Tidak menjawab dan tidak memberikan ekspresi apapun. Entah dia tidak mendengar atau pura-pura tidak mendengar. Arin merasa seperti ingin menggebrak meja dihadapan pria itu agar ia sadar bahwa ada orang yang sedang menegurnya. Namun ia menahan emosinya dengan mencoba tersenyum pada Mia.

Benar-benar menyebalkan!

"Makanannya enak kak!" Seru Mia disela suapannya. Membuat Arin melupakan kekesalannya barusan.

Arin tersenyum. "Tentu saja, itu sebabnya kakak mengajakmu kesini."

"Kak Yudi tidak tahu kalau ada makanan seenak ini." Ucapan Mia membuat Arin mengerutkan keningnya.

"Yudi siapa?"

"Kakakku. Setiap hari kami hanya makan mie rebus." Kata-kata Mia membuat Arin terharu.

"Ya sudah, jika ada waktu luang, kita ajak kakakmu ke tempat ini, bagaimana?" Mendengar ucapan Arin membuat Mia terlonjak senang. Ia turun dari kursi nya dan berjingkrak sambil bertepuk tangan. Aksi Mia membuat sebagian orang menatap kearah mereka. Tak terkecuali pria didepannya. Ia hanya mengangkat pandangannya sedetik lalu kembali melihat benda yang menjadi fokusnya sejak tadi.

"Mia, tidak boleh loncat-loncat seperti itu. Nanti perutmu sakit!" Ucap Arin sambil membantu Mia duduk kembali ke kursinya.

Arin sangat senang melihat Mia. Mengingatkannya pada adik kandung satu-satunya yang berada di kampung halaman.

Ah.. aku jadi ingin menelepon Alya. Batin Arin.

Ada satu hal yang mengusik Arin sejak tadi. Ia sama sekali tidak melihat siapapun datang ke mejanya untuk bertemu dengan pria di dekatnya ini. Pria itu pun tidak terlihat menunggu seseorang dan benar-benar tidak memesan apapun.

Tapi Arin tidak peduli. Baginya, setampan dan sekaya apapun seseorang, akan percuma bila tidak bisa menghargai orang lain.

Arin dan Mia pun beranjak dari tempat duduk mereka.

"Permisi, kami duluan." Meskipun Arin tahu pria itu hanya akan mengabaikannya, tetap saja Arin merasa tidak sopan kalau tidak menegur. Ah, terkutuklah sifat sopannya ini.

Tanpa berlama-lama lagi, Arin segera menarik tangan Mia dan berjalan ke arah kasir untuk membayar makanan mereka lalu keluar dari restoran.

Arin menghela napas lega. Seakan baru keluar dari ruangan sempit yang menyesakkan. Keberadaan pria aneh tadi benar-benar membuat makannya tidak terasa nikmat.

"Om tadi menyeramkan ya, kak?" Ucap Mia tiba-tiba.

"Iya, seperti hantu!"

Setelah mengucapkan itu, Arin dan Mia sama-sama bergidik ngeri. Seakan-akan baru bertemu hantu sungguhan. Ia diam-diam berharap dalam hati, semoga tidak bertemu lagi dengan pria tadi.

To be continued...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel