Bab 3 Siuman
Gerimis kecil turun perlahan dari awan mendung yang telah bertandang sejak siang tadi. Arin mendengus kesal ketika ia harus berlari lebih cepat menuju jalan raya ketika rintik hujan terasa makin deras. Segera ditahannya taksi yang kebetulan melintas didepannya lalu memasukinya dengan terburu-buru.
"RSCM ya, pak!" Ucapnya pada pengemudi berseragam biru itu.
"Baik, Nona."
Arin mengibaskan permukaan pakaian dan rambut panjangnya dengan gerakan asal lalu memperbaiki penampilannya agar tidak terlihat berantakan.
Ia gugup. Bercampur senang.
Tepat saat membereskan barang-barangnya di kantor tadi, ia mendapat telepon dari Lidya.
William relah siuman!
Arin merasa senang bukan main. Selama lebih dari satu minggu ia dan keluarga William menunggu pria yang ternyata berumur 55 tahun itu sadar dari koma nya. Selama waktu itu, Arin menjenguk William hanya sekali. Saat itu Lidya sedang sendiri karena anak-anaknya punya kesibukan. Entah apa kesibukan mereka, Arin tak berani bertanya.
Tak terasa, taksi yang Arin tumpangi telah sampai dihalaman rumah sakit besar itu. Setelah membayar, Arin segera turun dan langsung menuju kamar rawat William.
Sampai diruangan tujuan, Arin membuka pintu kamar rawat tersebut dan matanya langsung tertuju pada seorang pria paruh baya yang tengah dalam posisi duduk. Ia terlihat tersenyum sambil menatap orang-orang didepannya, yaitu Lidya dan seorang perempuan dengan kepala menunduk tengah menangis sambil sama-sama menggenggam erat tangan William.
Arin juga melihat Leon. Pria itu berdiri disamping Lidya dan sesekali mengusap air matanya. Mereka tampak belum menyadari kehadiran Arin.
"S-selamat sore!" Ucap Arin ragu. Ia tak tahu harus mengucapkan apa. Ia merasa datang diwaktu yang salah.
Sontak semua yang ada disana mengalihkan pandangannya, menatap Arin dengan mata sembab namun dengan sorot bahagia. Perempuan disamping Lidya pun mengangkat wajahnya. Arin tidak terlalu bisa melihat wajahnya, sebab sedikit berantakan karena habis menangis. Kecuali William, pria tua yang kepala dan lengan kanannya terlilit perban itu menatapnya dengan pandangan bingung.
Lidya bangkit lalu berjalan cepat ke arah Arin dan langsung memeluknya erat. "Terima kasih Arin! Terima kasih banyak, nak! Ini semua berkat kamu." Lidya berucap sambil terisak. Membuat Arin secara tak sadar juga meneteskan air matanya.
Setelah Lidya melepaskan pelukannya, wanita itu menarik pelan lengan Arin agar mendekat ke ranjang pasien tempat William duduk.
"Tadi, daddy penasaran, bukan? Siapa yang menolong daddy saat kecelakaan itu?" Lidya tersenyum, lalu melanjutkan, "Ini dia orangnya."
Dapat Arin lihat William sedikit terkejut, ia mengangkat kedua alisnya hingga keningnya berkerut. "Kamu.... yang menolong saya?"
Arin tersenyum lalu mengangguk canggung. "I-iya, om."
"Kemarilah, nak!" William meminta Arin mendekat. Arin pun duduk dikursi yang tadi diduduki Lidya. William lalu mengusap kepala Arin lembut dengan tangan kirinya yang tidak diperban.
"Saya... benar-benar tidak menyangka masih bisa diizinkan melihat dunia lagi. Saat itu saya pikir saya akan mati bagaimanapun besarnya usaha saya untuk menghindar dari sana. Saya bahkan tidak lagi mengharapkan bantuan karena memang kondisi saat itu memang tidak mengizinkan siapapun untuk mendekat. Tapi... kamu... yang saya pikir adalah malaikat yang menjemput ajal saya, datang dan membuat segala ketidakmungkinan itu menjadi mungkin.
"Dan saya lebih tidak menyangka lagi bahwa yang menyelamatkan nyawa saya adalah seorang wanita muda. Terima kasih, nak! Terima kasih banyak! Terima kasih karena bersedia mempertaruhkan nyawamu untuk saya." Air mata William menetes dan mengalir semakin deras. Begitupun Arin dan semua yang ada disana.
"Yang menyelamatkan om bukan saya. Tapi tuhan. Saya hanya perantara. Tuhan memberikan saya kekuatan, keberanian dan keyakinan untuk maju dan menolong om. Sekarang yang terpenting, om sudah siuman dan bisa kembali berkumpul bersama keluarga. Setidaknya apa yang saya lakukan tidak sia-sia." Arin tersenyum lalu menangkup tangan William dengan kedua tangannya.
"Rasanya triliunan ucapan 'terima kasih' atau bahkan lebih tidak akan sebanding dengan yang kamu lakukan. Katakan, nak! Katakan apa saja yang kamu inginkan! Katakan semuanya! Saya akan memberikannya meskipun itu sebagian harta yang saya punya." Ujar William mantap.
Arin menggeleng cepat dan menarik tangannya pelan. Ia sedikit terkejut mendengar penuturan William barusan.
"Tidak, om! Tidak perlu seperti itu! Tidak perlu memberikan saya apapun. Saya menolong om dengan ikhlas. Benar-benar ikhlas. Saya punya pekerjaan dengan gaji yang cukup, om. Saya masih bisa memenuhi kebutuhan hidup saya. Saya hanya ingin kita semua yang ada disini hidup lebih bahagia. Itu saja."
"Tidak, tidak! Saya tidak menerima penolakan! Ini juga murni dari keinginan saya sekeluarga. Kalau kamu menolak, ini akan menjadi beban saya seumur hidup."
"Iya nak. Tante juga merasa menanggung beban berat kalau kamu menolak pemberian kami. Katakan saja!" Lidya mengusap lembut puncak kepala Arin yang tengah menunduk. Wanita itu tengah bingung. Ia tidak mau di anggap memanfaatkan kesempatan.
"Maaf, om, tante.. Saya tidak bisa." Ucap Arin dengan kepala yang tertunduk semakin dalam.
William dan Lidya menghela napas, mereka paham bagaimana perasaan Arin. Namun mereka juga tidak bisa diam saja. Prinsip mereka adalah setiap bantuan harus mendapat balasan. Apalagi ini menyangkut nyawa.
Tiba-tiba, sebuah ide muncul di kepala William.
"Hhh.. ya sudah, nak, kalau kamu tidak bisa. Kami mengerti" Ucap William seraya tersenyum tulus.
"Tapi dad-" Lidya menatap suaminya bingung. Namun ia tak melanjutkan kalimatnya ketika melihat William mengedipkan sebelah matanya pada Lidya. Membuat Lidya paham. Pasti ada sesuatu yang tengah suaminya rencanakan.
Arin lalu duduk bersama Leon dan Liana―wanita muda yang tadi Arin lihat sedang ikut menangis disamping Lidya―. Liana yang ternyata saudari kembar Leon memiliki paras yang cantik dengan wajah blasterannya. Wanita itu juga langsung akrab dengan Arin.
"Arin, kamu asli Jakarta?" Tanya William.
"Bukan, om. Saya asli dari daerah Kediri, Jawa Timur. Saya datang ke Jakarta untuk bekerja."
"Ah, jangan panggil saya 'om' lagi. Panggil saja daddy dan ini mommy," William menangkup tangan istrinya, "Dan anggap kami berdua ini orang tua kamu. Kamu juga seumuran dengan Leon dan Liana, bukan?"
Arin mengangguk.
"Dimana kamu bekerja? Dan sebagai apa?"
"Saya bekerja di Kenshin Corp. Hanya sebagai karyawan, dad. Bagian informasi." William mengangguk mendengar jawaban Arin.
Arin tidak sengaja menatap keluar jendela dan sedikit terkejut kala mendapati hari telah gelap. Ia pun segera meminta izin pada semua yang ada disana untuk pamit.
"Biar kali ini aku yang mengantar. Sudah malam." Pinta Leon.
Arin mengangguk. Ia memang seringkali takut ketika harus pulang ke kontrakannya di malam hari. Biasanya ketika lembur di kantor, ia akan meminta sahabatnya untuk mengantar.
Setelah menyalami William dan Lidya, akhirnya Arin dan Leon pun pamit dan keluar menuju parkiran.
"Mm.. kalau boleh tahu, apa kamu anak pertama om William dan tante Lidya? Maksud aku, kamu dan Liana." Tanya Arin saat mobil mewah Leon mulai melaju meninggalkan area rumah sakit.
"Tidak. Aku dan Liana anak ketiga. Aku punya dua orang kakak. Yang satu tinggal di Prancis, dan yang satunya lagi di Amerika." Jawab Leon santai sambil tetap memandang ke arah depan.
"Apa mereka tidak datang menjenguk om William?"
"Kakak pertamaku datang sejak hari ke enam daddy koma. Tadi setelah daddy sadar, dia pamit pulang sebentar. Nanti malam dia akan kembali. Mungkin, saat kamu datang, kakakku kebetulan sedang tidak di rumah sakit." Leon memberi jeda sebentar saat tiba di lampu merah.
"Sementara, kakakku yang kedua memang super sibuk. Dia sempat sulit dihubungi, jadi ia baru mengetahui kondisi daddy kemarin sore. Ia berkata akan datang hari ini." Leon mengangkat bahunya. Pertanda ia tidak yakin dengan kalimatnya yang terakhir.
Arin hanya mengangguk-angguk tanda mengerti. Ia tak berani bertanya lebih banyak. Khawatir akan dikatai 'kepo' walaupun sepertinya Leon akan mau-mau saja menjawab segala pertanyaannya.
Beberapa menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di depan sebuah gang yang mengarah ke kontrakan Arin. Arin segera turun setelah mengucapkan terimakasih. Leon pun kembali melajukan mobilnya kembali ke rumah sakit.
To be continued...
