Bab 2 Yang Tertolong
Perhatian Arin teralih pada ponselnya yang berdering tanda panggilan masuk. Tak butuh waktu lama, ia pun meraih ponsel tersebut dan menerima panggilan.
"Iya ma.."
"Kamu pulang hari ini?"
"Iya.."
"Apa dokter Zaki yang mengantar?"
"Tentu bukan. Arin pulang sendiri, tidak ingin merepotkan siapapun."
"Huh, padahal itu kesempatan bagus untuk kalian saling mengenal lebih jauh."
"Kau sudah benar-benar merasa baikan?"
Arin menoleh cepat kala mendengar suara orang yang baru saja menjadi objek pembicaraan bersama ibunya. Ia hampir saja terpekik andai saja otaknya tidak bekerja cepat untuk memperbaiki ekspresi. Ponselnya pun hampir saja terlepas dari genggaman.
Zaki sudah berada di sampingnya. Padahal dari tadi ia sama sekali tidak melihat pintu kamar rawatnya terbuka.
"D-dokter.. sejak kapan... ada d-disini?" Tanya Arin terbata-bata membuat Zaki terkekeh.
"Baru saja. Kau sepertinya terlalu fokus pada ponselmu sehingga tidak menyadari kehadiranku."
"Aahh.. maafkan aku. Tunggu sebentar," Arin tersenyum canggung sambil mengangkat kembali ponselnya ke samping telinga. "Ma, sudah dulu ya? Arin akan pulang sekarang. Bye.."
Hari ini Arin memang sudah diperbolehkan pulang oleh dokter karena kondisinya sudah membaik. Setelah 5 hari dirawat akhirnya ia bisa kembali beraktivitas seperti biasa.
"Apa ada yang perlu dibantu?" Tanya Zaki.
"Ahh.. tidak ada. Saya sudah selesai. Oh ya dok, apa kondisi pak William ada perkembangan?"
"Belum. Tapi setidaknya detak jantungnya tetap normal. Dan yang lebih penting, tidak semakin memburuk." Zaki mengulas senyumnya. Memberi ketenangan bagi Arin.
Arin menghela napas. Sudah 5 hari dia selalu mendapat kabar yang sama.
William. Pria paruh baya yang ia tolong dalam kecelakaan waktu itu dinyatakan koma beberapa hari yang lalu. Ia sendiri belum melihat rupa William sebab selama dirawat, ia tidak diperbolehkan keluar ruangan.
Istri William, Lidya, sering menjenguknya setelah melihat keadaan suaminya.
Dihari pertama ia masuk ke rumah sakit, wanita yang juga telah berumur itu datang lalu menangis tersedu-sedu sambil memegang tangan Arin dan mengucapkan kata 'terimakasih' berulang kali karena telah menyelamatkan suaminya. Meskipun sedang dalam keadaan antara hidup dan mati, setidaknya ia masih bisa melihat suaminya bernapas.
Setelah itu, mereka sudah terlihat seperti ibu dan anak. Ketika makan, Arin juga beberapa kali disuapi Lidya. Mereka tidak pernah bertemu dalam waktu lama. Sebab ia harus cepat-cepat kembali dan menunggui suaminya.
Siapa tahu suaminya tiba-tiba siuman, katanya.
Zaki pun mulai berbicara santai dengan Arin. Ia juga sering mengunjungi Arin setiap ia selesai memeriksa pasien lain. Tidak lama, hanya sekedar bercerita tentang para pasien yang ia tangani. Arin hampir menyukai Zaki, sebab pria itu ramah dan menyenangkan. Namun buru-buru ia tepis perasaannya, ia tidak ingin merasakan perasaan yang akan membuatnya tersakiti dikemudian hari.
"Mau ku antar ke ruangan pak William?" Tanya Zaki memecah lamunan Arin.
"Ah iya.. boleh. Aku memang akan berpamitan pada tante Lidya terlebih dahulu."
***
Kini Arin dan Zaki telah berada didepan sebuah ruangan yang memiliki ukuran pintu lebih besar dari ruangan lainnya.
Zaki melangkah terlebih dahulu memasuki ruangan tersebut.
Saat tiba didalam, mereka segera disambut oleh Lidya dan juga seorang pria muda, yang Arin taksir seumuran dengannya.
Pandangan Arin pun beralih pada sosok pria paruh baya yang tengah terbaring dengan tenang di atas ranjang pasien berukuran besar. Banyak kabel dan alat-alat rumah sakit penunjang kehidupan yang terpasang di beberapa bagian tubuhnya.
Ah, benar kata Lidya. William berwajah 'bule'. Tentu saja, beliau memang asli Prancis. Ia menjadi Warga Negara Indonesia saat menikah dengan Lidya dulu. Dan pria muda di samping Lidya itu pasti anaknya. Terlihat dari wajahnya campurannya.
Arin duduk disamping Lidya, memegang tangannya sambil tersenyum manis. "Dokter sudah membolehkan aku pulang tante. Jadi sekarang, aku ingin pamit pada tante." Ucapnya.
Lidya mengangkat sebelah tangannya lalu mengelus pipi Arin dengan lembut. "Iya, sayang. Tapi kamu akan datang lagi, kan? Menjenguk suami tante?"
"Iya, tante. Aku pasti akan tetap datang. Semoga, om William segera siuman dan sehat kembali."
"Aamiin.. oh ya, ini Leon, anak tante. Nanti dia yang yang akan mengantarmu pulang." Ucap Lidya. Leon pun tersenyum pada Arin.
"Ah.. Tidak usah repot-repot, tante. Biar saya saja yang mengantar Arin." Ucapan Zaki yang tiba-tiba membuat Arin mengangkat kepalanya dan melihat Zaki yang tersenyum ke arahnya.
Anehnya, setelah itu Arin malah tersenyum dan mengangguk pada Lidya. Seakan membenarkan ucapan Zaki. Padahal ia sedang tak ingin merepotkan siapapun. Entah kenapa. Ia jadi ingin lebih lama bersama Zaki.
"Ya sudah. Baiklah. Kalian hati-hati di jalan, ya?" Kata Lidya.
Mereka pun bangun dan melangkah keluar kamar. Lidya hanya mengantar sampai pintu saja, sementara Leon ikut mengantar sampai parkiran.
Sebelum itu, Arin dan Lidya sempat berpelukan erat. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu meneteskan air matanya. Entah karena apa. Ia tersenyum haru hingga Arin, Leon dan Zaki menghilang dari penglihatannya.
"Apa yang kau pikirkan saat menolong ayahku waktu itu?" Tanya Leon saat mereka mereka bertiga memasuki lift. Arin baru mengetahui bahwa ia selama ini dirawat di lantai 7 rumah sakit. Ia memang dianjurkan dokter untuk tidak keluar dari kamar rawatnya.
"Entah. Aku hanya tidak tahan meliat orang-orang tidak melakukan apapun sementara om William sedang kesulitan." Jawab Arin dengan suara pelan namun masih bisa terdengar.
"Aku tidak bisa berkata-kata saat melihat rekaman cctv jalan raya saat itu. Kau.... benar-benar berani." Akunya.
Arin hanya tersenyum menanggapi ucapan Leon. Ia juga tak tahu harus menjawab apa karena semua kejadian itu seakan diluar kendalinya. Mereka saling terdiam hingga tak terasa mereka sudah sampai di halaman parkir rumah sakit.
"Hati-hati! Kalau kau butuh apapun, beritahu aku. Ini nomorku." Leon menyodorkan benda pipih persegi empat yang merupakan kartu namanya. Disana tertulis 'Harleon Allenberg'. Arin menerimanya.
"Baiklah. Ya sudah. Aku pulang dulu." pamit Arin seraya tersenyum pada Leon. Zaki pun melakukan hal yang sama lalu segera memasuki mobil kemudian disusul Arin. Mobil sedan itupun keluar dari area rumah sakit dan membelah jalanan Jakarta dengan kecepatan sedang.
"Hari ini kau harus istirahat penuh. Baru besok kau bisa beraktivitas seperti biasa." Ucap Zaki, sesekali ia menoleh pada Arin yang tersenyum padanya.
"Terima kasih karena sudah menjadi teman bicaraku selama di rumah sakit."
"Ahaha, iya.. sama-sama. Lagipula, baru kali ini aku bertemu dengan pasien yang menyenangkan ketika diajak bicara." Zaki masih tersenyum. Senyuman manis yang benar-benar memikat. Dan hal itu sukses membuat hati Arin sedikit berdebar.
Ah. Kumohon jangan lagi!!
To be continued...
