Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

INSIDEN

Latihan dimulai.

Guru renang meniup peluit, dan para siswa mulai menuruni tangga kolam.

Air biru itu memantulkan gemerlap cahaya siang, terlihat damai… padahal sebentar lagi tidak.

Karina berdiri di tepi, masih ragu-ragu.

Ia memegang pegangan besi erat-erat, takut melepaskannya.

Nael memperhatikan dari jarak beberapa meter, memeriksa apakah Karina baik-baik saja.

Namun guru memanggilnya untuk membantu mengatur barisan, membuatnya harus menjauh.

Andrea menoleh ke kedua temannya—Rhea dan Lila.

Gerakan kecil: anggukan halus.

Tidak ada kata-kata, hanya isyarat.

Lila melangkah ke belakang Karina.

Gerakannya tampak normal, seperti orang hendak masuk kolam.

Tidak ada yang memperhatikan…

anak-anak cowok masih sibuk adu gaya, guru sibuk meniup peluit.

Lila berjalan melewati Karina—

dan di detik itu, sikunya menyenggol kaki Karina tepat di belakang lutut.

Sentuhan kecil.

Ringan.

Nyaris tak terlihat.

Tapi cukup untuk membuat Karina kehilangan keseimbangan.

“A—”

suara Karina terputus ketika tubuhnya terjungkal ke air.

BYUR.

Tidak ada yang menoleh.

Cipratan air itu tenggelam oleh suara lain.

Karina masuk ke air dingin itu tanpa sempat menarik napas.

Panik langsung mencengkeram tubuhnya.

Tangannya meraih apa pun, kosong.

Kakinya menendang-nendang, tapi tidak menyentuh dasar.

Air masuk ke hidung.

Ke tenggorokan.

Matanya terbuka lebar—birunya kolam terlihat memutar seperti pusaran tak berujung.

Suara dunia di atas air terdengar seperti gema jauh.

Semuanya berjalan terlalu cepat dan terlalu lambat sekaligus.

Aku…

nggak bisa…

Tangannya meraih permukaan—

tapi slip.

Tubuhnya makin tenggelam.

Dari atas, Andrea berpura-pura memperbaiki kacamata renangnya.

Ia tidak menatap langsung, tapi sudut bibirnya terangkat sedikit.

Sangat sedikit.

Hampir tak terlihat.

Lila dan Rhea sudah berenang menjauh, bergabung dengan kerumunan lain.

Seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Tak ada jejak.

Tak ada saksi.

Sementara itu Karina…

dalam sunyi, dalam gelap, dalam ketakutan paling primal—

tenggelam.

Pelajaran renang di kolam sebelah berlangsung biasa saja.

Suara tawa, cipratan air, dan instruksi guru bercampur jadi satu.

Di tengah semua itu, Langit, ketua OSIS yang biasanya tenang seperti pilar, sedang bersiap melakukan pemanasan ketika matanya menangkap sesuatu yang tidak seharusnya ada.

Sebuah tangan.

Pucat.

Muncul sebentar dari permukaan sebelum tenggelam lagi.

Langit mengerutkan kening.

Detik berikutnya tubuhnya tegang.

—Itu bukan orang yang sedang bercanda.

—Itu bukan gaya berenang.

—Itu… tanda seseorang sedang sekarat.

Tanpa berpikir panjang, Langit berlari ke sisi kolam.

Langkahnya keras, tergesa, membuat beberapa siswa menoleh.

“LANGIT!” guru memanggil dari jauh.

Tidak digubris.

Langit melompat sekencang mungkin, membuat cipratan air besar BLUAAAR yang langsung memecah perhatian semua orang.

Termasuk Nael yang kaget karena itu terjadi bukan di kolamnya.

“Ada apa sih?” gumam beberapa anak cowok yang melihat keributan itu.

Langit menyelam lurus ke bawah.

Air di bawah permukaan lebih sunyi, lebih dingin, lebih menakutkan.

Dan di sana…

setengah meter dari dasar kolam…

ia melihat sosok itu.

Karina.

Mata tertutup, tubuh pasrah melayang.

Rambutnya terurai seperti benang gelap yang menari di air.

Langit meraih pinggang Karina, menariknya ke permukaan dengan kekuatan penuh.

Begitu mereka muncul ke atas, orang-orang langsung riuh.

“ADA YANG TENGGELAM!”

“ITU SIAPA?”

“GURU! GURU!”

Nael menoleh—tapi dari jarak itu tubuh Karina terlalu kacau untuk dikenali.

Guru renang langsung membelah kerumunan.

“Semua minggir! KOSONGKAN AREA!”

Langit menyeret Karina ke tepi, lalu mengangkatnya naik ke permukaan lantai kolam.

Napasnya terengah, tapi tangannya stabil.

Ia berlutut.

“Dia nggak sadar…” suara Langit parau.

Guru hendak mengambil alih, tapi Langit menahan,

“Biarkan saya dulu, Bu. Dia butuh CPR sekarang.”

Tanpa ragu, Langit menempatkan kedua tangannya di dada Karina.

Tekanan ritmis.

Cepat.

Tepat.

Nael maju selangkah, masih berusaha melihat siapa korban itu.

“Siapa sih…?”

Langit meniup udara ke mulut Karina.

Kemudian kembali menekan dada.

“Come on… ayo bangun…”

Nada suaranya bukan ketua OSIS yang dingin—tapi seseorang yang benar-benar panik.

Tiba-tiba—

Karina tersedak keras.

Air muncrat keluar dari mulut dan hidungnya.

Tubuhnya menegang sebentar, lalu jatuh lunglai lagi.

“Bagus… bagus… dia respon, Bu.” ujar Langit.

Guru langsung mengambil alih.

“Langit, bagus. Sekarang biar Ibu yang bawa dia ke UKS.”

Guru itu menggendong Karina dengan cepat, sambil berteriak pada siswa lain untuk membuka jalan.

Dan di momen itu…

Nael akhirnya melihat wajahnya.

Wajah pucat itu.

Rambut basah yang menempel di pipi.

Bibir yang kebiruan.

“Ka… Karina?” suara Nael pecah.

Dunia Nael seperti berhenti.

Darahnya turun, jantungnya melompat ke tenggorokan.

Rhea dan Lila sebenarnya tidak pernah berniat sampai sejauh itu.

Begitu mereka melihat Karina diangkat tak berdaya dari air, wajah keduanya langsung pucat seperti kertas.

“Lila… dia nggak gerak…” suara Rhea bergetar.

“A-aku… aku nggak tau Karina nggak bisa renang…” Lila mulai gemetar, tangan dingin, pandangan kacau. “Aku kira dia cuma… takut air. Aku kira dia bisa ngapung—Rhea, dia tadi nggak napas…”

Gerakan tangannya menutupi mulut, tubuhnya nyaris kolaps.

Rhea menunduk, suara tercekat,

“Kita cuma mau… bikin dia panik. Bukan bikin dia mati. Kalau dia beneran—kalau tadi Langit nggak liat—”

Lila langsung menangis kecil,

“Jangan ngomong gitu! Jangan!”

Andrea, yang berdiri sedikit menjauh, hanya menghembuskan napas pelan.

Matanya tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun.

Dia tahu.

Dia tahu Karina nggak bisa berenang.

Dia tahu Karina punya trauma terhadap air.

Dia tahu.

Andrea tahu semua itu.

Dan tidak peduli.

“Itu bukan salah gue.” katanya datar sambil memeriksa kukunya.

Rhea mendongak, marah sekaligus takut.

“Bukan salah lo? Andrea… kita tadi NARIK karina ke bagian kolam yang dalem. Itu ide lo!”

Andrea mengangkat bahu ringan.

“Dan kalau dia nggak bisa renang… itu bukan urusan gue.”

Lila menatap Andrea dengan mata membesar penuh shock.

“Andrea… kita bisa DI D.O dari sekolah karena ini. Kalau Karina bener-bener kenapa-napa—kalau Karina mati—”

Andrea menoleh pelan, menatap dua sahabatnya dengan dingin.

“Makanya, kalian tenang.”

Suara Andrea menjadi lebih rendah, lebih tajam.

“Senyum.

Jangan keliatan panik.

Kalau kalian keliatan takut, orang bakal curiga.”

Rhea tertegun.

Lila menutup wajahnya, menahan air mata.

“Tapi Andrea… Karina hampir mati,” gumam Lila kecil, suara pecah.

Andrea melipat tangan.

“Ya. Hampir. Bukan ‘mati’. Jadi jangan bikin masalah baru.”

Rhea merinding.

sadar:

Andrea bukan cuma iri.

Andrea bukan cuma benci.

Andrea… benar-benar nggak punya rasa kemanusiaan.

Langit masih menatap kedua gadis itu, seolah ada sesuatu yang ia rasakan tidak beres.

Dan Andrea hanya berdiri di pinggir kolam…

senyum tipis muncul di sudut bibirnya.

Seolah kejadian barusan cuma hiburan kecil baginya.

“Drea, ayo ke UKS.”

Nael berjalan cepat, masih basah, wajahnya tegang. Andrea mengikutinya dengan langkah pelan namun bibirnya terangkat tipis—bukan karena cemas pada Karina, tapi karena dia melihat betapa gelisahnya Nael.

Di lorong menuju UKS, Andrea menyenggol lengan Nael manja.

“Nael… besok jadi kan kita ngedate?” suaranya lembut, dibuat seolah rapuh.

Nael mengusap rambutnya yang masih berair. “Kita lihat besok, Drea. Kasihan Karina…”

Andrea menghentikan langkahnya.

“Nael. Lo udah janji sama gue.” Nada suaranya seperti bisikan tekanan.

Nael menatap Andrea, wajahnya kusut.

“Situasinya lagi nggak pas, Drea. Karina pasti syok… dia butuh seseorang.”

Ada jeda.

Andrea merasakan panas amarah naik, tapi dia menelannya—diganti senyum tipis yang sangat dipaksakan.

“Tentu. Karina butuh seseorang,” katanya sambil berusaha terdengar santai.

“Tapi itu kan bukan tugas lo.”

Nael tidak menjawab. Dia membuka pintu UKS dan masuk.

Ruangan tenang, hanya suara AC. Nael langsung melangkah ke tempat tidur UKS yang kosong.

“Dok, Karina mana?” suaranya panik.

Dokter sekolah yang sedang mencatat sesuatu menoleh.

“Oh, anak perempuan itu? Dia sudah dijemput pulang.”

Nael langsung menghela napas lega—tapi wajahnya berubah was-was.

“Dijemput siapa, Dok?”

Dokter tersenyum tipis.

“Ketua OSIS—Payung Langit. Katanya mereka sudah saling kenal. Dia yang nganterin pulang.”

Hening beberapa detik.

Nael terpaku.

Bahunya turun.

Matanya meredup.

Seolah seseorang baru saja menarik semua oksigen dari dadanya.

Sementara di sampingnya…

Andrea menahan tawa kecil.

Senyum puas perlahan muncul di wajahnya.

Senyum yang sangat dia sembunyikan di balik pura-pura prihatin.

Karena melihat Nael kecewa… adalah kemenangan baginya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel