Pustaka
Bahasa Indonesia

MENOLAK JADI PROTAGONIS

10.0K · Baru update
KH_88
7
Bab
0
View
9.0
Rating

Ringkasan

"Ketika Takdirnya Diubah Olehnya Sendiri..." Cantik, kaya, tapi yatim piatu dan selalu jadi korban bullying. Karina muak dengan takdirnya... sampai ia sadar: dirinya hanyalah tokoh novel! Tak mau pasrah, Karina pun berontak! Ia mulai melawan alur yang ditulis sang Penulis, Nadira, yang kini kebingungan setengah mati. Setiap ketikan Nadira di laptop, mendadak berubah! Ini bukan lagi sekadar cerita, tapi pertarungan epik antara kehendak karakter dan kuasa pencipta. Siapa yang akan menang? Dan, akankah Karina berhasil menulis takdirnya sendiri?

PembullyCoganPengembara WaktuKampusSweetWanita CantikSupernaturalFantasiTeenfiction

KARINA

Layar laptop menyala, kertas catatan berserakan di meja.

Nadira duduk di kursi, kakinya bahkan terselonong sampai ke atas kursi. Kopi di mugnya sudah dingin. Jari-jari lentiknya mulai menari di atas keyboard—ketik, hapus, ketik, hapus lagi. Memulai sebuah paragraf awal terasa seperti bayi yang mencoba langkah pertamanya: penuh ketakutan, ragu, dan sekaligus ingin.

Ia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, menengadah ke langit-langit apartemennya. “Karina,” katanya sambil tersenyum, tapi tiba-tiba, airmata menetes dari ujung matanya.

——

Oe… oe… oe… suara tangis bayi memecah keheningan ruang operasi.

Para tenaga medis tersenyum, begitu pula sang ibu.

“Mau dikasih nama siapa, Bu?” tanya perawat, sambil meletakkan bayi mungil berlumuran darah itu ke dada ibunya.

“Karina… namanya Karina,” jawabnya, menatap bayinya. Airmata jatuh dari ujung matanya, menetes perlahan di pipi, campuran antara kelegaan, kebahagiaan, dan cinta yang tak terhingga.

***

Karina tumbuh menjadi anak yang cantik dan lucu. Matanya berbinar-binar, pipinya selalu merona, dan senyumnya mampu mencairkan hati siapa pun yang melihatnya. Tak hanya menggemaskan, ia juga cerdas, cepat menangkap hal-hal baru, dan selalu ingin tahu tentang segala sesuatu di sekitarnya.

Hari itu, Karina sedang bermain di halaman rumah bersama teman-temannya. Mereka berlarian mengejar kupu-kupu, tawa mereka bersahutan di udara hangat sore itu. Karina berlari dengan rambutnya yang tergerai, kadang menunduk untuk menghindari ranting pohon, kadang meloncat kecil karena kegirangan.

Di tangannya, sebuah boneka kecil menjadi “teman imajinernya” yang ikut diajak berpetualang. Temannya menirukan gerakannya, sambil sesekali tertawa keras saat Karina pura-pura bonekanya jatuh dan berteriak manja. Suara tawa mereka mencampur dengan kicauan burung, menciptakan suasana yang hidup, hangat, dan begitu nyata—seolah dunia berhenti sejenak hanya untuk melihat kebahagiaan mereka.

***

Mereka berempat terkapar di rumput, napas masih terengah-engah karena kelelahan.

“Aku tadi yang menang,” kata Nael dengan bangga, “jadi aku yang akan jadi suami Karina.”

Gio tertawa, menepuk pundak Andrea, “Andrea, apa kamu kesal tidak jadi istri Nael?”

Karina tersenyum kecil, menatap mereka, “Apa kamu senang, Nael?”

Andrea bangkit perlahan, wajahnya masih sedikit kesal, “Aku akan pulang, ada kelas bahasa,” ujarnya, menahan amarah karena kalah.

Sementara itu, ketiganya yang tersisa tertawa, saling berpegangan, dan Karina berada di tengah, wajahnya berseri-seri. Suasana sore itu hangat dan riang, penuh tawa yang mengingatkan mereka pada kebahagiaan tanpa beban.

Itu adalah kenangan manis mereka saat berusia delapan tahun—saat dunia mereka sederhana, penuh persahabatan, dan tawa

tanpa akhir.

***

Di usia sepuluh tahun, Karina merayakan ulang tahunnya dengan makan malam hangat bersama kedua orang tuanya. Meja dipenuhi hidangan favoritnya, lilin-lilin kecil menyala, memancarkan cahaya lembut yang membuat ruangan terasa intim dan nyaman.

Karina duduk diantara kedua orang tuanya, wajahnya berbinar-binar, sesekali tertawa kecil ketika orang tuanya bercanda dan membuatnya tersipu. Sang ayah menepuk kepalanya lembut, sementara ibunya menyuapi sedikit kue ulang tahun ke mulutnya dengan senyum penuh kasih.

Di momen itu, dunia mereka terasa sederhana namun sempurna. Kata-kata tak selalu diucapkan, karena tatapan dan sentuhan mereka sudah cukup untuk menunjukkan cinta yang tulus. Karina merasa aman, dicintai, dan bahagia—sebuah kenangan hangat yang akan selalu ia simpan dalam hatinya.

Setelah makan malam ulang tahun yang hangat di restoran, Karina dan orang tuanya masuk ke mobil. Lampu jalanan yang temaram memantul di kaca mobil, sementara suara wiper bergesekan di kaca depan karena hujan gerimis yang tipis. Suasana awalnya hangat; Karina duduk di kursi belakang, masih tersenyum sambil bermain-main dengan pita di kotak kue ulang tahunnya, sementara ibunya menepuk lembut tangan Karina dari kursi penumpang depan.

Ayahnya menyetir dengan tenang, sesekali bercanda ringan agar Karina tertawa, mencoba membuat perjalanan pulang tetap menyenangkan. Musik lembut mengalun dari radio mobil, menyelimuti mereka dengan kehangatan malam itu. Namun, hujan membuat jalanan sedikit licin, dan lampu jalan yang redup membuat jarak pandang menjadi terbatas.

Tiba-tiba, mobil meluncur di tikungan licin. Karina menjerit, tangannya menggenggam kain di pangkuannya. Ayahnya menekan rem, tapi rem tidak merespons. Gas mobil seperti tersangkut, menambah kecepatan mobil tanpa terkendali. Hujan yang tadinya hanya gerimis mulai menetes lebih deras, tapi tak mampu menghentikan tragedi yang mendekat.

Dengan suara logam beradu keras, mobil menabrak tepi jembatan. Benturan itu mengguncang seluruh tubuh mereka, kaca pecah, dan api mulai menjalar dari kap mobil yang rusak. Pengguna jalan lain yang melihat kejadian itu segera menelpon meminta bantuan.

Tak lama kemudian, sirene terdengar memecah malam. Damkar dan ambulans tiba, lampu berkedip merah dan biru menembus kabut asap dan gerimis yang masih menetes. Petugas bergerak cepat, wajah mereka tegas dan penuh fokus, berusaha mengendalikan api dan menyelamatkan korban.

Karina dan kedua orang tuanya ditemukan di dalam mobil yang hangus sebagian, tak sadarkan diri. Dengan hati-hati, para petugas mengevakuasi mereka, meletakkan satu per satu ke atas tandu.

Ambulans melaju ke rumah sakit, lampu sirene menari di jalanan basah, sementara hujan gerimis yang turun tak mampu meredakan rasa panik yang mengalir di udara. Di dalam mobil, mereka tetap tak sadarkan diri, terjebak antara hidup dan mati, sementara dunia di luar terus bergerak cepat, penuh kebingungan dan ketakutan.

Ketika Karina perlahan membuka matanya, dunia di sekitarnya terasa asing dan sunyi. Lampu rumah sakit yang terang menusuk matanya, suara alarm mesin medis berdengung samar di telinga. Di sampingnya, seorang pelayan rumahnya duduk, wajahnya basah oleh air mata. Ia menangis terus-menerus, suara isak tangisnya memenuhi ruangan, seolah menelan kesedihan seluruh dunia.

Karina menoleh dengan lemah, mencoba mencari-cari sosok yang ia cintai, tapi kenyataan yang menghantamnya terlalu kejam: kedua orang tuanya… tak tertolong. Hati kecilnya seakan remuk, napasnya tercekat oleh kesedihan yang tak terucapkan. Dunia yang tadinya penuh kehangatan dan cinta kini berubah menjadi hampa, sunyi, dan dingin.

Tangannya gemetar saat ia mencoba meraih tangan ibunya, lalu ayahnya, tapi yang ia temui hanyalah udara dingin dan ruang kosong. Tangisan pelayan di sisinya, yang sebelumnya terdengar seperti suara orang lain, kini terasa seperti gema kesedihan yang memantul langsung ke dalam hatinya.

Ya, tepat di usianya yang sepuluh tahun karina kehilangan kedua orang tuanya.

Setelah kehilangan kedua orang tuanya, keceriaan Karina seakan sirna. Senyum yang dulu mudah merekah di wajahnya kini menghilang, tawa riangnya bersama sahabat-sahabat kecilnya berhenti. Mainan, permainan, bahkan sekadar percakapan ringan—semua terasa hambar, tak ada lagi gairah untuk menikmati dunia yang dulu begitu cerah.

Saat memasuki masa SMP, Karina mengambil keputusan besar: ia akan belajar di rumah, home schooling. Ia menolak pergi ke sekolah, menolak bertemu teman seumuran, bahkan menolak tatapan penuh simpati dari orang-orang yang ingin menghiburnya. Dunia luar terasa terlalu menyakitkan, terlalu penuh dengan kehilangan dan kenangan yang menghantui.

***

Karina duduk di hadapan kepala pelayan. Papan catur di antara mereka, sunyi hanya dipecahkan suara potongan-potongan kayu yang dipindahkan.

“Bila saya menang, Nona, harus mengabulkan permintaan saya,” ucap kepala pelayan, matanya lembut namun tegas.

Karina menatapnya, bibirnya tersenyum tipis. “Asal jangan menikahimu, akan kuserahkan,” jawabnya, nada suaranya ringan, tapi ada kesedihan yang tak terucap.

Waktu berjalan, detik demi detik terasa lama. Hingga tiba saat itu:

“Tidak mungkin… tidak mungkin… aku kalah. Kamu pasti curang,” suara Karina bergetar, setengah tak percaya.

“Mungkin saya sedang beruntung hari ini, Nona,” jawabnya, tenang, tapi ada kehangatan dalam tatapannya.

Karina menunduk, menahan amarah dan kesal. “Katakan… apa permintaanmu?”

“SMA Nona… harus sekolah biasa,” ucapnya pelan, suara yang selama ini begitu setia di telinga Karina.

“Tidak. Ganti permintaanmu!” Karina memukul papan catur hingga potongan-potongan kayu berantakan di lantai, hatinya meledak marah dan frustasi.

“Saya sudah mendaftarkan Nona… dan sudah membayar penuh untuk tiga tahun. Nona… harus keluar rumah,” kata kepala pelayan, nada suaranya nyaris patah, tapi tegas.

“Keluar.” Kata Karina, marah, tangan gemetar, mata berkaca-kaca.

“Saya mohon, Nona… Tuan dan Nyonya akan sangat sedih melihat Nona seperti ini…” Suaranya mulai melemah.

Tuhan sepertinya tidak memberi Karina kesempatan untuk bersiap: kepala pelayannya sakit parah, tubuhnya melemah di ujung nafas. Di ruang perawatan rumah sakit mereka, Karina memegang tangannya yang nyaris tak bertenaga, menangis di atas kulit yang hangat tapi rapuh itu.

“Bertahanlah… tolong bertahan… aku tidak punya siapapun…” suara Karina pecah, air matanya jatuh tanpa henti.

Kepala pelayan menatapnya, bibirnya tersenyum lemah. “Nona… harus tepati janji, nona… aku akan sampaikan pada Tuan dan Nyonya… Nona tumbuh… cantik… pintar… Nona… kamu ha—”

Kata-kata terakhir itu terhenti, napasnya berhenti, tangan yang dicengkeram Karina menjadi dingin.

Sunyi menyelimuti ruangan. Tangisan Karina masih bergema, tapi dunia seakan runtuh di sekelilingnya, meninggalkan hanya hampa yang menusuk, kenangan akan sosok yang tak tergantikan itu.

———

Nadira duduk di depan layar laptop, jari-jarinya membeku sesaat sebelum menekan tuts.

“Maafkan aku… Karina…” bisiknya, berulang kali, suaranya pecah dan tersedu-sedu. “Maafkan aku…”