CEMBURU
Pagi itu kelas 10-2 masih setengah ramai.
Suara kursi diseret, tas digeletakkan, dan obrolan murid-murid membentuk riuh kecil yang memantul pada dinding.
Karina duduk di kursinya, pelan-pelan mengelap meja memakai tisu.
Gerakannya hati-hati, seolah ia takut merusak sesuatu.
Bekas gelap di permukaan meja ia gosok berkali-kali sampai menghilang.
Dia hanya ingin memulai hari dengan bersih.
Andrea lewat dengan cup minuman ukuran besar di tangannya—dan entah sengaja atau tidak, gelas itu miring saat ia melangkah tepat di sebelah meja Karina.
Isinya tumpah.
Air manis cokelat jatuh seperti hujan kecil, membasahi meja dan seragam putih Karina.
“Ups.”
Andrea tersenyum kecil… senyum yang sama sekali tidak terlihat menyesal.
Karina kaget sampai bangun dari duduknya.
Ia melihat noda besar di roknya, lalu ke Andrea.
“Andrea… bajuku kotor jadinya.”
Nada suaranya jujur dan polos—tak ada kemarahan, hanya kebingungan.
Andrea menyisir rambutnya santai.
“Ya tinggal bersihin aja ke toilet.”
Teman Andrea yang berdiri di belakangnya mendekat sedikit, menunduk di samping telinga Karina.
“Apa lo takut ke-kurung lagi?” bisiknya, sengaja dibuat sepelan mungkin tapi cukup jelas untuk menyayat.
Karina membeku.
Nafasnya langsung pendek.
Andrea dan temannya tertawa pelan, lalu pergi seolah itu hanya candaan receh pagi hari.
Karina menatap meja yang sekarang semakin berantakan.
Tisu di tangannya sudah basah seluruhnya, tapi ia tetap mengelap.
Tiap gerakan justru menambah noda.
Tetes air mata jatuh tanpa suara.
Satu… dua… lalu banyak.
Ia terus mengusap meja sambil menangis pelan, berusaha tidak menarik perhatian siapa pun—
seolah ia harus cepat membersihkan semuanya,
sebelum dunia kembali menumpahkan hal lain ke atasnya.
Nael memiringkan kepala, menatap meja Karina yang masih basah.
“Mejanya lengket?” tanyanya, nadanya ringan tapi matanya khawatir.
Karina buru-buru menekuk tisu baru.
“Ah… ya. Tadi minuman tumpah di sini,” jawabnya pelan, berusaha terdengar biasa saja.
Nael melihat noda di seragam Karina, bibirnya menurunkan senyum.
“Hm.”
Di sisi lain kelas, Andrea diam-diam memperhatikan mereka.
Matanya meruncing, rahangnya mengencang.
Lalu ia berdiri.
“Nael! Sini bentar!” serunya lantang, sok santai.
Beberapa anak menoleh.
Nael tidak melihat ke arahnya.
Ia tetap membungkuk sedikit di samping meja Karina sambil mengambil tisu banyak-banyak.
Tanpa mengangkat kepala, ia jawab,
“Ngga. Lo aja yang ke sini.”
Andrea terdiam sejenak, tidak menyangka dibalas seperti itu.
Pipi dan lehernya memerah menahan malu sekaligus marah.
Karina sialan, batin Andrea.
Gara-gara lo, Nael nggak peduli sama gue sekarang.
Meski bibirnya tetap tersenyum tipis, matanya menghitam oleh rasa iri yang menebal.
Ia duduk lagi, tapi tubuhnya tegang seperti pegas.
Tatapannya menusuk ke arah Karina.
Sementara itu, Nael menatap Karina lagi.
“Tadi siapa yang tumpahin?” suaranya datar tapi tajam.
Karina hanya menggeleng lemah.
Nael menghela napas.
“Kalau ada apa-apa, bilang sama gue.”
Nada itu bukan romantis.
Lebih seperti seseorang yang tidak tahan melihat Karina terluka lagi.
Karina menunduk, jari-jarinya meremas tisu.
“Gak papa, Nael… beneran.”
Tapi suaranya gemetar, dan Nael memperhatikannya lama—lebih lama dari yang Karina sanggupi.
Kolam renang Billmourth International High School berkilau biru muda, dikelilingi bangku panjang dan rak peralatan.
Suara cipratan air bercampur teriakan heboh anak-anak membuat suasana seperti taman bermain.
Para siswa putri sudah keluar dari ruang ganti mengenakan seragam renang sekolah—one-piece elegan yang berwarna biru tua dengan garis putih di sisi kanan-kiri.
Potongan pakaian itu membuat hampir semua terlihat memukau.
Rangga, Simon, dan Willy berdiri di pinggir kolam, wajah mereka seperti turis di pantai Bali.
“Ini alasan gue masuk Billmourth,” kata Rangga sambil menahan tawa.
“Seragam renang cewek di sini paling oke.”
Simon mengangkat alis. “Tergantung siapa yang make, kali.”
“Tetep aja, bro. Liat tuh—woooow semua!”
Willy bahkan sampai menaruh tangan di dada dramatis, “Pemandangan surga dunia.”
Nael baru keluar dari ruang ganti laki-laki, mengikat rambut pendeknya yang agak berantakan.
Rangga langsung nyeletuk, “Eh Nael. Kenapa Karina pake jubah mandi? Dia mau renang atau mau spa?”
Nael menatap Karina yang sedang berdiri di samping rak pelampung—pakai jubah mandi putih besar yang menutupi semuanya.
Gadis itu memegang ujung kerah jubah, celingukan gugup melihat teman-teman sekelasnya.
“Gue yang nyuruh,” jawab Nael datar.
“Udah, jangan liatin dia.”
“Kenapa lo protektif banget sih?” Simon menyenggolnya.
Nael mengangkat satu bahu tanpa menoleh, tapi bibirnya menahan senyum yang susah disembunyikan.
Tatapannya tertuju pada Karina yang sedang mencoba membuka tali jubah tapi kemudian mengurungkan niatnya karena beberapa anak cowok melintas.
Gadis itu terlihat canggung, tapi justru karena itu—cantiknya jadi jauh lebih mencolok.
Rangga mendecak pelan. “Gue heran sama dia… tapi juga paham sih. Cewek itu aura-nya beda.”
Nael akhirnya ngomong sambil berjalan mendekati Karina,
“Iya. Jadi jangan ganggu.”
dia sedang menahan senyum bodoh hanya karena melihat pujaan hatinya berdiri kikuk sambil memegang jubah mandi kebesaran.
Dan Karina, seperti biasa, tidak sadar bahwa dia sedang menjadi pusat perhatian seseorang,0
seseorang yang sudah merindukannya bertahun-tahun.
Peluit guru renang terdengar nyaring, memotong riuh rendah suara murid.
“Semua, baris di pinggir kolam!
Yang masih pakai jubah mandi, lepaskan sekarang. Kita mulai pemanasan.”
Karina membeku di tempat.
Jantungnya langsung melonjak ke tenggorokan.
Ia meremas ujung jubah mandinya.
Rasanya seperti ada jarum menusuk-nusuk kulitnya hanya karena semua tatapan tiba-tiba beralih ke arahnya.
Guru menoleh.
“Termasuk kamu, Karina. Lepas jubahnya. Cepat.”
Karina mengangguk pelan—terlalu pelan.
Tangannya gemetar ketika ia menarik tali jubahnya.
Nael yang berdiri beberapa meter darinya langsung memperhatikan.
Ia mundur setengah langkah, seolah ingin melindungi tanpa membuatnya malu.
Lalu, jubah mandi itu akhirnya jatuh dari bahunya.
Dan…
“WOAAAAA—!!”
“GILA…”
“SIAPA YANG… ANJIR…”
Suara heboh itu langsung memecah suasana kolam renang.
Bahkan beberapa siswa cowok hampir berebut posisi untuk bisa melihat lebih jelas—
seolah kehadiran Karina membuat ruangan itu berubah drastis.
Seragam renang Billmourth memang elegan, tapi saat dipakai Karina…
ia tampak seperti tokoh utama di panggung besar yang tak pernah ia minta.
Kulitnya putih bersih.
Bentuk tubuhnya proporsional.
Senyum gugupnya saja sudah cukup membuat beberapa anak cowok menelan ludah.
Dan mata besar polosnya yang menunduk—membuatnya terlihat seperti bunga yang baru mekar, terlalu rapuh untuk disentuh.
Para siswi langsung kesal.
Ada yang melirik sinis.
Ada yang mendengus.
Ada yang melipat tangan di dada, wajah muram.
Seolah semua perhatian yang beralih pada Karina adalah sebuah kesalahan besar yang harus dia bayar.
Karina merapatkan kedua tangannya, hampir seperti ingin menutupi dirinya.
Kakinya sedikit mundur, pandangannya turun ke lantai ubin basah.
Ia merasa kecil.
Sangat kecil.
Ketakutan memeluk seluruh tubuhnya sampai ia menahan napas.
Nael mengerutkan alis.
Tatapannya menusuk semua cowok yang terlalu ribut.
“Udah,” katanya datar dan tajam, “Diem.”
Willy langsung diam.
Rangga mengangkat tangan, “Oke, oke, abang galak.”
Andrea berdiri di tepi kolam, tangan terlipat di dada, rahang mengeras.
Ia melihat bagaimana anak-anak cowok masih mencuri pandang ke arah Karina—bahkan setelah Nael menegur mereka.
Padahal jika bicara fisik, Andrea jauh lebih unggul.
Tubuhnya tinggi dan atletis.
Pinggang ramping, bahu tegap, kaki panjang yang sering jadi pusat perhatian.
Seragam renang itu melekat sempurna di tubuhnya.
Ia terlihat seperti atlet profesional, cantik dan kuat.
Tapi tetap saja…
semua sorotan mengarah ke Karina.
Gadis yang bahkan tak berusaha.
Karina yang berdiri sambil menunduk, memegang lengannya sendiri, gemetaran seperti anak kucing kehujanan.
Karina yang polos, kikuk, dan tampak rapuh.
Dan justru karena itu—dia menarik semua mata.
Bahkan mata yang tidak ingin melihat.
Andrea menggigit bibir dalam-dalam.
Apa bagusnya dia?
Apa spesialnya dia?
Ia melirik Nael yang berdiri terlalu dekat dengan Karina.
Terlalu protektif.
Terlalu… peduli.
Panas merambat di dada Andrea.
Ia merasa seperti seseorang yang sudah lama berlatih,
sudah berusaha jadi yang paling cantik, paling kuat, paling diperhatikan—
tapi kalah dari seseorang yang bahkan tidak mencoba sama sekali.
“Ngapain sih pada ngeliatin dia banget?” gumamnya sinis sambil membenarkan tali renangnya.
Temannya, Rhea, mendekat.
“Mungkin karena dia kayak… lugu gitu,” katanya setengah berbisik.
“Cowok suka yang begitu.”
Andrea mendengus.
“Lugu dari mana? Dia cuma pura-pura nggak ngerti apa-apa.”
Rhea ragu. “Kayaknya dia beneran takut, Dre.”
Andrea mengalihkan pandangan, matanya menyipit.
Karina masih menunduk, memegang jubah mandi yang sudah ia lipat kecil-kecil.
Dan situasinya semakin membuat Andrea ingin melempar sesuatu.
Kenapa sih semuanya selalu ke dia?
Kenapa harus dia yang jadi pusat kelas?
Dan kenapa Nael… kenapa Nael milih dia?
Andrea menarik napas panjang, tersenyum tipis—senyum yang tidak pernah mencapai matanya.
“Baiklah, Karina,” gumamnya.
“Kalau semua mata milih liat lo… kita liat ya, sampai kapan lo bisa bertahan.”
